Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
وتأمَّل حكمتَه تعالى في أن جَعَل ملوكَ العباد وأمراءهم وولاتهم من جنس أعمالهم، بل كأنَّ أعمالهم ظهرت في صُوَر وُلاتهم وملوكهم؛ فإن استقاموا استقامت ملوكُهم، وإن عدلوا عدلوا عليهم، وإن جاروا جارت ملوكُهم وولاتهم، وإن ظهر فيهم المكرُ والخديعةُ فوُلاتهم كذلك، وإن منعوا حقوق الله لديهم وبَخِلوا بها منعت ملوكُهم وولاتهم ما لهم عندهم من الحقِّ وبَخِلوا بها عليهم، وإن أخذوا ممَّن يستضعفونه ما لا يستحقُّونه في معاملاتهم أخذت منهم الملوكُ ما لا يستحقُّونه وضربوا عليهم المُكوسَ والوظائف، وكلُّ ما يستخرجونه من الضعيف يستخرجُه الملوكُ منهم بالقوَّة؛ فعمَّالهم ظهرت في صُوَر أعمالهم. وليس في الحكمة الإلهيَّة أن يولَّى على الأشرار الفجَّار إلا من يكونُ من جنسهم.
قال تعالى: (وَكَذَٰلِكَ نُوَلِّي بَعۡضَ ٱلظَّٰلِمِينَ بَعۡضَۢا بِمَا كَانُواْ يَكۡسِبُونَ) [الأنعام: ١٢٩]
ولما كان الصَّدرُ الأوَّلُ خيارَ القرون وأبرَّها كانت ولاتُهم كذلك، فلمَّا شابوا شِيبَت لهم الولاة، فحكمةُ الله تأبى أن يولَّى علينا في هذه الأزمان مثلُ معاوية وعمر بن عبد العزيز، فضلًا عن مثل أبي بكرٍ وعمر، بل ولاتُنا على قَدْرِنا وولاةُ من قبلنا على قَدْرِهم، وكلٌّ من الأمرين مُوجَبُ الحكمة ومقتضاها، ومن له فطنةٌ إذا سافر بفكره في هذا الباب رأى الحكمةَ الإلهيَّة سائرةً في القضاء والقدر، ظاهرةً وباطنةً فيه، كما في الخلق والأمر سواء. فإياك أن تظنَّ بظنك الفاسد أنَّ شيئًا من أقضيته وأقداره عارٍ عن الحكمة البالغة، بل جميعُ أقضيته تعالى وأقداره واقعةٌ على أتمِّ وجوه الحكمة والصَّواب، ولكنَّ العقول الخفَّاشيَّة محجوبةٌ بضعفها عن إدراكها، كما أنَّ الأبصار الخفَّاشيَّة محجوبةٌ بضعفها عن ضوء الشمس، وهذه العقولُ الصِّغارُ إذا صادفها الباطلُ جالت فيه وصالت، ونطقت وقالت، كما أنَّ الخفَّاش إذا صادفه ظلامُ الليل طار وسار.
Perhatikanlah kebijaksanaan Allah dalam menetapkan pemimpin bagi hamba-hamba-Nya. Raja, penguasa, dan pemimpin yang ditetapkan untuk suatu kaum sebenarnya adalah cerminan dari amal perbuatan mereka sendiri. Seakan-akan, perilaku mereka menjelma dalam sosok pemimpin yang mengatur mereka.
• Jika rakyatnya jujur dan lurus, pemimpin pun akan lurus.
• Jika rakyat berbuat adil, pemimpin juga akan adil kepada mereka.
• Jika rakyat zhalim, pemimpin pun akan berbuat zhalim.
• Jika dalam masyarakat tersebar tipu daya dan kecurangan, pemimpin mereka pun akan berlaku curang.
• Jika masyarakat enggan menunaikan hak-hak Allah dan bersikap kikir terhadapnya, pemimpin mereka pun akan menahan hak-hak mereka dan bersikap kikir kepada mereka.
• Jika mereka merampas hak orang-orang lemah dengan zhalim dalam urusan muamalah, pemimpin mereka pun akan merampas hak mereka dengan cara zhalim, menetapkan pajak dan kewajiban yang tidak semestinya.
• Apa yang mereka ambil secara tidak benar dari orang-orang lemah, para pemimpin mereka pun akan mengambil dari mereka dengan paksa.
Maka, pemimpin dan penguasa sejatinya adalah refleksi dari keadaan rakyatnya. Dalam kebijaksanaan Allah, mustahil orang-orang fasik dan zhalim dipimpin kecuali oleh pemimpin yang juga berasal dari kalangan mereka sendiri.
Allah Ta’ala berfirman:
وَكَذَٰلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ ٱلظَّٰلِمِينَ بَعْضًۢا بِمَا كَانُوا۟ يَكْسِبُونَ
“Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang zhalim menjadi pemimpin bagi sebagian yang lain, disebabkan apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-An’am: 129)
Lihatlah generasi pertama Islam, generasi terbaik yang penuh ketakwaan dan keadilan. Maka Allah pun memberikan mereka pemimpin yang shalih dan adil. Namun, ketika masyarakat mulai melakukan kerusakan, maka pemimpin pun juga akan melakukan kerusakan.
Karena itulah, menurut hikmah Allah, tidak mungkin di zaman kita sekarang ada pemimpin seperti Mu’awiyah atau Umar bin Abdul Aziz, apalagi seperti Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Sebab, pemimpin itu sebanding dengan kualitas rakyatnya. Pemimpin sebelum kita sesuai dengan kondisi umat di zamannya, dan pemimpin kita hari ini sesuai dengan keadaan kita sekarang.
Semua ini adalah bagian dari keadilan dan hikmah Allah yang sempurna.
Orang yang berpikiran jernih akan melihat bagaimana kebijaksanaan Allah berjalan dalam setiap takdir-Nya, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Tidak ada satu pun takdir Allah yang terjadi tanpa alasan dan hikmah yang mendalam.
Namun, banyak akal manusia yang lemah sehingga tidak mampu melihat hikmah ini. Sebagaimana mata kelelawar yang buta terhadap cahaya matahari, banyak manusia yang buta terhadap keadilan dan hikmah Allah dalam kehidupan ini.
Sebagian orang, jika sudah mengetahui kebenaran ini, justru mengabaikannya dan menolaknya. Tapi jika bertemu dengan kebatilan, mereka sibuk membela dan memperjuangkannya. Seperti kelelawar yang hanya bisa bergerak dalam gelap, tetapi tak berdaya saat terkena cahaya terang.
___________
📚Miftah Daar As-Sa’adah 2/721, dengan penyesuaian.