Larangan-Larangan Ihram: Jangan Sepelekan, Agar Hajimu Sempurna

Saat seseorang telah mengenakan ihram, artinya ia sedang memasuki fase ibadah yang sangat mulia. Bukan hanya soal mengganti pakaian dan mengucapkan talbiyah, tapi juga menjaga diri dari hal-hal yang dilarang selama ihram. Mengetahui apa saja yang tidak boleh dilakukan ini sama pentingnya dengan memahami rukun dan kewajiban haji itu sendiri.

Dalam artikel ini, kita akan membahas larangan-larangan ihram yang penting untuk diketahui, baik yang berlaku bagi semua jamaah maupun yang khusus bagi laki-laki atau perempuan. Penjelasannya tidak rumit, cukup fokus pada larangan-larangan yang paling sering dilanggar dan apa akibatnya jika larangan tersebut dilanggar. Apakah ada dosa? Denda? Dan apa bentuk dendanya? Ataukah justru tidak masalah karena ada alasan tertentu?

Bacalah sampai tuntas agar kita dapat menjaga kesempurnaan manasik dan tidak meremehkan hal-hal yang bisa menggugurkan pahala besar.

Larangan ini terbagi menjadi tiga jenis: larangan yang berlaku untuk laki-laki dan perempuan, larangan khusus bagi laki-laki, serta larangan khusus bagi perempuan.

Namun, sebelum kita membahas lebih jauh, kami ingatkan kepada para jamaah agar memulai ihram dari miqat yang telah ditentukan dalam syariat. Jangan sampai melewati miqat dalam keadaan belum berihram.

Jika seseorang melewati miqat tanpa berihram, maka ia wajib kembali ke miqat tersebut dan memulai ihram dari sana, selama masih memungkinkan. Jika ia kembali dan berihram dari miqat, maka ia tidak wajib membayar dam (denda berupa penyembelihan kambing). Para ulama sepakat bahwa hal ini dianggap seolah-olah ia belum pernah melewati miqat.

Namun jika ia tetap melanjutkan perjalanan dan baru berihram setelah melewati miqat, maka ia wajib membayar dam, baik ia kembali ke miqat setelahnya ataupun tidak. Dam ini berupa penyembelihan kambing yang dibagikan kepada orang miskin di wilayah haram. Wallahu a’lam. (Lihat: Jawahirul Iklil 1/170, Al-Mughni 3/266)

Larangan yang Berlaku untuk Laki-laki dan Perempuan

1. Mencabut atau Mencukur Rambut
Tidak diperbolehkan mencukur atau menghilangkan rambut kepala maupun bagian tubuh lainnya. Namun, jika ada rambut yang menyebabkan gangguan, seperti jatuh ke mata dan terasa menyakitkan, maka boleh dicabut tanpa berdosa. Begitu juga jika seseorang menggaruk kepala secara lembut dan tanpa sengaja ada rambut yang rontok, hal itu tidak dikenai dosa.

2. Memotong Kuku
Larangan ini mencakup kuku tangan dan kaki. Tapi jika ada kuku yang patah dan menimbulkan rasa sakit, maka boleh dipotong bagian yang mengganggu tersebut tanpa berdosa.

3. Menggunakan Wewangian
Tidak diperbolehkan memakai minyak wangi setelah berniat ihram, baik di tubuh, pakaian, maupun benda lain. Jika wewangian sudah dipakai sebelum ihram dan masih tersisa aromanya setelahnya, maka itu tidak mengapa, karena larangannya berlaku setelah memasuki ihram.
Termasuk dalam hal ini, tidak boleh meminum kopi atau minuman lain yang mengandung saffron (za’faran), karena saffron termasuk wewangian. Kecuali jika saffron tersebut sudah dimasak hingga hilang bau dan rasanya, yang tersisa hanya warna, maka boleh dikonsumsi.

