Zakat Fitri dengan beras, bukan bid’ah dan sangat berbeda dengan bid’ah.
=====
Sehingga tidak tepat menjadikannya sebagai dasar adanya bid’ah yang dibolehkan, atau bahkan bid’ah yang disyariatkan.
Karena Zakat Fitri dengan beras = sudah ada dalil khusus yang menjelaskannya.
Lihatlah bagaimana Sahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu anhu menjelaskan masalah ini, beliau mengatakan:
“Dahulu kami mengeluarkan Zakat Fitri pada zaman Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam berupa satu sha’ dari MAKANAN (pokok), dan makanan kami (ketika itu) adalah sya’ir (jenis gandum), zabib (kismis), aqith (yoghut kering), dan kurma”. (HR. Bukhari 1510, Muslim 985)
Perhatikanlah kata “makanan pokok” dalam hadits ini, kata itu mencakup semua jenis makanan pokok di sebuah masyarakat.. oleh karenanya, apabila makanan pokok di daerah tertentu beras, maka dari makanan jenis itulah zakatnya.. apabila makanan pokoknya jagung, maka dari makanan jenis itulah zakatnya.. dan begitu seterusnya.
? Inilah yang dipahami oleh Imam Nawawi rahimahullah, beliau mengatakan :
“Pendapat ter-shahih menurut kami adalah wajibnya zakat fitrah dari makanan pokok yang sudah umum di sebuah daerah”. (Al-Majmu’ 6/112)
Dari sini kita bisa memahami, bahwa berzakat fitri dangan beras, telah dijelaskan secara khusus oleh hadits di atas, karena hal itu masuk dalam keumuman lafalnya.
Contoh sederhananya, ada sebuah hadits yang isinya: “Takutlah neraka, meski hanya dengan (sedekah) setengah kurma” (HR. Bukhari 1417, Muslim 1016)
Ini adalah perintah untuk bersedekah, yang dengannya orang akan dijauhkan dari neraka, adapun sedekahnya dengan apa?, maka redaksinya umum, tidak ada batasan obyek yg disedekahkan.. maka masuk di dalamnya sedekah dg manggis, atau donat, atau motor, atau printer, atau obyek-obyek lainnya.
Yang perlu digarisbawahi di sini, meski obyeknya tidak ada di zaman Nabi shallallahu alaihi wasallam, itu tidak bisa disebut bid’ah, dan sama sekali tidak sama dengan bid’ah, karena ini masuk dalam keumuman redaksi hadits anjuran sedekah tersebut.
? Adapun bid’ah, maka ciri-cirinya mudah:
1. Tidak ada dalil khusus yg shahih tentangnya.
2. Tidak ada di zaman Nabi shallallahu alaihi wasallam dan para sahabatnya, padahal ada kemampuan untuk melakukannya.. dan tidak ada penghalang untuk melakukannya.
Jika ada ibadah atau sesuatu yanh diniati ibadah, dan terkumpul padanya dua ciri ini, maka biasanya ada aroma bid’ah yang sangat kuat padanya, wallahu a’lam.
_________________________
- Ustadz Dr. Musyaffa’ Ad Dariny, Lc. MA
- 15 Rabiul Awwal 1439 H / 4 Desember 2017