Khutbah Pertama
الْـحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا بِكِتَابِهِ، وَأَكْرَمَنَا بِسُنَّةِ نَبِيِّهِ، وَجَعَلَ فِي اتِّبَاعِهِمَا النَّجَاةَ وَالْفَلَاحَ، وَفِي التَّمَسُّكِ بِهِمَا الْخَيْرَ وَالصَّلَاحَ.
أَحْمَدُهُ سُبْحَانَهُ حَمْدَ مَنْ عَرَفَ قَدْرَ النِّعْمَةِ، وَاسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى، لَا انْفِصَامَ لَهَا، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، شَهَادَةً تُنْجِي مِنَ النَّارِ وَتُورِثُ الْقَرَارَ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، دَلَّ أُمَّتَهُ عَلَى كُلِّ خَيْرٍ، وَحَذَّرَهُمْ مِنْ كُلِّ شَرٍّ، فَصَلَّى اللَّهُ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ، وَمَنْ سَارَ عَلَى نَهْجِهِ وَتَمَسَّكَ بِهَدْيِهِ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ. أَمَّا بَعْدُ؛
Ma’asyirol Muslimin wa Zumrotal Mu’minin…
Di tengah zaman yang penuh dengan syubhat dan kebingungan ini, tidak sedikit yang kesulitan membedakan antara kebenaran dan kebatilan. Oleh karena itu, khatib berwasiat kepada diri pribadi dan kepada jama’ah sekalian, marilah kita bertakwa kepada Allah Ta’ala dengan sebenar-benar takwa—karena hanya dengan takwa, hati menjadi jernih, pandangan menjadi terang, dan langkah tetap berada di atas jalan yang lurus. Allah Ta’ala berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِن تَتَّقُواْ ٱللَّهَ يَجۡعَل لَّكُمۡ فُرۡقَانٗا وَيُكَفِّرۡ عَنكُمۡ سَيِّـَٔاتِكُمۡ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡۗ وَٱللَّهُ ذُو ٱلۡفَضۡلِ ٱلۡعَظِيمِ
“Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan furqan (kemampuan membedakan antara yang hak dan batil) kepadamu dan menghapus segala kesalahanmu dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Allah memiliki karunia yang besar.” (QS. Al-Anfal: 29)
Sidang Jama’ah Jum’at yang berbahagia…
Ketahuilah, ada dua hal utama yang menjadi sebab kebahagiaan dan keberuntungan seorang hamba, baik di dunia maupun di akhirat.
Pertama, penting bagi kita untuk memahami dengan jelas apa saja yang menjadi sebab datangnya kebaikan dan keburukan. Ini berarti kita bisa membedakan mana yang bermanfaat dan mana yang merugikan, baik dari apa yang kita lihat di sekitar kita, dari pengalaman sendiri maupun orang lain, serta dari kisah-kisah masa lalu dan masa kini.
Cara terbaik untuk mendapatkan pemahaman ini adalah dengan merenungkan isi Al-Qur’an. Di dalamnya, Allah telah menjelaskan dengan lengkap sebab-sebab kebaikan dan keburukan. Begitu juga dengan Sunnah Nabi Muhammad ﷺ, yang menjadi penjelas Al-Qur’an dan juga merupakan wahyu yang wajib diikuti. Siapa yang benar-benar memperhatikan dan mempelajari keduanya, maka ia akan mendapat petunjuk yang cukup tanpa perlu mencari ke tempat lain.
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُمَا: كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّتِي
“Sesungguhnya aku telah meninggalkan di tengah-tengah kalian dua perkara; kalian tidak akan tersesat selama berpegang teguh kepada keduanya: Kitab Allah dan sunnahku.” (HR. Al-Hakim, no. 323)
Setelah itu, jika seseorang mau merenungkan kisah-kisah umat terdahulu—bagaimana Allah memperlakukan orang-orang yang taat dan yang durhaka—maka dia akan melihat bahwa semua itu sesuai dengan apa yang diajarkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Sejarah menunjukkan bukti nyata tentang ajaran Allah dan Rasul-Nya, bahwa kebaikan akan datang karena sebab-sebab tertentu, dan keburukan pun demikian, dan hal itu terus berlaku di setiap zaman.
Kedua, hati-hati terhadap tipu daya diri sendiri dalam memahami sebab-sebab kebaikan dan keburukan.
Kadang seseorang sudah tahu bahwa maksiat dan kelalaian adalah sebab datangnya keburukan, tapi tetap saja terjerumus ke dalamnya. Mengapa? Karena ia tertipu oleh hawa nafsunya sendiri. Ia terlalu bersandar pada harapan akan ampunan Allah, tanpa ada usaha untuk berubah atau meninggalkan dosa. Ia menunda-nunda taubat, merasa cukup hanya dengan istighfar di lisan, padahal amalnya tetap tidak berubah.
Sebagian orang bahkan mengira, jika ia berbuat dosa lalu langsung berkata, “Astaghfirullah,” maka dosanya pasti diampuni, tanpa ada penyesalan atau perbaikan diri. Padahal ini adalah bentuk penipuan terhadap diri sendiri, dan bisa menjadi sebab terus-menerusnya seseorang dalam keburukan tanpa sadar.