4. Bersentuhan dengan Pasangan karena Syahwat
Selama dalam keadaan ihram, seseorang dilarang melakukan hal-hal yang mengandung unsur syahwat terhadap pasangannya, seperti memandang dengan hasrat, menyentuh dengan dorongan nafsu, atau bentuk-bentuk godaan lainnya. Larangan ini semakin berat jika sampai terjadi hubungan suami istri, karena termasuk pelanggaran besar dalam ihram dan dendanya pun lebih berat.
Catatan: Termasuk dalam larangan ini adalah melakukan akad nikah selama ihram.

5. Memakai Sarung Tangan
Tidak diperbolehkan menggunakan sarung tangan, khususnya yang biasa digunakan untuk menutupi tangan wanita.

6. Membunuh Hewan Buruan Darat
Termasuk larangan adalah membunuh hewan buruan yang halal dan hidup di darat seperti rusa, kelinci, merpati, atau belalang. Namun, hewan laut seperti ikan boleh ditangkap atau dipancing. Hewan jinak seperti ayam juga boleh disembelih.
Jika seseorang tanpa sengaja menginjak belalang di jalan karena tak bisa menghindar, maka tidak berdosa karena tidak ada unsur kesengajaan.

Tentang Memotong Pohon
Memotong pohon tidak termasuk larangan ihram secara langsung, namun dilarang jika dilakukan di dalam wilayah Tanah Haram, baik oleh orang yang sedang ihram maupun tidak.
Karena itu, memotong pohon di Arafah diperbolehkan karena berada di luar wilayah haram. Sementara di Mina dan Muzdalifah, tidak diperbolehkan karena termasuk wilayah haram.
Jika seseorang menyenggol atau merusak pohon secara tidak sengaja saat berjalan, maka tidak ada dosa. Adapun pohon yang sudah mati, boleh dipotong kapan pun karena tidak termasuk larangan.

Larangan Ihram Khusus bagi Laki-laki

Ada dua larangan ihram yang berlaku khusus bagi laki-laki:

1. Memakai Pakaian yang Dijahit (Berbentuk Tubuh)
Yang dimaksud dengan pakaian dijahit di sini bukan semata-mata karena dijahit benangnya, tetapi karena pakaian tersebut dibuat sesuai bentuk tubuh dan biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari, seperti: kemeja, kaus, celana panjang, dan sejenisnya. Maka, tidak diperbolehkan bagi laki-laki yang sedang ihram untuk mengenakan pakaian-pakaian tersebut dengan cara biasa.
Namun, bila pakaian tersebut digunakan dengan cara yang berbeda, seperti menjadikan kemeja sebagai rida’ (kain penutup bagian atas) atau jubah sebagai izar (kain penutup bagian bawah), maka tidak mengapa. Begitu pula, tidak dilarang untuk mengenakan rida’ atau izar yang diperbaiki atau disambung dengan kain lain.

Adapun benda-benda seperti sabuk, jam tangan, kacamata, dan penjepit kain ihram, semuanya diperbolehkan karena tidak termasuk dalam larangan dan tidak ada dalil yang melarangnya.

Nabi ﷺ bersabda ketika ditanya tentang pakaian yang dikenakan orang yang sedang ihram:

لَا يَلْبَسِ الْقَمِيصَ وَلَا الْعَمَائِمَ وَلَا السَّرَاوِيلَاتِ وَلَا الْبَرَانِسَ وَلَا الْخِفَافَ

“Janganlah mengenakan kemeja, sorban, celana panjang, jubah, atau sepatu.” (HR. Bukhari, no. 1542 dan Muslim, no. 1177)

Hadits ini menunjukkan bahwa selain yang disebutkan, maka hukumnya boleh dikenakan.

Jika seseorang tidak memiliki izar, maka ia boleh mengenakan celana panjang. Jika tidak memiliki sandal, maka boleh memakai sepatu, sebagaimana sabda Nabi ﷺ dalam khutbahnya di Arafah:

مَنْ لَمْ يَجِدِ النَّعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسِ الْخُفَّيْنِ، وَمَنْ لَمْ يَجِدْ إِزَارًا فَلْيَلْبَسِ السَّرَاوِيلَ

“Barang siapa yang tidak menemukan sandal, maka kenakanlah sepatu. Dan barang siapa yang tidak menemukan izar, maka kenakanlah celana panjang.” (HR. Bukhari, no. 1841 dan Muslim, no. 1178)

Demikian pula, menurut pendapat yang masyhur dalam mazhab Imam Ahmad, diperbolehkan bagi orang yang sedang ihram untuk mengenakan cincin. (Lihat: Kasyaf Al-Qina’ 2/449)

2. Menutup Kepala dengan Sesuatu yang Menempel

Laki-laki yang sedang ihram tidak boleh menutupi kepala dengan sesuatu yang langsung menempel, seperti peci, sorban, atau topi.

