Zakat Mal: Pengertian, Hukum, Cara Menghitung, & Hikmahnya

Pengertian Zakat Mal

Zakat Mal adalah zakat yang berkaitan dengan harta seseorang (emas, perak, hasil bumi, barang dagangan), dan yang dimaksud disini adalah:
Seseorang mengeluarkan 1/40 atau 2,5% dari uangnya yang telah mencapai nishab (batas tertentu) dan bertahan satu haul (1 tahun kalender hijriah), yang berupa emas dan perak, atau mata uang yang menggantikan keduanya, yang digunakan oleh manusia untuk jual beli, serta berbagai jenis manfaat dan kepentingan lainnya.
(Lihat: Mu’jam Lughatil Fuqaha, hal. 456 dengan penyesuaian)

Hukum Zakat Mal

Zakat Mal merupakan salah satu rukun Islam, hukumnya wajib menurut kesepakatan para ulama.
(Lihat: Al-Ijma’, hal. 53)

Rasulullah ﷺ bersabda:

بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، وَإِقَامِ الصَّلَاةِ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ، وَحَجِّ الْبَيْتِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ

“Islam dibangun di atas lima perkara: (1) bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, (2) mendirikan shalat, (3) menunaikan zakat, (4) menunaikan haji ke Baitullah, dan (5) berpuasa di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari, no. 8, dan Muslim, no. 16).

Nishab Perak

Rasulullah ﷺ bersabda:

فَإِذَا كَانَتْ لَكَ مِائَتَا دِرْهَمٍ وَحَالَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ فَفِيهَا خَمْسَةُ دَرَاهِمَ

“Jika engkau memiliki 200 dirham (perak) dan telah berlalu satu haul atasnya, maka zakatnya adalah 5 dirham.”
(HR. Abu Dawud, no. 1573, dan dinilai shahih oleh Al-Albani)

Hadits ini menunjukkan beberapa hukum:
1. Nishab perak dimulai dari 200 dirham perak, sehingga orang yang hanya memiliki 199 dirham tidak wajib zakat.
2. Disyariatkan harta bertahan 1 haul agar wajib dizakati.
3. Jika syarat nishab dan haul telah terpenuhi, maka yang wajib dikeluarkan adalah 1/40 atau 2,5%-nya, sebagaimana sabda beliau: “Maka zakatnya adalah 5 dirham.”

Berapa berat 200 dirham dalam gram?
1 dirham setara 2,975 gr, sehingga 200 dirham = 595 gr.
(Lihat: Nadawat Qadhaya Az-Zakah Al-Mu’ashiroh: An-Nadwah At-Tasi’ah, hal 535)
Maka, jika seorang menyimpan perak murni seberat 595 gr, dan bertahan 1 haul, dia wajib mengeluarkan 1/40 atau 2,5%-nya, yaitu 14,875 gr, dan jika peraknya lebih dari itu, maka zakatnya dihitung secara proporsional.

Nishab Emas

Rasulullah ﷺ bersabda:

وَلَيْسَ عَلَيْكَ شَيْءٌ، – يَعْنِي فِي الذَّهَبِ – حَتَّى يَكُونَ لَكَ عِشْرُونَ دِينَارًا، فَإِذَا كَانَ لَكَ عِشْرُونَ دِينَارًا؛ وَحَالَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ فَفِيهَا نِصْفُ دِينَارٍ، فَمَا زَادَ فَبِحِسَابِ ذَلِكَ

“Dan tidak ada kewajiban atasmu—yaitu dalam emas—hingga engkau memiliki 20 dinar. Jika engkau memiliki 20 dinar dan telah berlalu satu haul atasnya, maka zakatnya adalah setengah dinar. Adapun jika lebih dari itu, maka zakatnya dihitung secara proporsional.”
(HR. Abu Dawud, no. 1573, dan dinilai shahih oleh Al-Albani)

Hadits ini menunjukkan beberapa hukum:
1. Nisab emas dimulai dari 20 dinar, sehingga orang yang hanya memiliki 19 dinar tidak wajib zakat.
2. Disyariatkan harta bertahan selama satu haul agar wajib dizakati.
3. Jika syarat nisab dan haul telah terpenuhi, maka zakat yang wajib dikeluarkan adalah 1/40 atau 2,5%, sebagaimana sabda beliau: “Maka zakatnya adalah setengah dinar.”
4. Jika jumlah emas melebihi 20 dinar, maka zakatnya dihitung secara proporsional (2,5% dari jumlah keseluruhan).

Berapa berat 20 dinar dalam gram?
1 keping dinar setara 4,25 gr emas, sehingga 20 dinar = 85 gr.
(Lihat: Nadawat Qadhaya Az-Zakah Al-Mu’ashiroh: An-Nadwah At-Tasi’ah, hal 535)
Maka, jika seorang menyimpan emas murni seberat 85 gr, dan bertahan 1 haul, dia wajib mengeluarkan 1/40 atau 2,5%-nya, yaitu 2,125 gr, dan jika emasnya lebih dari itu, maka zakatnya dihitung secara proporsional.

