Sebagian orang beranggapan bahwa mengucapkan “Selamat Natal” (peringatan kelahiran Nabi Isa ‘alaihissalam) dibolehkan atas nama toleransi beragama. Salah satu dalil yang sering diajukan adalah firman Allah Ta’ala dalam Surat Maryam ayat 33:
وَٱلسَّلَٰمُ عَلَيَّ يَوۡمَ وُلِدتُّ وَيَوۡمَ أَمُوتُ وَيَوۡمَ أُبۡعَثُ حَيّٗا
“Dan keselamatan atasku pada hari aku dilahirkan, pada hari aku wafat, dan pada hari aku dibangkitkan kembali dalam keadaan hidup.” (QS. Maryam: 33)
Dari ayat ini muncul syubhat (kerancuan berpikir) yang tersebar: “Jika Al-Qur’an saja mengucapkan keselamatan atas kelahiran Isa, mengapa kaum Muslimin tidak boleh mengucapkan selamat Natal?”
Syubhat ini perlu dijawab secara ilmiah dan proporsional, agar tidak terjadi kesalahan dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an dan konsep toleransi dalam Islam.
Jawaban atas Syubhat Tersebut
1. Salam Itu Ditujukan kepada Isa sebagai Nabi dan Hamba Allah
Ucapan “keselamatan” dalam ayat tersebut sama sekali bukan pengakuan ketuhanan, bukan pula legitimasi keyakinan Nasrani tentang Isa sebagai anak Tuhan. Ayat 33 ini adalah lanjutan dari penegasan identitas Nabi Isa ‘alaihissalam pada ayat-ayat sebelumnya.
Allah Ta’ala berfirman pada ayat 30:
قَالَ إِنِّي عَبۡدُ ٱللَّهِ ءَاتَىٰنِيَ ٱلۡكِتَٰبَ وَجَعَلَنِي نَبِيّٗا
“Isa berkata: Sesungguhnya aku adalah hamba Allah. Dia memberiku Kitab dan menjadikanku seorang Nabi.” (QS. Maryam: 30)
Ayat ini sangat tegas: Isa adalah hamba Allah dan seorang Nabi, bukan Tuhan dan bukan anak Tuhan. Maka salam yang disebutkan dalam ayat 33 adalah salam kepada seorang Nabi, sebagaimana salam kepada nabi-nabi lainnya, bukan perayaan atas ritual atau keyakinan agama lain.
2. Jika Kelahirannya Dirayakan, Mengapa Tidak Wafatnya?
Ayat tersebut tidak hanya menyebut hari kelahiran, tetapi juga hari wafat:
وَٱلسَّلَٰمُ عَلَيَّ يَوۡمَ وُلِدتُّ وَيَوۡمَ أَمُوتُ
“Keselamatan atasku pada hari aku dilahirkan dan pada hari aku wafat.”
Jika ayat ini dijadikan dalil bolehnya mengucapkan selamat atas kelahiran Isa, maka secara konsekuen seharusnya juga dibolehkan mengucapkan selamat atas wafatnya Isa.
Padahal dalam ajaran Nasrani sendiri, kematian Yesus adalah keyakinan sentral, sebagaimana tercantum dalam kitab mereka:
Matius 27:50: “Yesus berseru pula dengan suara nyaring lalu menyerahkan nyawanya.”
Yohanes 19:30: “Sesudah Yesus meminum anggur asam itu, berkatalah Ia: ‘Sudah selesai.’ Lalu Ia menundukkan kepalanya dan menyerahkan nyawanya.”
Lukas 23:46: “Yesus menyerahkan nyawanya ke dalam tangan Bapa sebelum akhirnya wafat.”
Pertanyaannya: apakah layak “merayakan” wafatnya Tuhan?
Bagaimana mungkin Tuhan memiliki sifat mati?
Secara logika, Tuhan yang berhak disembah hanyalah Yang Maha Hidup dan Maha Berdiri Sendiri:
ٱلۡحَيُّ ٱلۡقَيُّومُ
Justru Al-Qur’an menampilkan Nabi Isa berlepas diri secara total dari klaim ketuhanan yang dinisbatkan kepadanya.
Allah Ta’ala berfirman:
وَإِذۡ قَالَ ٱللَّهُ يَٰعِيسَى ٱبۡنَ مَرۡيَمَ ءَأَنتَ قُلۡتَ لِلنَّاسِ ٱتَّخِذُونِي وَأُمِّيَ إِلَٰهَيۡنِ مِن دُونِ ٱللَّهِۖ قَالَ سُبۡحَٰنَكَ مَا يَكُونُ لِيٓ أَنۡ أَقُولَ مَا لَيۡسَ لِي بِحَقٍّ
“Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: ‘Wahai Isa putra Maryam, apakah engkau pernah mengatakan kepada manusia: jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua tuhan selain Allah?’ Isa menjawab: ‘Mahasuci Engkau, tidaklah pantas bagiku mengatakan apa yang bukan hakku.’” (QS. Al-Ma’idah: 116)
Ayat ini menegaskan bahwa Isa sendiri berlepas diri dari kesyirikan, apalagi dari ritual keagamaan yang dibangun di atasnya.
3. Tidak Pernah Dipraktikkan oleh Rasulullah ﷺ dan Para Sahabat
Al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah ﷺ dan dipahami langsung oleh para sahabat. Mereka hidup berdampingan dengan kaum Yahudi dan Nasrani di Madinah, dan merekalah generasi yang paling memahami toleransi secara benar.
Jika mengucapkan selamat Natal merupakan bagian dari toleransi yang disyariatkan atau dianjurkan oleh ayat Al-Qur’an, tentu Rasulullah ﷺ dan para sahabat adalah orang-orang yang paling dahulu mengamalkannya.
Namun, tidak satu pun riwayat sahih menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ, para sahabat, atau generasi salaf mengucapkan selamat hari raya agama lain, meskipun mereka hidup berdampingan secara damai dan adil.
Ini menunjukkan bahwa:
• Toleransi tidak identik dengan pembenaran akidah.
• Berbuat baik atau toleransi tidak harus dengan ikut serta dalam syiar agama lain.
Wallahu a’lam.