Panduan Praktis Zakat Pertanian

Zakat bukan hanya tentang emas, perak, uang, atau barang dagangan. Dalam Islam, hasil pertanian juga termasuk harta yang wajib dizakati. Allah Ta’ala berfirman:

‎وَءَاتُواْ حَقَّهُۥ يَوۡمَ حَصَادِهِۦۖ

“Dan berikanlah haknya (zakatnya) pada waktu memetik hasilnya.” (QS. Al-An’am: 141)

Namun, menurut pendapat yang benar, tidak semua hasil bumi wajib zakat atasnya.

Di artikel ini, kami akan menjelaskan secara sederhana tentang panduan zakat hasil bumi, dari mulai apa saja yang wajib dizakati, berapa nishabnya, dan masalah-masalah lain yang terkait.

Apa saja yang wajib dizakati?

Diriwayatkan dari Abu Musa al-Asy‘ari radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

‎لَا تَأْخُذَا فِي الصَّدَقَةِ إِلَّا مِنْ هَذِهِ الْأَصْنَافِ الْأَرْبَعَةِ: الشَّعِيرِ، وَالْحِنْطَةِ، وَالزَّبِيبِ، وَالتَّمْرِ

“Janganlah kalian mengambil zakat (hasil bumi) kecuali dari empat jenis ini: jelai, gandum, anggur kering (kismis), dan kurma.” (HR. Hakim 4/401, Baihaqi 4/125)

Para ulama sepakat bahwa zakat wajib dikeluarkan dari empat jenis hasil bumi yang disebutkan pada hadits di atas, yaitu:
1. Gandum (hinthah)
2. Jelai (sya‘ir)
3. Kurma (tamr)
4. Anggur kering (zabib)
(Lihat: Al-Ijma’, hlm. 45)

Lalu mereka berselisih pendapat mengenai hasil bumi yang wajib dizakati dari selain empat jenis tersebut.

Menurut madzhab Syafi’i, zakat hasil pertanian tidak diwajibkan atas semua jenis tanaman atau buah-buahan, tapi hanya pada yang benar-benar termasuk makanan pokok—yaitu yang menjadi sumber utama penghidupan dan bisa mengenyangkan, bukan sekadar untuk dinikmati atau sebagai obat. Karena itu, zakat hanya diwajibkan atas buah seperti anggur dan kurma, serta biji-bijian seperti gandum, jelai, beras, kacang adas, jagung, kacang arab, dan kacang fava—semua yang biasa dimakan masyarakat dan bisa disimpan dalam waktu lama. (Lihat: Al-Majmu’ 5/493).

Pendapat ini kuat dan seimbang jika dilihat dari ‘illat-nya (alasan hukum). Karena empat jenis hasil bumi yang disebutkan dalam hadits adalah: makanan pokok yang tahan lama dan bisa disimpan.
Pendekatan ini lebih sesuai dengan sprit Islam yang rahmatan lil ‘alamin dibanding dua pendapat lainnya:

Pertama, pendapat salah satu riwayat dalam madzhab Ahmad yang hanya mewajibkan zakat pada empat jenis (gandum, jelai, kurma, dan anggur) saja. (Lihat: Al-Mughni 2/691)
Karena jika zakat hasil bumi hanya diwajibkan pada empat jenis ini saja, maka banyak wilayah kaum muslimin seperti Indonesia, Malaysia, Bangladesh, hingga sebagian Afrika dan Amerika Latin akan kehilangan potensi zakat yang besar. Sebab, hasil utama pertanian mereka justru beras, jagung, dan kacang-kacangan.

Kedua, pendapat Abu Hanifah yang mewajibkan zakat atas semua hasil bumi tanpa kecuali selama tujuannya adalah untuk memanfaatkan dan mengembangkan tanah. Pendapat ini justru bisa memberatkan dan menyulitkan banyak petani, khusunya petani sayur yang barangnya cepat busuk. Oleh karenanya, dua murid utama Abu Hanifah (yaitu Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani) menyelisihi guru mereka, dan berpendapat bahwa zakat tidak wajib kecuali pada hasil pertanian yang buah atau hasilnya dapat bertahan selama setahun. (Lihat: Hasyiyah Ibni Abidin 2/49,50)

Sebagai tambahan, bahwa madzhab Maliki dan Hanbali secara umum sepakat dengan Syafi’iyah mengenai jenis hasil bumi yang terkena zakat, hanya saja mereka menambahkan beberapa jenis lain. Khususnya Hanabilah, mereka menambahkan satu kriteria lagi: hasil pertanian itu bisa ditakar. Wallahu a’lam. (Lihat: Hasyiyah Ad-Dusuqi 1/447, Syarh Muntaha Al-Irodat 1/388)

Berapa nishab zakat hasil bumi?

