Mewaspadai ‘Ain dan Para Pelemparnya

‘Ain adalah pengaruh buruk yang timbul dari pandangan mata dan rasa hasad (iri dengki). Ia merupakan perkara yang benar-benar nyata, memiliki pengaruh dan dampak terhadap orang yang terkena, bukan sekadar dugaan atau khayalan semata. (Lihat: Fathul Baari 10/203, Syarah Shahih Muslim 3/93 dengan penyesuaian)

Rasulullah ﷺ bersabda:

‎العَيْنُ حَقٌّ

“Ain itu benar adanya.” (HR. Bukhari, no. 5740 dan Muslim, no. 2187)

Apa contoh pengaruhnya?

Di zaman Nabi ‎ﷺ, seorang yang bernama ‘Amir bin Rabi‘ah pernah melewati Sahl bin Hunaif yang saat itu sedang mandi. Ia pun berkata,

لَمْ أَرَ كَاليَومِ، وَلَا جِلْدَ مُخَبَّأَةٍ

“Belum pernah aku melihat seperti hari ini, kulit sehalus ini bahkan tidak dimiliki oleh gadis yang dipingit.”

Tak lama kemudian, Sahl pun jatuh pingsan (karena terkena ‘ain dari ‘Amir). Lalu ia dibawa kepada Nabi ﷺ.
Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, tolonglah Sahl, ia pingsan.”

Beliau bertanya, “Siapa yang kalian tuduh menyebabkannya?”
Mereka menjawab, “Amir bin Rabi‘ah.”

Maka Nabi ﷺ bersabda:

عَلامَ يَـقْتُلُ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ؟ إِذَا رَأَى أَحَدُكُمْ مِنْ أَخِيهِ مَا يُعْجِبُهُ، فَلْيَدْعُ لَهُ بِالْبَرَكَةِ

“Mengapa salah seorang di antara kalian hendak membunuh saudaranya? Jika salah seorang dari kalian melihat sesuatu yang mengagumkannya dari saudaranya, hendaklah ia mendoakannya agar diberi keberkahan.”

Kemudian Rasulullah ﷺ meminta air, dan memerintahkan ‘Amir untuk berwudhu: membasuh wajahnya, kedua tangannya hingga siku, kedua lututnya, serta bagian dalam kain sarungnya, lalu memerintahkan agar air bekas wudhu itu disiramkan kepada Sahl, maka ia pun segera sembuh dan pergi bersama orang-orang. (HR. Ibnu Majah, no. 3509, Malik 5/1375, Ahmad, no. 15980)

Imam Az-Zuhri menjelaskan cara mengobati ‘ain (pandangan mata hasad) dengan air bekas wudhu orang yang melempar ‘ain. Caranya sebagai berikut:

Orang yang diduga menyebabkan ‘ain diminta untuk mengambil sebuah bejana berisi air, lalu:
1. Memasukkan telapak tangannya ke dalam air,
lalu berkumur dengan air itu dan meludahkannya kembali ke dalam bejana.
2. Mencuci wajahnya dengan air tersebut.
3. Memasukkan tangan kirinya, lalu menuangkan air ke tangan kanannya di dalam bejana.
4. Memasukkan tangan kanannya, lalu menuangkan air ke tangan kirinya.
5. Memasukkan tangan kirinya lagi, lalu menuangkan air ke siku kanannya.
6. Memasukkan tangan kanannya, lalu menuangkan air ke siku kirinya.
7. Memasukkan tangan kirinya, lalu menuangkan air ke kaki kanannya.
8. Memasukkan tangan kanannya, lalu menuangkan air ke kaki kirinya.
9. Memasukkan tangan kirinya lagi, lalu menuangkan air ke lutut kanannya.
10. Memasukkan tangan kanannya, lalu menuangkan air ke lutut kirinya.
11. Terakhir, mencuci bagian dalam kain sarungnya (yakni ujung dalam pakaian bagian pinggang).

Selama proses ini, bejana air tidak boleh diletakkan di tanah. Setelah semua langkah selesai, air dari bejana itu disiramkan sekali dari arah belakang kepala orang yang terkena ‘ain.

