Khutbah Pertama
الْحَمْدُ لِلَّهِ مَبْلِّغِ الرَّاجِي فَوْقَ مَأْمُولِهِ، وَمُعْطِي السَّائِلِ زِيَادَةً عَلَى سُؤْلِهِ، الْمَنَّانِ عَلَى التَّائِبِ بِصَفْحِهِ وَقَبُولِهِ، خَلَقَ الْإِنْسَانَ وَأَنْشَأَ دَارًا لِحُلُولِهِ، وَجَعَلَ الدُّنْيَا مَرْحَلَةً لِنُزُولِهِ، فَتَوَطَّنَهَا مَنْ لَمْ يَعْرِفْ شَرَفَ الْأُخْرَى لِخُمُوُلِهِ، فَأَخَذَ مِنْهَا كَارِهًا قَبْلَ بُلُوغِ مَأْمُولِهِ، وَلَمْ يُغْنِهِ مَا كَسَبَهُ مِنْ مَالٍ وَوَلَدٍ حَتَّى انْهْزَمَ فِي فُلُولِهِ، أَوَ مَا تَرَى غِرْبَانَ الْبَيْنِ تَنُوحُ عَلَى طُلُولِهِ، أَمَّا الْمُوَفَّقُ فَعَرَفَ غُرُورَهَا فَلَمْ يَنْخَدِعْ بِمُثُولِهِ، وَسَابَقَ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ اللَّهِ وَجَنَّةٍ عَرَضُهَا السَّمَاءُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ شَهَادَةَ عَارِفٍ بِالدَّلِيلِ وَأُصُولِهِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ مَا تَرَدَّدَ النَّسِيمُ بَيْنَ شِمَالِهِ وَجَنُوبِهِ وَدَبُورِهِ وَقَبُولِهِ، صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَالتَّابِعِينَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ مَا امْتَدَّ الدَّهْرُ بِطُولِهِ، وَسَلَّمَ تَسْلِيمًا. أَمَّا بَعْدُ؛
Ma’asyirol muslimin wa zumrotal mu’minin..
Tak henti-hentinya khatib kembali mewasiatkan diri pribadi dan jama’ah sekalian untuk bertakwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan ketahuilah bahwa kita semua akan kembali dipertemukan dan dikumpulkan kepada-Nya.
وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّكُمۡ إِلَيۡهِ تُحۡشَرُونَ
“Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah bahwa kamu akan dikumpulkan pada-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 203)
Sidang jama’ah jum’at yang Allah muliakan..
Ketahuilah, sesungguhnya ruh kita ini hidup di dalam jasad, di dunia yang sesungguhnya bukan tempat asalnya. Ruh memiliki kampung halaman lain, dan ia tidak akan pernah tenang sampai kembali ke sana. Ruh diciptakan dari sesuatu yang tinggi dan mulia, namun kini terpaksa tinggal dalam tubuh yang berat dan kasar. Karena itu, ia selalu merindukan tempat asalnya yang luhur, seperti burung yang rindu kembali ke sarangnya.
Setiap ruh sebenarnya memiliki kerinduan akan kampung halamannya. Namun, karena terlalu sibuk dengan jasad dan berbagai kenikmatan dunia yang biasa dirasakan, banyak ruh yang lupa akan kampung asalnya. Mereka merasa nyaman di dunia ini, padahal, tiada kebahagiaan sejati bagi seorang mukmin kecuali bertemu dengan Rabb-nya.
الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ، وَجَنَّةُ الْكَافِرِ
“Dunia ini, sejatinya, adalah penjara bagi orang beriman, dan surga bagi orang kafir.” (HR. Musim, no. 2956)
Karena itu Ma’asyirol muslimin, kita lihat orang yang benar-benar beriman, jasad mereka memang di dunia, tapi jiwanya selalu terpaut ke tempat yang lebih tinggi.
Ahmad Al-Balkhi rahimahullah berkata:
الْقُلُوبُ جَوَّالَةٌ؛ فَقَلِبٌ حَوْلَ الْحُشِّ، وَقَلْبٌ يَطُوفُ مَعَ الْمَلَائِكَةِ حَوْلَ الْعَرْشِ
“Hati-hati itu berkelana; ada hati yang berputar di sekitar tempat kotor, dan ada hati yang melayang bersama para malaikat di sekitar Arsy.” (Siyar A’lam An-Nubala 11/388)
Penderitaan terbesar bagi ruh adalah ketika ia larut dalam kenikmatan jasad, terlena dengan kesenangan dunia, lalu terputus dari tujuan hidupnya: dari Rabb-nya, dari kampung halamannya, yang penuh kenyamanan dan kemuliaan. Tapi banyak ruh yang tidak menyadari luka ini, karena terlalu mabuk oleh kenikmatan semu.
