Khutbah Jum’at: Konsekuensi Cinta Pada Tauhid Hamba

Khutbah Pertama

الْـحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَ الْقُلُوبَ لِتُحِبَّهُ، وَجَعَلَ أَصْلَ التَّوْحِيدِ مَحَبَّتَهُ، وَرَفَعَ دَرَجَاتِ الْعَارِفِينَ بِقَدْرِ مَا عَظَّمُوهُ وَأَجَلُّوهُ، وَقَرَّبَ عِبَادَهُ إِلَيْهِ بِقَدْرِ مَا أَحَبُّوهُ وَرَاقَبُوهُ. نَحْمَدُهُ عَلَى إِحْسَانِهِ، وَنَشْكُرُهُ عَلَى امْتِنَانِهِ، وَنَسْأَلُهُ الثَّبَاتَ عَلَى تَوْحِيدٍ صَافٍ لَا يَشُوبُهُ رِيَاءٌ، وَمَحَبَّةٍ صَادِقَةٍ لَا تَعْلُوهَا الْأَهْوَاءُ.

وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَا يُرْضَى إِلَّا لِوَجْهِهِ، وَلَا يُبْتَغَى سِوَاهُ فِي مَحَبَّتِهِ وَخَوْفِهِ وَرَجَائِهِ. وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، أَحَبُّ الْخَلْقِ إِلَى رَبِّهِ، وَأَكْمَلُهُمْ عُبُودِيَّةً فِي سِرِّهِ وَجَهْرِهِ، صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ، وَسَلَّمَ تَسْلِيمًا كَثِيرًا. أَمَّا بَعْدُ:

Ma’asyiral Muslimin wa Zumrotal Mu’minin…

Dari mimbar yang mulia ini, khatib mewasiatkan diri pribadi dan segenap jama’ah sekalian untuk terus memperbanyak bekal ketakwaan, karena ia sebaik-baik bekal seseorang dalam menjalani kehidupan di dunia ini, dan saat kembali dikumpulkan menghadap-Nya.

وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّكُمۡ إِلَيۡهِ تُحۡشَرُونَ

“Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah bahwa kamu akan dikumpulkan pada-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 203)

Sidang Jama’ah Jum’at yang Allah muliakan…

Sesungguhnya segala bentuk amal manusia—baik yang lurus maupun yang menyimpang—berawal dari satu sumber, yaitu: cinta. Cinta adalah akar dari seluruh perbuatan. Dan akar dari setiap amal yang diridhai adalah cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebagaimana dasar dari segala ucapan keimanan adalah pembenaran terhadap keduanya.

Setiap dorongan atau keinginan yang menghalangi kesempurnaan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, atau setiap keraguan yang mengurangi keyakinan kepada keduanya, semuanya adalah penghalang cahaya iman.

Jika keinginan dan keraguan itu dibiarkan tumbuh hingga mencabut cinta dan keyakinan dari akarnya, maka ia berubah menjadi kekufuran dan kesyirikan. Tapi jika belum sampai mencabut akar, tetap saja ia merusak kesempurnaan iman—melemahkan semangat, menurunkan tekad, dan membuat hati lelah dalam meniti jalan menuju Allah.

Ia menjadi tirai yang menghalangi hati dari mendekat kepada-Nya, memutus jalan orang-orang yang mencari kebenaran, dan menjatuhkan para pencinta Allah di tengah perjalanan mereka.

Ummatal Islam…

Tauhid bukan hanya tentang pengakuan lisan, tapi juga tentang sikap hati dan keberpihakan. Karena itulah, wala’ (loyalitas) tidak akan pernah sah tanpa adanya sikap bara’ (berlepas diri). Seorang hamba tidak bisa mencintai Allah dengan tulus jika masih memendam simpati terhadap tandingan-Nya.

Perhatikan bagaimana Allah menceritakan ketegasan Ibrahim, pemimpin para hanif, ketika berlepas dari dari mereka dan sesembahan mereka karena bertentangan dengan konsekuensi tauhidnya. Ibrahim berkata:

أَفَرَءَيۡتُم مَّا كُنتُمۡ تَعۡبُدُونَ (٧٥) أَنتُمۡ وَءَابَآؤُكُمُ ٱلۡأَقۡدَمُونَ (٧٦) فَإِنَّهُمۡ عَدُوّٞ لِّيٓ إِلَّا رَبَّ ٱلۡعَٰلَمِينَ

“Apakah kamu memperhatikan apa yang kamu sembah, kalian dan nenek moyang kalian terdahulu? Sungguh, semuanya adalah musuh bagiku, kecuali Rabb seluruh alam.” (QS. Asy-Syu’ara: 75–77)

Cinta dan kedekatan Allah kepada Ibrahim tidak mungkin terwujud tanpa permusuhan terhadap segala sesembahan selain-Nya. Tidak ada loyalitas sejati kepada Allah tanpa pelepasan total dari sekutu-sekutu palsu. Inilah inti dari kalimat “لا إله إلا الله”.