Inilah tata cara pengobatan ‘ain dengan air bekas wudhu orang yang melempar ‘ain, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama salaf. (Lihat: Mushannaf Ibni Abi Syaibah, no. 24061, al-Mu’jam al-Kabir, no. 5577, Zadul Ma’ad 4/243)

Selain menggunakan air bekas wudhu orang yang melempar ‘ain, pengobatan juga dapat dilakukan dengan ruqyah syar‘iyyah, yaitu bacaan doa dan ayat-ayat Al-Qur’an sebagai bentuk permohonan perlindungan kepada Allah.

Diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:

أَمَرَنِي النَّبِيُّ ﷺ ـ أَوْ أَمَرَ ـ أَنْ نَسْتَرْقِيَ مِنَ الْعَيْنِ

Nabi ﷺ memerintahkanku — atau beliau memerintahkan (secara umum) — agar kami melakukan ruqyah untuk mengobati penyakit akibat ‘ain (pandangan mata hasad). (HR. Bukhari, no. 5738 dan Muslim, no. 2195)

Diriwayatkan juga dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya Nabi ﷺ melihat di rumahnya seorang budak wanita yang di wajahnya ada pucat pasi/kehitaman. Maka beliau bersabda:

اسْتَرْقُوا لَهَا، فَإِنَّ بِهَا النَّظْرَةَ

“Ruqyahlah dia, karena sesungguhnya dia terkena ‘ain.” (HR. Bukhari, no. 5739 Muslim, no. 2197)

Dzikir perlindungan dari ‘ain

Rasulullah ﷺ mendoakan cucu beliau supaya terhindar dari ‘ain. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: “Nabi ﷺ biasa memohonkan perlindungan untuk Hasan dan Husain, beliau bersabda: ‘Sesungguhnya kakek kalian berdua (Nabi Ibrahim) biasa memohonkan perlindungan untuk Isma’il dan Ishaq dengan doa:

أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ، مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ، وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لاَمَّةٍ

A’UUDZU BI KALIMAATILLAAHIT TAAMMAH, MIN KULLI SYAITHAANIN WA HAAMMAH, WA MIN KULLI ’AININ LAAMMAH

“Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna, dari setiap setan dan binatang berbisa, dan dari setiap ‘ain yang jahat.” (HR. Bukhari, no. 3371)

Bagaimana penjelasan logis ‘ain bisa memberikan pengaruh?

Penjelasan logis bagaimana ‘ain bisa berpengaruh adalah karena jiwa (ruh) manusia memiliki kekuatan dan tabiat tertentu yang bisa memengaruhi tubuh, baik tubuhnya sendiri maupun tubuh orang lain. Allah telah menciptakan dalam diri manusia kekuatan batin yang tidak tampak, namun nyata pengaruhnya.

Bukti logisnya dapat dilihat dari fenomena sehari-hari:
• Wajah bisa memerah karena malu saat dilihat seseorang yang disegani.
• Wajah bisa pucat karena takut ketika dilihat orang yang ditakuti.
• Bahkan ada orang yang jatuh sakit hanya karena pandangan orang lain.

Semua itu menunjukkan bahwa pandangan mata bukan sekadar proses fisik melihat, tapi ada pengaruh ruhani (energi jiwa) yang keluar melalui mata dan bisa mengenai orang lain. Karena jiwa sangat terhubung dengan mata, maka efeknya sering dikaitkan dengan “mata”, padahal yang sebenarnya memberi pengaruh adalah kekuatan ruh di balik pandangan tersebut.

Jadi, secara logika, pengaruh ‘ain bisa terjadi karena interaksi antara kekuatan jiwa si pemberi ‘ain dengan tubuh orang yang terkena, melalui saluran pandangan mata. (Lihat: Zadul Ma’ad 4/247)

Apa ciri orang yang melempar ‘ain?

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa orang yang melemparkan ‘ain terbagi menjadi dua jenis besar, yaitu:
1. Orang yang hasad (dengki),
2. Orang yang takjub terhadap sesuatu tapi lupa berdzikir kepada Allah.

Beliau berkata bahwa setiap pelaku ‘ain pasti mengandung sifat hasad, namun tidak setiap orang yang hasad pasti melemparkan ‘ain. Karena itu, ketika kita berlindung kepada Allah dari kejahatan orang yang dengki, maka di dalamnya sudah termasuk perlindungan dari bahaya ‘ain.

وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ

“(Dan aku berlindung kepada Allah) dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki.” (QS. Al-Falaq: 5)

Ibnul Qayyim kemudian menjelaskan bahwa ‘ain itu seperti panah yang keluar dari jiwa orang yang hasad atau yang matanya membawa pengaruh, menuju kepada orang yang dilihat (ma‘īn). Panah ini kadang mengenai sasarannya, kadang meleset.
• Bila orang yang terkena tidak memiliki pelindung diri, seperti keimanan, dzikir, dan doa perlindungan, maka panah itu akan mengenainya dan menimbulkan pengaruh buruk.
• Namun bila orang itu berlindung kepada Allah, hatinya penuh iman dan dzikir, maka panah tersebut tidak akan menembusnya, bahkan bisa berbalik kepada si pelaku ‘ain.

Ibnul Qayyim menggambarkannya seperti panah secara fisik — bedanya, yang satu berasal dari tubuh, dan yang satu berasal dari jiwa.

Asal terjadinya ‘ain, kata beliau, adalah kekaguman seseorang terhadap sesuatu, lalu jiwanya yang kotor menyalurkan energi beracun melalui pandangan matanya. Maka:
• kadang seseorang bisa mencelakai orang lain hanya karena takjub,
• bahkan bisa mencelakai dirinya sendiri,
• dan kadang ‘ain itu terjadi tanpa sengaja, semata karena tabiat jiwa yang buruk.

Beliau menutup dengan peringatan tegas: jika seseorang diketahui sering menimbulkan ‘ain kepada orang lain, maka penguasa berhak menahannya, dan menjamin nafkahnya sampai ia meninggal dunia, demi mencegah bahaya bagi masyarakat.

Kesimpulan ciri-ciri orang yang melempar ‘ain:
• Jiwanya mengandung hasad, iri, atau kekaguman tanpa dzikir kepada Allah.
• Pandangannya membawa pengaruh negatif terhadap yang dilihat.
• Kadang melakukannya sengaja karena benci, kadang tanpa sengaja karena tabiat jiwanya buruk.
• Bahaya pandangannya nyata dan berulang, hingga perlu dicegah secara syar‘i bila terbukti membahayakan orang lain. (Lihat: Zadul Ma’ad 4/238)

Sikap saat melihat hal yang dikagumi

Apabila seseorang melihat sesuatu yang membuatnya kagum—baik pada dirinya sendiri maupun pada orang lain—maka hal pertama yang harus ia sadari adalah bahwa semua itu semata-mata merupakan karunia dari Allah Ta‘ala. Karena itu, segala pujian hendaknya dikembalikan kepada-Nya, dan orang yang dikagumi sebaiknya didoakan agar mendapat keberkahan dari Allah Ta‘ala. Seperti ucapan:

“Barakallah Fiik.”

Artinya: “Semoga Allah memberikan keberkahan padamu,” dan lain sebagainya.

Rasulullah ﷺ bersabda:

‎إِذَا رَأَى أَحَدُكُمْ مِنْ أَخِيهِ مَا يُعْجِبُهُ، فَلْيَدْعُ لَهُ بِالْبَرَكَةِ

“Jika salah seorang dari kalian melihat sesuatu yang mengagumkannya dari saudaranya, hendaklah ia mendoakannya agar diberi keberkahan.” (HR. Ibnu Majah, no. 3509, Malik 5/1375, Ahmad, no. 15980)

Dan apabila hal yang membuat kagum itu terdapat pada dirinya sendiri, maka disunnahkan untuk mengucapkan:

“Masya Allah, La quwwata illa billah.”

Artinya: “Itu semua atas kehendak Allah; tidak ada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah.”

Allah Ta’ala berfirman:

وَلَوۡلَآ إِذۡ دَخَلۡتَ جَنَّتَكَ قُلۡتَ مَا شَآءَ ٱللَّهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِٱللَّهِۚ إِن تَرَنِ أَنَا۠ أَقَلَّ مِنكَ مَالٗا وَوَلَدٗا

Dan mengapa ketika engkau memasuki kebunmu (yang sangat indah) tidak mengucapkan “Masya Allah, La quwwata illa billah.” (Itu semua atas kehendak Allah; tidak ada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah). (QS. Al-Kahfi: 39)

Maksudnya, orang yang memiliki kebun yang indah itu diberi nasihat agar mengucapkan dzikir tersebut sebagai bentuk pengakuan bahwa keindahan dan kenikmatan itu semata-mata berasal dari kehendak Allah. Wallahu a’lam.