Rasulullah ‎ﷺ bersabda:

‎وَلَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ

“Dan tidak ada kewajiban zakat pada hasil pertanian yang kurang dari lima wasaq.” (HR. Bukhari, no. 1405, Muslim, no. 979)

5 wasaq setara berapa kilogram?

1 Wasaq setara dengan 60 sha‘ dengan ukuran sha‘ Nabi ﷺ. (Lihat: Al-Mishbah Al-Munir 2/660)

Para ulama kontemporer berbeda pendapat dalam mengonversi ukuran 1 sha‘ ke satuan volume. Jika merujuk kepada Fatwa MUI No. 65 Tahun 2022 (halaman 7), disebutkan bahwa 1 sha‘ setara dengan 3,5 liter, atau sekitar 2,7 kilogram jika yang ditimbang adalah beras.

Dengan acuan ini, nishab zakat untuk beras bisa dihitung sebagai berikut:
– 1 wasaq = 60 sha‘ × 2,7 kg = 162 kg
– 5 wasaq = 5 × 162 kg = 810 kg

Jadi, nishab beras menurut konversi ini adalah 810 kilogram. Bila hasil panen mencapai atau melebihi jumlah tersebut, maka zakat wajib ditunaikan. Wallahu a’lam.

Bagaimana cara yang tepat untuk menentukan berat 5 wasaq sebagai nishab zakat, khususnya pada hasil panen yang masih mengandung kadar air tinggi atau masih memiliki kulit luar yang tidak dikonsumsi?

Menurut mazhab Syafi’i dan Hanbali, ukuran minimal (nishab) 5 wasaq dalam zakat hasil pertanian dihitung setelah proses penyaringan untuk biji-bijian, dan setelah proses pengeringan untuk buah-buahan.

Contohnya:
Jika seseorang memiliki 10 wasaq anggur, namun setelah dikeringkan tidak menghasilkan 5 wasaq kismis, maka tidak wajib zakat.
Sebab, waktu wajib zakat adalah setelah buah tersebut kering, maka ukuran nishab dihitung berdasarkan kondisi buah pada saat itu.

Apa yang dimaksud dengan penyaringan biji-bijian?

Yaitu memisahkan biji dari jerami dan kulit luar yang tidak dimakan.
Hal ini berlaku untuk biji-bijian yang biasa dikeringkan dan disimpan.
Namun, jika ada jenis biji-bijian yang tidak dapat disimpan dengan baik kecuali dalam keadaan berkulit, padahal kulitnya tidak dimakan, seperti ‘allas (sejenis gandum) atau beras di beberapa daerah yang biasa disimpan bersama sekamnya, maka sebagian ulama Syafi’iyah berpendapat: nishab-nya adalah 10 wasaq, dengan mempertimbangkan bahwa kulit tersebut dibutuhkan agar bisa disimpan dengan baik. (Lihat: Nihayatul Muhtaj 3/73, Syarh Muntaha Al-Irodat 1/393)

Sebagaimana tambahan, bahwa hasil hasil bumi yang masih satu jenis bisa digabung untuk menyempurnakan nisab zakat.

Contohnya:
Jika seseorang memanen beras rojolele sebanyak 500 kg dan beras sentra ramos sebanyak 500 kg, maka keduanya bisa digabung karena masih termasuk jenis beras. Totalnya menjadi 1.000 kg, dan karena sudah melewati nisab zakat pertanian, sehingga hasil panen tersebut wajib dizakati.

Berapa yang harus dikeluarkan?

Tidak seperti zakat uang yang kadar zakatnya 2,5%, zakat hasil bumi justru lebih besar, yakni 5% atau bahkan 10%, tergantung pada bagaimana cara pengairannya. Rasulullah ‎ﷺ bersabda:

‎فِيمَا سَقَتِ السَّمَاءُ وَالْأَنْهَارُ وَالْعُيُونُ أَوْ كَانَ عَثَرِيًّا، الْعُشْرُ، وَمَا سُقِيَ بِالنَّضْحِ، نِصْفُ الْعُشْرِ

“Tanaman yang disirami oleh air hujan, sungai, atau mata air, atau yang tumbuh secara alami tanpa usaha pengairan dari pemiliknya, maka zakatnya adalah sepersepuluh (10%). Sedangkan yang disirami dengan cara disiram menggunakan tenaga atau alat, zakatnya adalah setengah dari sepersepuluh (5%).” (HR. Bukhari, no. 1483)

Hadits ini menunjukkan beberapa hukum:

1. Besarnya zakat hasil bumi (yang telah mencapai nishab) tergantung pada cara pengairannya:
• Jika tanaman disiram secara alami, seperti oleh air hujan, aliran sungai, mata air, atau tumbuh sendiri karena akar menyerap air tanpa usaha manusia, maka zakatnya adalah 10% dari total hasil panen.
• Namun jika tanaman disiram melalui usaha manusia, seperti menggunakan alat, pompa, irigasi buatan, atau tenaga manual, maka zakatnya adalah 5% dari total hasil panen.