Catatan: Nishab harus tetap utuh sepanjang tahun hijriah. Jika pada suatu saat dalam setahun nishab tersebut berkurang, maka perhitungan haul terputus. Jika setelah itu harta kembali mencapai nishab, maka perhitungan haul dimulai ulang dari saat nishab tersebut terpenuhi kembali.
(Lihat: Mawahibul Jalil 3/82, Al-Majmu’ 6/19, Al-Iqna’ 1/246)

Jika seseorang memiliki 10 dinar dan 100 dirham, apakah dengan ini nishab sudah tercapai?
Terdapat 2 pendapat dalam masalah ini:
1. Emas dan perak digabungkan satu sama lain untuk melengkapi nishab. Ini adalah madzhab mayoritas ulama, yaitu Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah.
(Lihat: Al-Mabshuth 2/177, Bidayatul Mujtahid 1/257, Al-Inshaf 3/97)
2. Emas dan perak tidak digabungkan satu sama lain untuk melengkapi nishab. Ini adalah madzhab Syafi’iyah dan juga merupakan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.
(Lihat: Al-Majmu’ 6/8, Al-Furu’ 4/136)

Dan kami lebih condong kepada pendapat kedua karena beberapa alasan:
1. Hadits yang berbicara tentang nishab secara tegas menyebutkan bahwa zakat emas hanya diwajibkan jika emas itu sendiri mencapai nisab (20 dinar), tanpa menyebutkan bahwa perak bisa melengkapinya, begitupula sebaliknya.
(Lihat: Asy-Syarh Al-Mumti’ 6/101)
2. Emas dan perak adalah dua jenis yang berbeda, sehingga tidak bisa digabungkan untuk melengkapi nisab, sebagaimana gandum dan jelai (dalam zakat hasil bumi) yang nishabnya juga dihitung terpisah meskipun sama-sama makanan pokok.
Bahkan, gandum dan jelai sangat mirip dalam segi harga, ukuran, dan bentuk dibanding emas dan perak, namun tetap tidak bisa digabungkan untuk melengkapi nishab.
Demikian pula, nishab kambing dan sapi (dalam zakat hewan ternak), keduanya memiliki nishabnya masing-masing dan tidak bisa disatukan meskipun tujuannya sama, yaitu agar hewan berkembang biak. Wallahu A’lam.
(Lihat: Bidayatul Mujtahid 1/257, Asy-Syarh Al-Mumti’ 6/102)

Bagaimana jika yang dimiliki adalah emas bukan 24 karat?
Emas yang tidak murni (di bawah 24 karat) harus dikurangi beratnya sesuai dengan kadar campurannya. Untuk mengetahui berat emas murni dan jumlah zakat yang harus dikeluarkan, digunakan rumus berikut:

Berat emas murni = (Berat emas × Kadar karat) ÷ 24

Sebagai contoh, seseorang memilki emas 100 gr emas 21 karat, apakah sudah mencapai nishab?

100 × 21 ÷ 24 = 87,5

Kesimpulan:
Nishab emas adalah 85 gr emas murni, sedangkan emas murni yang dimiliki adalah 87.5 gr, maka sudah mencapai nishab dan wajib zakat.

Namun jika emasnya 18 karat, jika dihitung dengan rumus di atas, akan ditemukan bahwa emas murninya hanya 75 gr saja, sehingga tidak wajib zakat. Wallahu a’lam.
(Lihat: Nadawat Qadhaya Az-Zakah Al-Mu’ashiroh: An-Nadwah As-Sadisah, hal 301)

Saat ini, banyak orang menyimpan harta dalam bentuk uang kartal untuk kemudahan transaksi. Dalam hal zakat, muncul pertanyaan: apakah nishab uang kartal mengikuti nishab emas atau perak?

Perlu diketahui bahwa dahulu, nilai 20 dinar emas setara dengan 200 dirham perak. (Lihat: Al-Ijma’, hal. 53-54)
Namun, seiring waktu, harga perak mengalami inflasi yang cukup signifikan.

Sebagai contoh, pada hari ini (26 Ramadhan 1446 H / 26 Maret 2025 M):
• 595 gram perak bernilai Rp. 12.761.775
• 85 gram emas bernilai Rp. 145.511.500
(Sumber: www.logammulia.com)

Dengan perbedaan yang cukup jauh ini, timbullah silang pendapat di kalangan para ulama kontemporer, apakah nishab uang kartal lebih tepat mengikuti nishab emas atau perak?