Namun bila ruh itu tersadar dari mabuknya, bangkit dari kelalaiannya, datanglah tentara-tentara penyesalan menyerbunya dari segala arah. Saat itu, ia diliputi sesal yang begitu dalam, atas jauhnya ia dari kemuliaan Allah, dari kedekatan dengan-Nya, dari kerinduan yang dulu ia abaikan.
Sebagaimana dikatakan dalam syair:
صَحِبَتُكَ إِذْ عَيْنِي عَلَيْهَا غِشَاوَةٌ … فَلَمَّا انْجَلْتَ قَطَّعْتُ نَفْسِي أَلُومُهَا
“Aku dulu bersamamu saat mata hatiku tertutup kabut,
Namun saat kabut itu sirna, aku hanya bisa menyesali diriku sendiri.”
Ma’asyirol muslimin, rahimani warahimakumullah..
Meskipun ruh mampu berpindah-pindah tempat di dunia ini, selamanya ia tidak akan pernah tenang kecuali saat kembali ke kampung halamannya.
نَقِّلْ فُؤَادَكَ حَيْثُ شِئْتَ مِنَ الْهَوَى … مَا الْحَبُّ إِلَّا لِلْحَبِيبِ الْأَوَّلِ
كَمْ مَنْزِلٍ فِي الْأَرْضِ يَأْلَفُهُ الْفَتَى … وَحَنِينُهُ أَبَدًا لِأَوَّلِ مَنْزِلِ
“Pindahkan hatimu ke mana pun dalam cinta,
Tetap saja cinta sejati hanya untuk kekasih pertama.
Sebanyak apa pun rumah yang disinggahi,
Kerinduan selalu untuk rumah pertama.”
Ummatal Islam..
Jika kita saja bisa merindukan tanah kelahiran kita di dunia, meskipun kita memiliki tempat tinggal baru yang mungkin lebih indah, maka bagaimana mungkin ruh ini tidak merindukan tempat asalnya dan pertemuan terhadap penciptanya?!
فِي جَنَّٰتِ ٱلنَّعِيمِ
“Di dalam surga-surga yang penuh kenikmatan,
عَلَىٰ سُرُرٖ مُّتَقَٰبِلِينَ
“(Mereka duduk) berhadap-hadapan di atas dipan-dipan.”
يُطَافُ عَلَيۡهِم بِكَأۡسٖ مِّن مَّعِينِۭ
“Kepada mereka diedarkan gelas (yang berisi air) dari mata air (surga).”
بَيۡضَآءَ لَذَّةٖ لِّلشَّٰرِبِينَ
“(Warnanya) putih bersih, sedap rasanya bagi orang-orang yang minum.”
لَا فِيهَا غَوۡلٞ وَلَا هُمۡ عَنۡهَا يُنزَفُونَ
“Tidak ada di dalamnya (unsur) yang memabukkan dan mereka tidak mabuk karenanya.”
وَعِندَهُمۡ قَٰصِرَٰتُ ٱلطَّرۡفِ عِينٞ
“Dan di sisi mereka ada (bidadari-bidadari) yang bermata indah, dan membatasi pandangannya.”
كَأَنَّهُنَّ بَيۡضٞ مَّكۡنُونٞ
“Seakan-akan mereka adalah telur yang tersimpan dengan baik.” (QS. Al-Waqi’ah: 43-49)
بَارَكَ اللَّهُ لِي وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيهِ مِنْ الْآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيمِ. أَقُولُ قَوْلِي هَذَا فَاسْتَغْفِرُوهُ إِنَّهُ هُوَ الْعَفُورُ الرَّحِيمُ
____
Khutbah Kedua
الْحَمْدُ لِلَّهِ الْبِرِّ الْكَرِيمِ، الرَّؤُوفِ الرَّحِيمِ، ذِي الْفَضْلِ الْعَظِيمِ، وَالْإِحْسَانِ الشَّامِلِ الْكَامِلِ الْعَمِيمِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ الْمَلِكُ الْعَظِيمُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ الْمُصْطَفَى الْكَرِيمُ، اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ السَّالِكِينَ لِلصِّرَاطِ الْمُسْتَقِيمِ.
Ma’asyirol muslimin wa zumrotal mu’miniin..
Bertakwalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena surga sebagai kampung halaman kita, hanya akan dibukakan untuk orang-orang yang bertakwa saja.
۞وَسَارِعُوٓاْ إِلَىٰ مَغۡفِرَةٖ مِّن رَّبِّكُمۡ وَجَنَّةٍ عَرۡضُهَا ٱلسَّمَٰوَٰتُ وَٱلۡأَرۡضُ أُعِدَّتۡ لِلۡمُتَّقِينَ
“Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imran: 133)
Sidang jama’ah jum’at yang berbahagia..