Allah Ta’ala berfirman:

قَدۡ كَانَتۡ لَكُمۡ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٞ فِيٓ إِبۡرَٰهِيمَ وَٱلَّذِينَ مَعَهُۥٓ إِذۡ قَالُواْ لِقَوۡمِهِمۡ إِنَّا بُرَءَٰٓؤُاْ مِنكُمۡ وَمِمَّا تَعۡبُدُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ

“Sungguh telah ada teladan yang baik bagi kalian pada Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya, ketika mereka berkata kepada kaumnya: Kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian sembah selain Allah.” (QS. Al-Mumtahanah: 4)

Allah juga berfirman:

وَإِذۡ قَالَ إِبۡرَٰهِيمُ لِأَبِيهِ وَقَوۡمِهِۦٓ إِنَّنِي بَرَآءٞ مِّمَّا تَعۡبُدُونَ (٢٦) إِلَّا ٱلَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُۥ سَيَهۡدِينِ

“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya dan kaumnya: Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian sembah, kecuali Dia yang menciptakanku, maka sungguh Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” (QS. Az-Zukhruf: 26–27)

Kalimat wala’ dan bara’ ini tidak hanya menjadi sikap sesaat bagi Ibrahim, tapi warisan suci bagi keturunannya dan bagi seluruh pengikut para nabi. Kalimat ini diwariskan dari generasi ke generasi:

وَجَعَلَهَا كَلِمَةَۢ بَاقِيَةٗ فِي عَقِبِهِۦ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ

“Dan (Ibrahim) menjadikan (kalimat tauhid) itu kalimat yang kekal pada keturunannya agar mereka kembali (kepada kalimat tauhid itu).” (QS. Az-Zukhruf: 28)

Ikhwatal Iman…

“Laa ilaaha illallah” juga merupakan kalimat yang menjadi pondasi tegaknya langit dan bumi, kalimat yang sesuai dengan fitrah seluruh makhluk, kalimat yang merupakan inti dari syariat, penentu arah kiblat, dan penggerak jihad. Ia adalah hak mutlak Allah atas setiap hamba.

Kalimat ini pula yang menjaga darah, harta, dan keturunan di dunia. Ia yang menyelamatkan dari azab kubur dan siksa neraka. Kalimat ini merupakan kunci gerbang surga dan tali yang menghubungkan hati hamba dengan Rabb-nya.

Kalimat “Lā ilāha illallāh” bukan sekadar ucapan di lisan, tapi fondasi seluruh bangunan agama. Ia adalah kunci Islam, pembuka pintu negeri kedamaian. Dengan kalimat ini, manusia terbagi 2: ada yang bahagia dan celaka, yang diterima dan yang tertolak. Ia memisahkan negeri iman dari negeri kufur, membedakan antara kehidupan mulia dan kehidupan hina. Ia adalah tiang yang menyangga seluruh kewajiban dan sunnah.

Rasulullah ﷺ bersabda:

مَن كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ: لَا إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ، دَخَلَ ٱلْجَنَّةَ

“Barangsiapa akhir ucapannya adalah: La ilaha illallah, maka ia akan masuk surga.” (HR. Abu Dawud no. 3116)

Namun, ruh dari kalimat ini bukan hanya pengakuan pada lisan semata, melainkan harus dibuktikan pengesaan Allah dalam cinta, pengagungan, rasa takut, harapan, tawakal, rindu, dan tunduk. Tak ada yang dicintai secara mutlak kecuali Dia. Segala cinta lainnya hanya layak jika menjadi jalan menuju cinta-Nya.

Tak ada yang boleh ditakuti, diharapkan, dijadikan sandaran, diminta pertolongan, ditaati, atau dijauhi kecuali karena Allah. Semua ibadah bermuara pada satu makna: tiada sesembahan yang benar selain Allah.

Karena itu, Allah mengharamkan api neraka menyentuh orang yang benar-benar memegang kalimat ini. Mustahil orang yang sungguh-sungguh mentauhidkan-Nya akan dilemparkan ke dalam neraka.

