Artikel

Pentingnya Untuk Bertabayyun..

Saudaraku Allah Ta’ala berfirman..

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

“Wahai orang- orang yang beriman, jika ada seorang fasiq datang kepada kalian dengan membawa suatu berita penting, maka tabayyunlah (telitilah dulu), agar jangan sampai kalian menimpakan suatu bahaya pada suatu kaum atas dasar kebodohan, kemudian akhirnya kalian menjadi menyesal atas perlakuan kalian..” (Qs. Al-Hujurat 6)

Asbabun Nuzul dari ayat ini sebagaimana dikatakan Ibnu Katsir rahimahullah dari Juwairiyah bintil-Harits Ummil-Mu`minin Radhiyallahu anhuma,

Imam Ahmad rahimahullah berkata:
“….Al-Harits ibnu Dhirar al-Khuza’i Radhiyallahu anhu berkata : “Aku mendatangi Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Beliau mengajakku ke dalam Islam, akupun menyetujuinya. Aku katakan: ‘Wahai, Rasulullah. Aku akan pulang untuk mengajak mereka berislam, juga berzakat. Siapa yang menerima, aku kumpulkan zakatnya, dan silahkan kirim utusan kepadaku pada saat ini dan itu, agar membawa zakat yang telah kukumpulkan itu kepadamu’.”

Setelah ia mengumpulkan zakat tersebut dari orang yang menerima dakwahnya, dan sampailah pula pada tempo yang diinginkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam , ternyata utusan tersebut menahan diri dan tidak datang. Sementara itu al-Harits mengira bahwa Allah dan RasulNya marah, maka ia pun segera mengumpulkan kaumnya yang kaya dan mengumumkan: “Dulu Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam pernah menentukan waktu untuk memerintahkan utusannya agar mengambil zakat yang ada padaku, sedangkan menyelisihi janji bukanlah kebiasaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan tidak mungkin utusannya ditahan, kecuali karena adanya kemarahan Allah dan Rasul-Nya. Maka dari itu, mari kita mendatangi Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam”.

Sebenarnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengutus al-Walid ibnu Uqbah kepada al-Harits untuk mengambil zakat tersebut, tetapi di tengah jalan, al-Walid ketakutan, sehingga ia pun kembalilah kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam sembari mengatakan: “Wahai, Rasulallah! Al-Harits menolak menyerahkan zakatnya, bahkan hendak membunuhku,” maka marahlah Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam lalu mengutus pasukan kepada al-Harits. Sementara itu, al-Harits telah berangkat bersama kaumnya.

Tatkala pasukan berangkat dan meninggalkan Madinah, bertemulah al-Harits dengan mereka, kemudian terjadilah dialog :
• Pasukan itu berkata: “Ini dia al-Harits”.
• Setelah al-Harits mengenali mereka, ia pun berkata: “Kepada siapa kalian diutus?”
• Mereka menjawab: “Kepadamu”.
• Dia bertanya: “Untuk apa?”
• Mereka menjawab: “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam pernah mengutus al-Walid ibnu Uqbah, dan ia melaporkan bahwa engkau menolak membayar zakat, bahkan ingin membunuhnya.”
• Al-Harits menyahut: “Tidak benar itu. Demi Allah yang telah mengutus Muhammad dengan sesungguhnya; aku tidak pernah melihatnya sama sekali, apalagi datang kepadaku”.

Setelah al-Harits menghadap kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasallam,
• Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya: “(Benarkah) engkau menolak membayar zakat dan bahkan ingin membunuh utusanku?”
• Al-Harits menjawab: “Itu tidak benar. Demi Allah yang mengutusmu dengan sesungguhnya, aku tidak pernah melihatnya dan tidak pula datang kepadaku. Juga, tidaklah aku berangkat kecuali setelah nyata ketidakhadiran utusanmu. Aku justru khawatir jika ia tidak datang karena adanya kemarahan Allah dan Rasul-Nya yang lalu,” maka turunlah ayat dalam surat al-Hujurat ayat 6 :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا

“Wahai orang- orang yang beriman, jika ada seorang faasiq datang kepada kalian dengan membawa suatu berita penting, maka tabayyunlah (telitilah dulu).”(Tafsir al-Qur’anil- ‘Azhim, Ibnu Katsiir, Maktabah ash-Shafa, Kairo, Mesir, Cetakan I, Tahun 1425/2004, (7/248)

TAFSIR PERKATA :
Allah Ta’ala berfirman :

فتبيّنوا

“Maka Tabayyunlah (telitilah dulu).”