Namun, tidak mengapa berlindung dari panas atau hujan dengan payung, tenda, atau atap kendaraan, karena hal itu tidak termasuk dalam larangan, sebab bukan menutupi kepala secara langsung. Dalam hadits dari Ummul Hushain Al-Ahmasiyyah, dia berkata:

حَجَجْنَا مَعَ النَّبِيِّ ﷺ حَجَّةَ الْوَدَاعِ فَرَأَيْتُهُ حِينَ رَمَى جَمْرَةَ الْعَقَبَةِ وَانْصَرَفَ وَهُوَ عَلَى رَاحِلَتِهِ وَمَعَهُ بِلَالٌ وَأُسَامَةُ أَحَدُهُمَا يَقُودُ بِهِ رَاحِلَتَهُ، وَالْآخَرُ رَافِعًا ثَوْبَهُ عَلَى رَأْسِ النَّبِيِّ ﷺ يُظَلِّلُهُ مِنَ الشَّمْسِ

“Kami berhaji bersama Nabi ﷺ dalam haji wada’, dan saya melihat beliau ketika melempar jumrah aqabah, beliau bergegas di atas kendaraannya, bersama Bilar dan Usamah, salah seorang dari mereka menuntun kendaraan beliau, sementara yang lain mengangkat pakaiannya di atas kepala Nabi ﷺ, meneduhkan beliau dari panas matahari.”
Dalam riwayat lain disebutkan:

يَسْتُرُهُ مِنَ الْحَرِّ حَتَّى رَمَى جَمْرَةَ الْعَقَبَةِ

“Ia menutupi Nabi dari terik matahari, sampai selesai melempar jumrah aqabah.” (HR. Muslim, no. 1298, Ahmad 2/402)

Dari sini dipahami bahwa larangan adalah menutupi kepala dengan sesuatu yang menempel langsung, bukan sekadar berlindung.

Juga diperbolehkan membawa barang di atas kepala selama tidak diniatkan untuk menutupinya. Bahkan jika seseorang berenang dan kepalanya masuk ke dalam air, hal itu juga tidak menjadi pelanggaran.

Larangan Ihram Khusus bagi Wanita

Larangan ihram yang berlaku khusus bagi wanita adalah memakai niqab (cadar), yaitu menutupi wajah dengan kain yang hanya membiarkan mata terlihat untuk melihat.

Sebagian ulama berpendapat bahwa wanita tidak boleh menutupi wajah sama sekali saat ihram, baik dengan niqab atau dengan kain lainnya, kecuali jika ada laki-laki asing yang melintas di dekatnya. Dalam kondisi seperti ini, ia wajib menutupi wajahnya, dan tidak dikenakan denda, baik kain tersebut menyentuh wajahnya ataupun tidak.

Tiga Kondisi Terkait Pelanggaran Larangan Ihram

Jika seseorang melanggar larangan ihram, maka keadaannya terbagi menjadi tiga:

1. Melanggar Tanpa Alasan atau Kebutuhan

Jika seseorang melanggar larangan ihram secara sengaja dan tanpa alasan, maka ia berdosa dan wajib membayar fidyah (denda).

2. Melanggar Karena Kebutuhan

Jika pelanggaran dilakukan karena ada kebutuhan, seperti memakai pakaian tertentu karena cuaca dingin yang bisa membahayakan tubuh, maka tidak berdosa, tetapi tetap wajib membayar denda.