Orang beriman di dunia ini layaknya tawanan. Ia dipindahkan dari surga menuju tempat penderitaan ini, dan hidup dalam penawanan.
Maka, bagaimana kita bisa disalahkan jika hati dan ruh kita selalu merindukan surga — tempat kita berasal — dan mengeluh karena dipisahkan dari Yang kita cintai, serta dipertemukan justru dengan musuh kita?
Ruh ini tetap terikat pada langit, walau jasadnya menginjak bumi.
Ibnul Qayyim rahimahullah bersenandung:
فَحَيَّ عَلَى جَنَّاتِ عَدْنٍ فَإِنَّهَا … مَنَازِلُكُ الْأُولَى وَفِيهَا الْمُخَيَّمُ
وَلَكِنَّنَا سَبْيُ الْعَدُوِّ فَهَلْ تُرَى … نَعُودُ إِلَى أَوْطَانِنَا وَنُسَلَّمُ
“Marilah menuju surga-surga ‘Adn,
karena itulah tempat tinggal kalian yang pertama dan di sanalah tempat peristirahatan.
Namun kini kita tawanan musuh, mungkinkah kita akan kembali ke tanah air dengan selamat?”
Musuh ingin membuat ruh ini lupa akan kampung halaman asalnya, membujuknya agar merasa nyaman di dunia yang sementara ini. Tapi hati seorang mukmin enggan tunduk. Ia tetap rindu kepada tempat asalnya, dan menolak untuk menetap di dunia yang fana ini.
Sebagaimana dikatakan:
يُرَادُ مِنْ الْقَلْبِ نِسْيَانُكُمْ … وَتَأْبَى الطِّبَاعُ عَلَى النَّاقِلِ
“Mereka ingin agar hati ini melupakan kalian,
Namun tabiat cinta sejati menolak untuk berpaling.”
Karena itu Ma’asyirol muslimin, seorang mukmin selalu merasa asing di dunia. Di mana pun ia tinggal, ia tetap merasa dalam keterasingan. Sebagaimana Nabi ﷺ bersabda:
كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ
“Jadilah engkau di dunia seperti orang asing, atau seorang musafir yang sekadar melewati jalan.” (HR. Bukhari, no. 6416)
Akan tetapi, ini adalah keterasingan yang pasti akan berakhir, karena orang beriman akan pulang. Ia akan kembali ke negeri asalnya, ke rumahnya yang sejati, tempat segala kerinduan berakhir.
إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ يَهۡدِيهِمۡ رَبُّهُم بِإِيمَٰنِهِمۡۖ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهِمُ ٱلۡأَنۡهَٰرُ فِي جَنَّٰتِ ٱلنَّعِيمِ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, niscaya diberi petunjuk oleh Tuhan karena keimanannya. Mereka di dalam surga yang penuh kenikmatan, mengalir di bawahnya sungai-sungai.”
دَعۡوَىٰهُمۡ فِيهَا سُبۡحَٰنَكَ ٱللَّهُمَّ وَتَحِيَّتُهُمۡ فِيهَا سَلَٰمٞۚ وَءَاخِرُ دَعۡوَىٰهُمۡ أَنِ ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ
“Doa mereka di dalamnya ialah, (Mahasuci Engkau, ya Tuhan kami), dan salam penghormatan mereka ialah, (salam sejahtera). Dan penutup doa mereka ialah, (segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam).” (QS. Yunus: 9-10)
Adapun keterasingan yang tak berakhir — na’udzubillah — adalah keterasingan orang yang lupa kampung halamannya, menolak pulang ke surga, dan akhirnya tetap tersesat di negeri kehinaan tanpa ada harapan kembali.
قَدۡ خَسِرَ ٱلَّذِينَ كَذَّبُواْ بِلِقَآءِ ٱللَّهِۖ حَتَّىٰٓ إِذَا جَآءَتۡهُمُ ٱلسَّاعَةُ بَغۡتَةٗ قَالُواْ يَٰحَسۡرَتَنَا عَلَىٰ مَا فَرَّطۡنَا فِيهَا وَهُمۡ يَحۡمِلُونَ أَوۡزَارَهُمۡ عَلَىٰ ظُهُورِهِمۡۚ أَلَا سَآءَ مَا يَزِرُونَ
“Sungguh rugi orang-orang yang mendustakan pertemuan dengan Allah; sehingga apabila Kiamat datang kepada mereka secara tiba-tiba, mereka berkata, “Alangkah besarnya penyesalan kami terhadap kelalaian kami tentang Kiamat itu,” sambil mereka memikul dosa-dosa di atas punggungnya. Alangkah buruknya apa yang mereka pikul.” (QS. Al-An’am: 31)
Saudara-saudaraku sekalian..