? Ath-Thabari rahimahullah berkata tentang ayat ini : “Endapkanlah dulu sampai kalian mengetahui kebenarannya, jangan terburu-buru menerimanya.” (Jami’ul-Bayan fi Ta’wil-Qur’an, 11/383)

? Syaikh Abu Bakar Jabir al Jaza’iri berkata :
“Telitilah kembali sebelum kalian berkata, berbuat atau memvonis.” (Aysarut-Tafasiir, Maktabtul-Ulum wal-Hikam, Madinah Nabawiyyah, Cetakan ke-6, Tahun 1423 H/ 2003 M, hlm 1259)

Kemudian ayat selanjutnya :

فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

“Yang kemudian (menyebabkan) kalian menyesal atas berbuatan kalian itu.”

Disini Allah Ta’ala menyebutkan penyesalan tersebut akan menimpa seseorang yang salah dalam menjatuhkan keputusan, dan menimpa orang yang menyebarkan suatu berita yang terlebih berita itu berkaitan tentang harga diri seorang muslim. Mereka menyesal karena memandang dan menyebarkan suatu masalah (perkara) tanpa tabayyun, dan bukan bertabayyun langsung dari orang yang diisukan negatif. Karena yang memvonis ini telah berbuat zhalim. Sedangkan yang tertuduh, ia berarti mazhlum (terzhalimi). Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda kepada Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu :

وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُوْمِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللهِ حِجَابٌ

“Dan hindarilah doa orang yang terzhalimi. Sesungguhnya tidak ada tabir penghalang antara doa orang yang terzhalimi dengan Allah.”

LAFADZ DAN SEBAB YANG BERKAITAN :

Merupakan kaidah pokok di kalangan ahli tafsir, bahwa:

العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب

(yang menjadi patokan adalah keumuman indikasi lafazhnya, bukan kekhususan sebabnya). (Al-Burhan fi ‘Ulumil-Qur’an, az-Zarkasyi, Maktabah Darit-Turats, Kairo, 1/32)

Oleh karena itu, dalam ayat ini terdapat dua hal :
1. Kasus khusus, yaitu tentang kebohongan al-Walid bin Uqbah dan sunnahnya untuk bertabayyun dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena jika tidak melakukan tabayyun, bisa berakibat hungga vonis murtad, peperangan dan pembunuhan.

2. Indikasi umum yang terkandung dalam dua kata bernada mutlak, yaitu “Fasiq” dan Naba’.

FASIQ, ini berkaitan dengan kualitas pembawa berita. Apakah dia dikenal sebagai orang yang jujur dan amanah, tidak bermasalah, ataukah memang orang yang sering dusta. Dalam istilah ahli hadits disebut “rijal” atau “sanad”.
NABA’ adalah masalah penting, dan dalam istilah ahli hadits disebut matan (substansi dari berita).

? Pada poin ini, ada koreksi kesalahan dimana sebagian orang menyempitkan makna ayat ini dengan mengatakan : jika yang membawa isu (kabar) tersebut atau bahkan yang memberi vonis tersebut seorang ustadz, kyai maka sudah pasti benar, karena ia (ustadz, kyai itu) orang shalih.

? Sebaliknya, apabila ternyata vonis ustadz tersebut salah, karena berdasarkan persangkaan semata, bahkan tanpa tabayyun, apakah kita akan menyematkan pada ustadz tersebut sebagai “Orang Fasiq”?

Coba perhatikan contoh ini :
Tatkala ditanyakan kepada Syaikh Ali Hasan al-Halabi hafizhahullah, beliau menjawab dengan tegas: “Engkau perhatikan asbab nuzul ayat tersebut. Bukankah turun berkenaan tentang sahabat Nabi?”

Maksud beliau hafizhahullah, bahwasanya sahabat Nabi sudah tentu adil (legitimate), bahkan ta’dil (legitimasi) para sahabat langsung dari Allah yaitu “radhiyallahu’anhum waradhu ‘anhu” (Allah telah meridhai mereka, dan mereka pun meridhai-Nya)

? Perhatikan kurang legitimate apa Shahabat Nabi? Tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tetaplah menyuruh Khalid bin Walid agar melakukan tabayyun langsung atau tatsabbut (cross check), karena pengaduan al-Walid ibnu Uqbah ini akan berakibat fatal.