Contohnya adalah kisah Ka’b bin Ujrah, yang dibawa kepada Nabi ﷺ dalam keadaan kutu jatuh dari kepalanya hingga ke wajahnya. Lalu Nabi ﷺ memberikan keringanan agar ia mencukur rambutnya, dan beliau menetapkan agar ia membayar fidyah. (HR. Bukhari, no. 1816 dan Muslim, no. 1201)

3. Melanggar Karena Udzur (Alasan yang Dibolehkan)

Jika pelanggaran terjadi karena tidak tahu, lupa, tidur, atau dipaksa, maka tidak ada dosa dan tidak ada denda baginya. Ini berdasarkan firman Allah:

وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَآ أَخْطَأْتُم بِهِۦ وَلَٰكِن مَّا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ
“Dan tidak ada dosa atas kalian terhadap apa yang kalian khilaf padanya, tetapi (yang berdosa adalah) apa yang disengaja oleh hati kalian.” (QS. Al-Ahzab: 5)

Dan sabda Nabi ﷺ:

إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ لِي عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ

“Sesungguhnya Allah telah memaafkan untuk umatku (jika melakukan kesalahan karena) keliru, lupa, dan karena dipaksa.” (HR. Ibnu Majah, no. 2043)

Demikian pula dalam ayat larangan berburu bagi yang sedang ihram:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَقْتُلُوا۟ ٱلصَّيْدَ وَأَنتُمْ حُرُمٌ ۚ وَمَن قَتَلَهُۥ مِنكُم مُّتَعَمِّدًا فَجَزَآءٌ مِّثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ ٱلنَّعَمِ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian membunuh hewan buruan ketika kalian sedang ihram. Barang siapa membunuhnya dengan sengaja, maka wajib membayar denda yang setara dengan hewan yang dibunuh.” (QS. Al-Ma’idah: 95)

Ayat ini menegaskan bahwa denda hanya berlaku bila pelanggaran dilakukan dengan sengaja. Karena itulah, orang yang melanggar tanpa kesengajaan tidak dikenakan sanksi.

Namun, ketika udzur itu telah hilang, seperti orang yang lupa menjadi ingat, yang tidak tahu menjadi tahu, atau yang tertidur telah bangun, maka ia harus segera meninggalkan larangan tersebut. Bila tetap melanggarnya setelah mengetahui, maka ia berdosa dan wajib membayar denda.

Contohnya: Jika seseorang menutupi kepalanya saat tidur, maka tidak berdosa selama tertidur. Namun, setelah bangun dan menyadari larangan tersebut, ia harus segera membuka penutup kepala. Jika tetap dibiarkan, maka ia wajib membayar denda.

Tentang Konsekuensi Pelanggaran

Jika larangan ihram yang dilanggar adalah seperti mencukur rambut, memotong kuku, memakai minyak wangi, mengenakan pakaian yang dijahit (bagi pria), menutupi kepala (bagi pria), memakai sarung tangan (bagi wanita), atau menutupi wajah dengan niqab (bagi wanita), maka menurut 4 madzhab ia wajib membayar fidyah al-adza, yaitu salah satu dari tiga pilihan berikut:

A. Menyembelih seekor kambing.
Kambing tersebut harus layak dijadikan kurban, baik jantan maupun betina, dari jenis kambing atau domba. Sebagai pengganti, diperbolehkan juga menyembelih sepertujuh unta atau sapi. Daging sembelihan tidak boleh ia makan sendiri, melainkan harus dibagikan seluruhnya kepada fakir miskin yang tinggal di wilayah haram.

B. Memberi makan enam orang miskin di wilayah haram.
Masing-masing orang menerima setengah sha’ (sekitar 1,5 kg) dari makanan pokok yang biasa dikonsumsi di daerah tersebut, seperti kurma, gandum.

C. Berpuasa selama tiga hari.
Puasa ini boleh dilakukan secara berturut-turut atau terpisah, sesuai dengan kondisi dan kemudahan orang yang melanggar, dan tidak harus di wilayah haram. (Lihat: Tabyiin Al-Haqoiq 2/56, Al-Kafi 1/389, Al-Majmu’ 7/368, Al-Inshaf 3/360)

(Sumber utama: Al-Manhaj Li Muridil ‘Umroti wal Hajj, hlm. 29-34)