Jika mempertimbangkan manfaat bagi para mustahik, tentu lebih menguntungkan jika nishab uang kartal mengikuti nishab perak, karena lebih banyak orang yang wajib zakat. Namun, pendapat yang lebih kuat adalah bahwa uang kartal mengikuti nishab emas, karena nilainya lebih stabil.

Selain itu, dalam kebiasaan masyarakat (‘urf), seseorang yang hanya memiliki uang belasan juta rupiah belum dianggap kaya. Berbeda dengan orang yang memiliki lebih dari 140 juta rupiah, yang secara umum sudah masuk kategori kaya. Rasulullah ‎ﷺ bersabda bahwa zakat itu:

تُؤْخَذُ مِن أغْنِيائِهِمْ فَتُرَدُّ في فُقَرائِهِمْ

“Diambil dari orang kaya, dan diserahkan kepada orang miskin.” (HR. Bukhari, no. 7372, dan Muslim, no. 19)

Sehingga zakat bukan diambil dari orang yang pas-pasan. Wallahu a’lam.

Apakah utang menghalangi kewajiban zakat?

Orang yang memiliki utang tidak terhalang dari kewajiban zakat, dan ini adalah pendapat mazhab Syafi’i, yang dipilih oleh Syaikh Bin Baz dan Ibnu Utsaimin.
(Lihat: Al-Majmu’ 5/344, Asy-Syarh Al-Mumti’ 6/35)
Alasannya: Karena Nabi ﷺ mengutus para petugas yang bertugas mengumpulkan zakat dari para pemilik ternak dan hasil pertanian. Namun, beliau tidak memerintahkan mereka untuk menanyakan apakah pemilik harta tersebut memiliki utang atau tidak. Padahal, umumnya para pemilik kebun pada masa Rasulullah ﷺ memiliki utang, karena kebiasaan mereka adalah mengambil pinjaman (utang) dengan sistem salam dalam jangka waktu satu atau dua tahun. Artinya, pemilik kebun memiliki utang yang harus dibayar. Meskipun demikian, Rasulullah ﷺ tetap menaksir hasil panen mereka dan mewajibkan zakat atasnya.
(Lihat: Asy-Syarh Al-Mumti’ 6/30)

Terlebih lagi, mewajibkan zakat bagi orang yang memiliki utang mendorongnya untuk segera melunasi utangnya. Jika tidak, ia tetap harus membayar zakat dari hartanya yang mencapai nishab. Dengan cara ini, ia tidak menunda-nunda pembayaran utangnya.
(Lihat: Asy-Syarh Al-Mumti’ 6/35)

Bagaimana dengan piutang? Apakah muzakki memasukkannya ke dalam nishab?
Secara umum, para fuqaha mensyaratkan bahwa harta yang wajib dizakati adalah harta yang dimiliki secara sempurna, alias bisa digunakan kapanpun ia mau, sedangkan piutang bukanlah kepemilikan sempurna, sehingga piutang hanya bisa dihitung zakatnya secara resmi tatkala sudah diterima.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Pendapat yang paling dekat dengan kebenaran adalah yang tidak mewajibkan zakat atas piutang sama sekali hingga berlalu satu haul setelah piutang tersebut diterima, atau hanya mewajibkan satu kali zakat saat diterima. Pendapat ini memiliki dasar yang kuat.” (Majmu’ Fatawa 25/48)

Dan ini adalah pendapat sejumlah sahabat, diantaranya Aisyah dan Utman bin Affan.
(Al-Muwatho’, no. 591, Mushannaf Ibni Abi Syaibah 4/32)

Hikmah Zakat

Zakat bukan sekadar kewajiban, tetapi juga solusi sosial yang dapat menghapus kemiskinan dan menyeimbangkan ekonomi. Ketika orang kaya sadar akan pentingnya zakat, mereka tidak hanya membersihkan harta, tetapi juga membantu kaum dhuafa memenuhi kebutuhan dasar, membangun kehidupan yang lebih mandiri, dan mengurai sifat tamak dari diri muzakki, serta menghilangkan iri dengki dari hati mustahik. Islam mengajarkan bahwa zakat membawa keberkahan, mengurangi kesenjangan sosial, serta meningkatkan stabilitas ekonomi dengan mendistribusikan kekayaan secara adil. Lebih dari itu, zakat yang dikeluarkan di jalan Allah tidak akan berkurang, melainkan semakin diberkahi dan menjadi penyelamat bagi yang menunaikannya.

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memahami apa yang dimaksud dengan Zakat Mal, karena jenis zakat ini memiliki potensi terbesar dan paling umum di masyarakat, melebihi zakat hasil bumi, hewan ternak, dan barang dagangan. Jika Allah memudahkan, kami akan membahas jenis-jenis zakat tersebut, beserts siapa saja yang berhak menerimanya dalam artikel tersendiri, insyaAllah.