Ma’asyiral Muslimin…

Allah ‘Azza wa Jalla memuji orang yang menegakkan tauhid dalam lahir dan batin. Sebab, ada orang yang kesaksiannya telah mati, ada yang hanya tertidur, ada yang lemah, dan ada pula yang kokoh berdiri. Kesaksian terhadap tauhid di hati seperti ruh bagi jasad: ia bisa mati, bisa sakit, bisa lemah, atau bisa hidup kuat dan penuh cahaya.

Allah berfirman:

وَٱلَّذِينَ هُم بِشَهَٰدَٰتِهِمۡ قَآئِمُونَ

“Dan mereka yang berdiri teguh dengan kesaksiannya.” (QS. Al-Ma‘arij: 33)

Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنِّي لَأَعْلَمُ كَلِمَةً، لَا يَقُولُهَا عَبْدٌ عِنْدَ الْمَوْتِ، إِلَّا وَجَدَتْ رُوحُهُ لَهَا رَوْحًا

“Sesungguhnya aku mengetahui satu kalimat; tidaklah seorang hamba mengucapkannya saat menjelang kematian, kecuali ruhnya akan mendapatkan kelegaan darinya.” (HR. Ibnu Hibban, no. 205)

Dan yang dimaksud adalah kalimat “Laa ilaha illallah”.

بَارَكَ اللَّهُ لِي وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيهِ مِنْ الْآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيمِ. أَقُولُ قَوْلِي هَذَا فَاسْتَغْفِرُوهُ إِنَّهُ هُوَ الْعَفُورُ الرَّحِيمُ

Khutbah Kedua

ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ ٱلَّذِي جَعَلَ ٱلْمَحَبَّةَ لَهُ أَسَاسَ ٱلدِّينِ، وَأَصْلَ ٱلتَّوْحِيدِ ٱلْمُبِينِ، فَبِهَا تَحْيَا ٱلْقُلُوبُ وَتَسْتَنِيرُ ٱلْأَرْوَاحُ، وَتَزْكُو بِهَا ٱلنُّفُوسُ وَتَصْفُو ٱلْأَفْرَاحُ. فَكُلُّ عِبَادَةٍ لَا تُبْنَى عَلَى مَحَبَّتِهِ فَهِيَ جَوْفَاءُ، وَكُلُّ طَاعَةٍ لَا تُضِيئُهَا ٱلرَّغْبَةُ فِي وَجْهِهِ فَهِيَ عَنَاءٌ.

نَحْمَدُهُ حَمْدًا يُرْضِيهِ، وَنَشْكُرُهُ شُكْرَ مَنْ عَرَفَ قَدْرَ نَعْمَائِهِ وَجَلَالَ وَجْهِهِ، وَنَسْأَلُهُ حُبَّهُ، وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّهُ، وَحُبَّ كُلِّ عَمَلٍ يُقَرِّبُنَا إِلَىٰ حُبِّهِ.

وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، ٱلْمَحْبُوبُ لِذَاتِهِ، ٱلْمَعْبُودُ بِحَقٍّ دُونَ سِوَاهُ، لَا يَسْكُنُ ٱلْقَلْبُ بِحَقٍّ إِلَّا حُبُّهُ، وَلَا يَطْمَئِنُّ ٱلْفُؤَادُ إِلَّا لِذِكْرِهِ وَقُرْبِهِ. وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، صَفْوَةُ ٱلْخَلْقِ مِنْ بَرِيَّتِهِ، وَأَعْظَمُهُمْ حُبًّا لِلَّهِ وَطَاعَةً لِأَمْرِهِ، صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَعَلَىٰ آلِهِ وَصَحْبِهِ، وَمَنْ سَارَ عَلَىٰ هَدْيِهِ، وَسَلَّمَ تَسْلِيمًا كَثِيرًا.
أَمَّا بَعْدُ:

Ma’asyirol Muslimin wa Zumrotal Mu’minin…

Bertakwalah kepada Allah Ta’ala, karena Allah mencintai hamba-hambanya yang bertakwa kepada-Nya. Allah berfirman:

إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُتَّقِينَ

“Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.” (QS. At-Taubah: 7)

Sidang Jama’ah Jum’at yang dirahmati Allah…

Tauhid adalah kehidupan bagi ruh. Sebagaimana jasad bisa hidup karena adanya ruh, begitu pula ruh hidup karena adanya tauhid. Siapa yang wafat membawa kalimat ini, ia akan mencicipi surga akhirat. Dan barangsiapa selama di dunia hidup dengan hakikat kalimat ini, mengerjakan konsekuensinya, maka ruhnya sudah lebih dulu mengecap manisnya surga di dunia, yang berupa: ketenangan, kebahagiaan, dan kedekatan dengan Allah.