Bagaimana jika disiram sebagian waktu dengan biaya, dan sebagian lagi tanpa biaya?

Ada dua kemungkinan:
A. Jika setengah tahun disiram dengan biaya (seperti pompa atau alat), dan setengah tahun lagi tanpa biaya (seperti air hujan atau aliran sungai),
maka zakatnya adalah tiga perempat dari 10%, yaitu 7,5% dari hasil panen. (Lihat: Al-Mughni 3/10)
B. Dan jika cara menyiramnya tidak seimbang, misalnya lebih sering menggunakan air hujan daripada alat, atau sebaliknya, maka yang dipakai sebagai acuan adalah cara yang paling sering digunakan:
• Jika lebih sering disiram tanpa biaya, maka zakatnya adalah 10%.
• Tapi, jika lebih sering disiram dengan alat atau usaha, maka zakatnya adalah 5%. (Lihat: Fathul Qadir 2/246, Minahul Jalil 2/30, Kasyaf Al-Qina’ 2/210, Al-Majmu’ 5/461)

2. Berbeda dengan zakat jenis harta lainnya, zakat hasil pertanian tidak mensyaratkan kepemilikan ditahan selama satu haul (satu tahun penuh) setelah mencapai nishab.
Sebaliknya, zakat langsung diwajibkan saat panen, selama hasil panen telah mencapai 5 wasaq. (Lihat: At-Taj wal Iklil 2/285, Al-Majmu’ 5/465, Kasyaf Al-Qina’ 2/210)

Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

‎وَءَاتُواْ حَقَّهُۥ يَوۡمَ حَصَادِهِۦۖ

“Dan berikanlah haknya (zakatnya) pada waktu memetik hasilnya.”
(QS. Al-An’am: 141)

Catatan:
Meskipun zakat hasil bumi tidak mensyaratkan disimpan selama satu haul setelah mencapai nishab, namun hasil panen yang diperoleh dalam satu tahun Hijriah tetap perlu digabung satu sama lain untuk menentukan apakah telah mencapai nishab, selama jenisnya sama.

Contohnya seperti: beras dengan beras, jagung dengan jagung, atau anggur dengan anggur, meskipun kenyataannya pada anggur sulit terjadi. Wallahu a’lam. (Lihat: Kasyaf Al-Qina’ 4/404).

Hikmah Perbedaan Kadar Zakat

Salah satu hal yang menarik dalam fikih zakat adalah perbedaan kadar yang diwajibkan antara jenis-jenis harta. Zakat hasil pertanian dikenakan sebesar 5% hingga 10% dari total panen, sementara zakat emas dan perak hanya sebesar 2,5% dari nilai totalnya. Di balik perbedaan ini, ada hikmah yang mencerminkan kedalaman syariat Islam dalam menimbang keadilan dan kemaslahatan.

Salah satu hikmahnya adalah bahwa hasil pertanian tumbuh langsung dari tanah dengan usaha yang relatif lebih ringan dibandingkan dengan jenis harta lainnya. Seorang petani hanya menanam, menyiram, dan merawat tanaman, lalu Allah-lah yang menumbuhkannya dari tanah dengan limpahan hujan dan cahaya matahari. Ketika hasilnya panen dan mencapai nishab, zakatnya langsung wajib ditunaikan, tanpa menunggu bertahan satu haul.

Berbeda dengan emas dan perak, yang pada umumnya diperoleh melalui kerja keras yang berkelanjutan, seperti berdagang, bekerja, atau berinvestasi dalam jangka waktu panjang. Maka syariat hanya membebani pemiliknya dengan zakat 2,5%, dan itupun setelah disimpan selama satu tahun, sebagai bentuk konfirmasi bahwa hartanya memang stabil dan layak dizakati.

Dengan kata lain, perbedaan kadar zakat ini sejalan dengan tingkat usaha dan keberlangsungan harta. Hasil bumi, yang datang cepat dan mudah, dizakati lebih besar. Sedangkan harta yang dikumpulkan perlahan dan dengan jerih payah, dizakati lebih ringan dan setelah diuji waktu. Wallahu a’lam.