Jangan tergesa-gesa mengingkari adanya fakta bahwa jasad kita di dunia sedangkan ruh kita bisa berpaut ke langit.
Sesungguhnya, ruh memiliki urusan sendiri, dan jasad memiliki urusan sendiri.
Rasulullah ﷺ, meski jasadnya berada di tengah para sahabat, namun ruh beliau bersama Rabb-nya. Beliau bersabda: “Jangan kalian sambung puasa tanpa berbuka.”
Para sahabat berkata: “Tetapi engkau melakukannya, wahai Rasulullah.” Beliau pun menjawab:
إِنِّي أَبِيتُ يُطْعِمُنِي رَبِّي وَيَسْقِينِ
“Sesungguhnya aku bermalam dalam keadaan diberi makan dan minum oleh Rabbku.” (HR. Bukhari, no. 1966)
Jasad beliau ﷺ memang ada bersama manusia, namun hati dan ruh beliau bersama Rabb Yang Maha Pengasih.
Terkadang, cinta kepada Allah begitu memenuhi hati seseorang, hingga yang terlihat di hadapan manusia hanyalah jasadnya, sementara ruh dan hatinya sudah berada di sisi Kekasihnya.
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu berkata:
صَحِبُوا الدُّنْيَا بِأَبْدَانٍ أَرْوَاحُهَا مُعَلَّقَةٌ بِالْمَنْظَرِ الْأَعْلَى
“Mereka menjalani hidup di dunia ini dengan jasad-jasad, sedangkan ruh-ruh mereka bergantung pada pemandangan tertinggi (yaitu surga yang mulia di sisi Allah).” (HR. Abu Nu’aim 1/79)
أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ، إِنَّ اللَّهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيهِ بِنَفْسِهِ، وَثَنَّى بِمَلَائِكَتِهِ الْمُسَبِّحَةِ بِقُدْسِهِ، وَأَيُّهُ بِكُمْ أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ مِنْ جِنِّهِ وَإِنْسِهِ، فَقَالَ عَزَّ وَجَلَّ: ﴿إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا﴾، اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُولِكَ مُحَمَّدٍ، وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنْ خُلَفَائِهِ الرَّاشِدِينَ، أَبِي بَكْرٍ، وَعُمَرَ، وَعُثْمَانَ، وَعَلِيٍّ، وَعَنْ سَائِرِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِينَ، وَعَنِ التَّابِعِينَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ، وَعَنَّا مَعَهُمْ بِمِنِّكَ وَكَرَمِكَ يَا أَكْرَمَ الْأَكْرَمِينَ.
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ، وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوفٌ رَحِيمٌ.
اللَّهُمَّ أَعِزَّ الْإِسْلَامِ وَالْمُسْلِمِينَ، وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِينَ، وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّينِ، وَاحْمِ حَوْزَةَ الْإِسْلَامِ، وَاجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آمِنًاً مُطْمَئِنًا وَسَائِرَ بِلَادِ الْمُسْلِمِينَ.
اللَّهُمَّ أَصْلِحْ أَحْوَالَ الْمُسْلِمِينَ فِي كُلِّ مَكَانٍ، وَاجْمَعْ كَلِمَتَهُمْ عَلَى الْحَقِّ يَا رَبَّ الْعَالَمِينَ.
اللَّهُمَّ أَصْلِحْ وُلَاةَ أُمُورِنَا وَوَفِّقْهُمْ لِمَا تُحِبُّ وَتَرْضَى، وَقَرِّبْ إِلَيْهِمْ الْبِطَانَةَ الصَّالِحَةَ، وَجَنِّبْهُمْ بِطَانَةَ السُّوءِ.
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
عِبَادَ اللَّهِ، إِنَّ ٱلِلَّهَ يَأْۡمُرُ بِٱلِۡعَدْۡلِ وَٱلِۡإِحْۡسَٰنِ وَإِيتَآيِٕ ذِي ٱلِۡقُرْۡبَىٰ وَيَنْۡهَىَٰ عَنِ ٱلِۡفَحْۡشَآءِ وَٱلِۡمُنْكَرِ وَٱلِۡبَغٍّۡيِۚ يَعِظُكُمْۡ لَعَلَّكُمْۡ تَذَكَّرُونَ.
فَاذْكُرُوا اللَّهَ الْعَظِيمَ الْجَلِيلَ يُذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلِذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ، وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ. أَقِمِ الصَّلَاةَ..
(Terinspirasi dari Nasehat yang disampaikan oleh Ibnul Qayyim dalam kitabnya Miftah Dar As-Sa’adah 1/461-464)