Allah Ta’ala berfirman:

وَأَمَّا مَنۡ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِۦ وَنَهَى ٱلنَّفۡسَ عَنِ ٱلۡهَوَىٰ (٤٠) فَإِنَّ ٱلۡجَنَّةَ هِيَ ٱلۡمَأۡوَىٰ

“Adapun orang yang takut kepada kebesaran Rabb-nya dan menahan diri dari hawa nafsunya, maka surgalah tempat tinggalnya.”
(QS. An-Nazi‘at: 40–41)

Surga itulah memang tempat kembalinya nanti di akhirat. Namun ada surga lain—surga makrifat, cinta, dan kedekatan dengan Allah—yang menjadi tempat pulang jiwa selama di dunia. Siapa yang telah merasakan surga itu di dunia, maka ia akan masuk surga yang kekal di akhirat. Namun siapa yang terhalang dari surga ruhani di dunia, maka ia lebih layak terhalang dari surga abadi di akhirat.

Ikhwatii fiddiin rahimani wa rahimakumullah…

Orang beriman adalah manusia paling bahagia, bukan karena harta atau jabatan, tapi karena hatinya bersih, dadanya lapang, dan jiwanya tenang. Meski hidupnya sempit, ia berada dalam kenikmatan. Sebaliknya, orang durhaka meski dunia bersujud kepadanya, tetap saja batinnya merana.

Allah Ta’ala berfirman:

مَنۡ عَمِلَ صَٰلِحٗا مِّن ذَكَرٍ أَوۡ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤۡمِنٞ فَلَنُحۡيِيَنَّهُۥ حَيَوٰةٗ طَيِّبَةٗۖ

“Barangsiapa mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman, maka Kami akan berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (QS. An-Nahl: 97)

Itulah surga dunia: ketenangan, kelapangan dada, dan kedamaian jiwa.

Allah Ta’ala juga berfirman:

فَمَن يُرِدِ ٱللَّهُ أَن يَهۡدِيَهُۥ يَشۡرَحۡ صَدۡرَهُۥ لِلۡإِسۡلَٰمِۖ وَمَن يُرِدۡ أَن يُضِلَّهُۥ يَجۡعَلۡ صَدۡرَهُۥ ضَيِّقًا حَرَجٗا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي ٱلسَّمَآءِۚ

“Barang siapa yang dikehendaki Allah akan mendapat hidayah (petunjuk), Dia akan membukakan dadanya untuk (menerima) Islam. Dan barang siapa dikehendaki-Nya menjadi sesat, Dia jadikan dadanya sempit dan sesak, seakan-akan dia (sedang) mendaki ke langit.” (QS. Al-An‘am: 125)

Adakah nikmat yang lebih lezat dari dada yang lapang? Dan adakah azab yang lebih pedih dari dada yang sesak?

أَلَآ إِنَّ أَوۡلِيَآءَ ٱللَّهِ لَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada rasa takut atas mereka, dan tidak pula mereka bersedih.”

ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَكَانُواْ يَتَّقُونَ

“Mereka adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa.”

لَهُمُ ٱلۡبُشۡرَىٰ فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا وَفِي ٱلۡأٓخِرَةِۚ

“Bagi mereka kabar gembira di dunia dan di akhirat.” (QS. Yunus: 62–64)

Kabar gembira di dunia berupa batin yang tenteram, dan kabar gembira di akhirat berupa surga yang abadi.

Rasulullah ﷺ bersabda:

إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعُوا.
قَالُوا: وَمَا رِيَاضُ الْجَنَّةِ؟
قَالَ: حِلَقُ الذِّكْرِ.

“Jika kalian melewati taman-taman surga, maka singgahlah.” Para sahabat bertanya, “Apakah taman-taman surga itu?” Beliau menjawab: “Majelis-majelis dzikir.” (HR. Tirmidzi, no. 3510)

Majelis dzikir atau majelis ilmu disebut sebagai taman surga, tidak lain karena dapat menenteramkan hati.