Kesimpulan yang bisa diambil dari ayat ini (Surat Al-Hujarat Ayat 6) sebagai berikut :
1. Ayat ini merupakan pelajaran adab bagi orang beriman dalam menghadapi suatu isu atau berita yang belum jelas, terlebih dia tidak mengetahuinya.
2. Pelaksanaan perintah tabayyun, merupakan ibadah yang dapat meningkatkan iman. Dan meninggalkan tabayyun dapat mengurangi iman.
3. Kewajiban tabayyun dibebankan kepada orang yang menerima kabar berita dan akan menjatuhkan vonis terhadap pihak yang tertuduh.
4. Dilanggarnya perintah tabayyun, dapat berdampat pada kerusakan hubungan pribadi dan masyarakat.
5. Penyesalan di dunia maupun akhirat akan ditimpakan kepada orang yang menerima isu negatif, menyebarkannya, serta kepada orang yang menjatuhkan vonis tanpa melakukan tabayyun terlebih dahulu.

Para salaf sangat keras dalam masalah bertabayyun, bahkan yang sudah bertabayyun pun dan sangat takut akan mencela saudaranya, karena celaan itu dikhawatirkan kembali kepada dirinya

? Ibrahim Annakha’i rahimahullah berkata :

إني لأرى الشيء أكرهه فما يمنعني أن أتكلم فيه إلا مخافة أن أبتلى بمثله. التاريخ الكبير

“Aku melihat sesuatu yang aku benci dan tidak ada yang menghalangiku untuk memberikan komentar kecuali karena kekhawatiran suatu saat nanti aku yang mengalami hal tersebut.”

? Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata :

كانوا يقولون: من رمى أخاه بذنب قد تاب منه لم يمت حتى يبتليه الله به. الصمت لابن ابي الدنيا

“Shahabat mengatakan : barangsiapa yang mencela saudaranya karena dosa yang dikerjakannya (padahal saudaranya itu telah bertaubat dari dosanya tersebut) niscaya ia tidak akan meninggal kecuali setelah ia mengerjakan dosa yang serupa dengan yang dilakukan oleh saudaranya itu”

? Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata :

لو سخرت من كلب خشيت أن أحول الكلب. الزهد لهناد بن السري

“Jika aku merendahkan seekor anjing, aku khawatir aku akan diubah menjadi anjing (atau Allah berikan sifat buruk anjing tersebut kepadaku.”

? Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda :

لاَ يَرْمِي رَجُلٌ رَجُلاً بِالفِسْقِ أَوِ الكُفْرِ ، إِلاَّ ارْتَدَّتْ عَلَيْهِ ، إنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كذَلِكَ

“Tidaklah seseorang menuduh orang lain dengan kefasikan atau kekufuran, melainkan akan kembali kepadanya tuduhan tersebut jika yang dituduhnya tidak demikian.” (HR Bukhari)

_______

Dalam kehidupan bermasyarakat tidak lekang dari isu, gosip sampai adu domba antar manusia. Keadaan ini diperkeruh oleh adanya sekelompok masyarakat dan sebagian besar kaum wanita menjadikan gosip dan ‘aib serta ‘aurat (kehormatan) orang lain sebagai konsumsi diantara meraka.

Penyakit seperti ini tidak akan terobati selama Al-Qur’an hanya diperlakukan sebagai sekedar ilmu pengetahuan yang dibaca meskipun orang yang bersangkutan gemar mengaji, karena Al-Quran tidak akan menjadi Obat tanpa diamalkan dan dipelajari :

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ

“Dan kami turunkan Al-Qur’an sebagai obat dan rahmah bagi kaum beriman.” (Qs. Al-Isra82)

إِنَّ هَٰذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ

“Sesungguhnya Al-Quran ini membimbing ke jalan yang paling lurus.” (Qs. Al-Isra 9)

_________________________

  • Kutipan Majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XIII/1430H/2009M + Penyusunan serta penambahan ulang
  • Penyusun | Abdullah bin Suyitno (عبدالله بن صيتن)
  • Disusun 20 Muharram 1439 H / 11 Oktober 2017

Follow Akun Kami

Berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dengan pemahaman generasi terbaik para Shahabat ridwanullah ‘alaihim jami’an, Ijma.

Shahihfiqih.com © Copyright 2024 | All Rights Reserved
Powered by Fahd Network