Pentingnya Menyadari Potensi dan Kecenderungan Masing-masing Untuk Menjadi Pribadi yang Bermanfaat

Manusia diciptakan oleh Allah dengan bakat, kemampuan, dan kecenderungan yang beragam. Ada yang dikaruniai kecerdasan tajam untuk memahami dan menghafal ilmu, ada yang diberi kekuatan fisik untuk bekerja dan berjuang, ada yang memiliki jiwa kepemimpinan dan mampu mengatur urusan banyak orang, dan ada pula yang unggul dalam ketekunan serta keterampilan tangan.
Masing-masing berjalan di atas jalannya sendiri sesuai dengan tabiat dan potensi yang Allah anugerahkan kepadanya.

Allah Ta’ala berfirman:

‎قُلۡ كُلّٞ يَعۡمَلُ عَلَىٰ شَاكِلَتِهِۦ

Katakanlah (Muhammad), “Setiap orang berbuat sesuai dengan pembawaannya masing-masing.” (QS. Al-Isra’: 84)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menafsirkan: “(Maksudnya), beramal menurut jalannya masing-masing.”

Mujahid rahimahullah berkata: “Sesuai dengan tabiat, watak, dan kebiasaannya.” (Lihat: Tafsir Ibni Katsir 5/113)

Artinya, setiap orang bisa beramal sesuai dengan jalan hidup, tabiat, watak, dan kebiasaannya masing-masing, dan berpeluang menjadi yang terbaik sebesar manfaat yang dia hasilkan.

Pernah suatu hari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu meminta jabatan kepada Nabi ﷺ, namun beliau tidak serta-merta memberinya kedudukan, padahal beliau sangat mencintainya. Beliau justru menasihatinya dengan lembut agar tidak memegang amanah kepemimpinan, karena beliau tahu Abu Dzar memiliki sifat zuhud, lembut, dan kurang tegas dalam urusan duniawi, sifat yang sangat mulia dalam ibadah pribadi, namun kurang cocok dalam tanggung jawab kepemimpinan yang menuntut ketegasan dan kemampuan mengelola manusia.

Rasulullah ﷺ bersabda:

‎يَا أَبَا ذَرٍّ! إِنَّكَ ضَعِيفٌ. وَإِنَّهَا أَمَانَةُ. وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ، خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ. إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وأدى الذي عليه فيها

“Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau adalah orang yang lemah, sedangkan jabatan itu adalah amanah. Dan sesungguhnya jabatan itu pada hari kiamat akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambilnya dengan haknya dan menunaikan kewajiban yang menjadi tanggungannya.” (HR. Muslim, no. 1825)

Dari sini kita belajar bahwa Nabi ﷺ menilai sahabat dari kesesuaian antara potensi masing-masing. Beliau menugaskan Khalid bin Walid untuk memimpin pasukan karena keberaniannya, Mu‘adz bin Jabal untuk berdakwah karena keluasan ilmunya, Abu Ubaidah bin al-Jarrah untuk urusan harta karena amanahnya, dan menahan Abu Dzar dari jabatan karena kelembutannya. Semuanya berpeluang masuk menjadi bagian dari sabda Nabi ‎ﷺ:

‎خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

“Sebaik-baik Manusia Adalah yang Paling Bermanfaat Untuk Sesama.” (HR. Thabrani, no. 5787 dalam al-Mu’jam al-Awsath, dengan sanad yang dihasankan Al-Albani)

Ketika Nabi ﷺ tiba di Madinah, beliau melibatkan para sahabat yang memiliki keahlian tertentu untuk membantu membangun masjid, membuat mimbar, dan pekerjaan lainnya.

Thalq bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhu seorang sahabat dari daerah Yamamah, menceritakan bahwa ia ikut bersama Nabi ﷺ dan para sahabat dalam membangun masjid Nabawi.

Ketika Nabi ﷺ melihat keahliannya dalam mencampur tanah liat dan membentuk batu bata, beliau memerintahkan sahabat lain agar memberi ruang kepadanya, sambil bersabda:

‎قَرِّبِ اليَمامِيَّ مِنَ الطِّينِ؛ فَإِنَّهُ أَحْسَنُكُمْ لَهُ مَسًّا، وَأَشَدُّكُمْ مَنْكِبًا

“Dekatkan orang Yamamah kepada tanah liat, karena dia paling baik dalam mengolahnya dan paling kuat tenaganya.” (HR. Dhiya al-Maqdisi 8/170)

Maksudnya, Nabi ﷺ mengakui dan menghargai keterampilan Thalq dalam pekerjaannya, tangannya cekatan, bahunya kuat, dan hasil buatannya bagus.

Dari hadits ini kita belajar bahwa Islam menghargai keahlian dan keterampilan setiap orang. Setiap orang sebaiknya diberi peran sesuai kemampuan dan keahliannya, agar manfaatnya semakin maksimal.

Abdullah al-‘Umari, seorang ahli ibadah, pernah menulis surat kepada Imam Malik agar beliau lebih banyak menyendiri untuk beribadah dan memperbanyak amal seperti shalat dan puasa.

Namun Imam Malik membalas surat itu dengan jawaban yang sangat bijak. Ia berkata:

‎إِنَّ اللهَ جَلَّ جَلاَلهُ قَسَّمَ الأَعْمَالَ كَمَا قَسَّمَ الأَرْزَاق؛ فَرُبَّ رَجُلٍ فُتِحَ لَهُ في الصَّلاَةِ وَلَمْ يُفتَحْ لَهُ في الصَّوْم، وَآخَرَ فُتِحَ لَهُ في الصَّدَقَةِ وَلَمْ يُفتَحْ لَهُ في الصَّوْم، وَآخَرَ فُتِحَ لَهُ في الجِهَاد ٠٠

“Sesungguhnya Allah Ta’ala telah membagi amal perbuatan sebagaimana Dia membagi rezeki.
Ada orang yang Allah bukakan hatinya untuk banyak shalat, tapi tidak untuk puasa.
Ada yang dibukakan untuk bersedekah, tapi tidak untuk puasa.
Ada pula yang dibukakan untuk berjihad di jalan Allah.”

Kemudian beliau melanjutkan:

‎فَنَشْرُ الْعِلْمِ مِن أَفْضَلِ أَعْمَالِ الْبِرّ، وَقَدْ رَضِيْتُ بِمَا فُتِحَ لي فِيه، وَمَا أَظُنُّ مَا أَنَا فِيهِ بِدُونِ مَا أَنْتَ فِيه وَأَرْجُو أَنْ يَكُونَ كِلاَنَا عَلَى خَيْرٍ وَبِرّ

“Menyebarkan ilmu adalah salah satu amal kebajikan yang paling utama.
Aku ridha dengan bagian yang Allah bukakan untukku ini (yakni mengajar dan menyebarkan ilmu). Dan aku tidak mengira bahwa apa yang aku lakukan ini lebih rendah dari apa yang engkau lakukan. Aku berharap, semoga kita berdua sama-sama berada di atas kebaikan dan kebajikan.” (Lihat: at-Tamhid 5/202)

Imam Malik mengajarkan bahwa setiap orang punya pintu kebaikan yang Allah bukakan baginya.

Ada yang mudah beribadah dengan shalat, ada yang kuat dalam puasa, ada yang dermawan, ada pula yang diberi kemampuan untuk menyebarkan ilmu. Semua itu adalah bentuk ibadah, dan masing-masing bisa menjadi jalan menuju ridha Allah, selama dilakukan dengan ikhlas. Wallahu a’lam.