Dan ketika ditanya tentang puasa wishal, yaitu puasa yang dilakukan secara terus-menerus tanpa berbuka di antara dua hari. Ketika beliau ditanya mengenai ini, beliau bersabda:

إِنِّي لَسْتُ كَهَيْئَتِكُمْ، إِنِّي أَظَلُّ عِندَ رَبِّي يُطْعِمُنِي وَيَسْقِينِي

“Sesungguhnya aku tidak seperti kalian. Aku bermalam di sisi Rabb-ku. Dia memberiku makan dan minum.” (HR. Bukhari, no. 1964 dan Muslim, no. 1105)

Itulah alasan beliau sanggup puasa wishal, karena ada gizi ruhani dari sisi Allah. Itulah kenikmatan yang tidak bisa dirasakan oleh selain beliau. Kenikmatan kedekatan, keakraban, dan cinta yang tulus kepada Rabb seluruh alam.

أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ، إِنَّ اللَّهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيهِ بِنَفْسِهِ، وَثَنَّى بِمَلَائِكَتِهِ الْمُسَبِّحَةِ بِقُدْسِهِ، وَأَيُّهُ بِكُمْ أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ مِنْ جِنِّهِ وَإِنْسِهِ، فَقَالَ عَزَّ وَجَلَّ: ﴿إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا﴾، اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُولِكَ مُحَمَّدٍ، وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنْ خُلَفَائِهِ الرَّاشِدِينَ، أَبِي بَكْرٍ، وَعُمَرَ، وَعُثْمَانَ، وَعَلِيٍّ، وَعَنْ سَائِرِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِينَ، وَعَنِ التَّابِعِينَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ، وَعَنَّا مَعَهُمْ بِمِنِّكَ وَكَرَمِكَ يَا أَكْرَمَ الْأَكْرَمِينَ.

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيعٌ قَرِيبٌ مُجِيبُ الدَّعَوَاتِ، وَيَا قَاضِي الْحَاجَاتِ.

اللَّهُمَّ ٱقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا يَحُولُ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعَاصِيكَ، وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَا بِهِ جَنَّتَكَ، وَمِنَ ٱلْيَقِينِ مَا يُهَوِّنُ عَلَيْنَا مُصِيبَاتِ ٱلدُّنْيَا، وَمَتِّعْنَا بِأَسْمَاعِنَا وَأَبْصَارِنَا وَقُوَّتِنَا مَا أَحْيَيْتَنَا، وَٱجْعَلْهُ ٱلْوَارِثَ مِنَّا، وَٱجْعَلْ ثَأْرَنَا عَلَىٰ مَنْ ظَلَمَنَا، وَٱنْصُرْنَا عَلَىٰ مَنْ عَادَانَا، وَلَا تَجْعَلْ مُصِيبَتَنَا فِي دِينِنَا، وَلَا تَجْعَلِ ٱلدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا، وَلَا مَبْلَغَ عِلْمِنَا، وَلَا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لَا يَرْحَمُنَا.

اللَّهُمَّ أَنْجِ الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ، اللَّهُمَّ أَنْجِ الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ، فِي فِلَسْطِينَ وَفِي كُلِّ مَكَانٍ، اللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى الْيَهُودِ، رَبَّنَا اطْمِسْ عَلَى أَمْوَالِهِمْ وَاشْدُدْ عَلَى قُلُوبِهِمْ، فَلَا يُؤْمِنُوا حَتَّى يَرَوُا الْعَذَابَ الْأَلِيمَ.

اللَّهُمَّ أَصْلِحْ وُلَاةَ أُمُورِنَا وَوَفِّقْهُمْ لِمَا تُحِبُّ وَتَرْضَى، وَقَرِّبْ إِلَيْهِمْ الْبِطَانَةَ الصَّالِحَةَ، وَجَنِّبْهُمْ بِطَانَةَ السُّوءِ.

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.

عِبَادَ اللَّهِ، إِنَّ ٱلِلَّهَ يَأْۡمُرُ بِٱلِۡعَدْۡلِ وَٱلِۡإِحْۡسَٰنِ وَإِيتَآيِٕ ذِي ٱلِۡقُرْۡبَىٰ وَيَنْۡهَىَٰ عَنِ ٱلِۡفَحْۡشَآءِ وَٱلِۡمُنْكَرِ وَٱلِۡبَغٍّۡيِۚ يَعِظُكُمْۡ لَعَلَّكُمْۡ تَذَكَّرُونَ.

فَاذْكُرُوا اللَّهَ الْعَظِيمَ الْجَلِيلَ يُذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلِذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ، وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ. أَقِمِ الصَّلَاةَ..

(Terinspirasi dari nasehat yang disampaikan oleh Ibnul Qayyim dalam kitabnya Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 455-460)