Ada juga yang terlalu bersandar pada sabda Rasulullah ﷺ:
مَنْ قَالَ فِي يَوْمٍ: سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ مِائَةَ مَرَّةٍ، حُطَّتْ خَطَايَاهُ، وَلَوْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ
“Barang siapa yang mengucapkan dalam sehari: ‘Subhanallah wa bihamdih’ sebanyak seratus kali, maka dosanya akan dihapus, walaupun sebanyak buih di lautan.” (HR. Bukhari, no. 6405 dan Muslim, no. 2691)
Padahal keutamaan ini hanya berlaku bagi orang yang mengucapkannya dengan hati yang ikhlas dan penuh kesadaran, bukan sekadar menggerakkan lisan tanpa rasa takut dan menggampangkan maksiat.
Ada pula yang tertipu karena merasa dekat dengan orang-orang shalih, yang mereka anggap sebagai wali Allah, sering berkunjung ke makam mereka, atau berdoa melalui mereka, seolah-olah itu cukup untuk menyelamatkan dari azab. Padahal, setiap orang akan dimintai pertanggungjawaban atas amalnya sendiri, dan tidak ada yang bisa menggantikan beban dosa orang lain. Allah Ta’ala berfirman;
أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٞ وِزۡرَ أُخۡرَىٰ (٣٨) وَأَن لَّيۡسَ لِلۡإِنسَٰنِ إِلَّا مَا سَعَىٰ
“Seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, dan manusia tidak akan memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. An-Najm: 38-39)
Sidang Jama’ah Jum’at yang Allah muliakan…
Sebagian orang ada juga yang terlalu bersandar pada firman Allah Ta’ala:
إِنَّ ٱللَّهَ يَغۡفِرُ ٱلذُّنُوبَ جَمِيعٗا
“Sesungguhnya Allah mengampuni semua dosa.”(QS. Az-Zumar: 53)
Mereka menyangka bahwa ayat ini berlaku mutlak untuk siapa saja, kapan saja. Padahal, ayat ini ditujukan untuk orang-orang yang benar-benar bertaubat dengan tulus. Jika ayat ini berlaku tanpa syarat, maka semua ancaman dalam Al-Qur’an akan kehilangan makna dan fungsi sebagai peringatan.
Ada juga yang terlena pada pemahaman aqidah jabr (takdir secara mutlak), yaitu keyakinan bahwa manusia tidak punya pilihan sama sekali dan tidak punya peran dalam perbuatannya. Mereka menganggap bahwa jika berbuat maksiat, itu karena terpaksa dan tidak bisa berbuat lain.
Ada juga yang tertipu dengan paham irja’, yaitu menganggap bahwa iman hanya cukup dengan keyakinan di dalam hati, tanpa perlu dibuktikan dengan amal perbuatan. Mereka meyakini bahwa iman orang yang paling banyak dosanya sama saja dengan iman Malaikat Jibril dan Mikail.
Ikhwatal Iman..
Ilmu yang benar adalah ilmu yang seimbang—tidak hanya bicara soal harapan (roja’) saja, dan tidak pula hanya tentang rasa takut (khauf) saja. Kalau seseorang hanya membaca ayat atau hadits yang menumbuhkan harapan tanpa memperhatikan ancaman, ia bisa jadi meremehkan dosa. Tapi kalau hanya membaca ancaman tanpa tahu luasnya rahmat Allah, ia bisa putus asa dan merasa tidak mungkin diampuni.
Ummatal Islam…
Banyak orang yang hanya mengandalkan rahmat, ampunan, dan kemurahan Allah saja, lalu mengabaikan perintah dan larangan-Nya. Mereka lupa bahwa Allah itu selain luas rahmatnya bagi yang kembali dan mentaati-Nya, juga sangat keras dalam memberikan hukuman, dan tidak akan menolak siksa-Nya dari orang-orang yang berbuat jahat.
Orang yang terus-menerus mengandalkan ampunan Allah tapi tetap berbuat maksiat itu seperti orang yang membangkang.
Ma!ruf al-Karkhi berkata:
رَجَاؤُكَ لِرَحْمَةِ مَنْ لَا تُطِيعُهُ مِنَ الْخِذْلَانِ وَالْحَمَاقَةِ
“Harapanmu kepada rahmat dari Dzat yang tidak kamu taati itu seperti kebodohan dan pengkhianatan.”
Abul Wafa bin ‘Aqil berkata:
َمَنْ قَطَعَ عُضْوًا مِنْكَ فِي الدُّنْيَا بِسَرِقَةِ ثَلَاثَةِ دَرَاهِمَ، لَا تَأْمَنْ أَنْ تَكُونَ عُقُوبَتُهُ فِي الْآخِرَةِ عَلَى نَحْوِ هَذَا
“Jika seseorang hanya mencuri tiga dirham saja bisa kehilangan sebagian anggota tubuhnya di dunia ini, maka jangan kira hukuman di akhirat nanti akan ringan.”
بَارَكَ اللَّهُ لِي وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيهِ مِنْ الْآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيمِ، وَتَقَبَّلَ مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلَاوَتَهُ، فَاسْتَغْفِرُوهُ؛ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ.
Khutbah Kedua
الْـحَمْدُ لِلَّهِ الْعَزِيزِ الْغَفَّارِ، الْـحَكَمِ الْعَدْلِ الْقَهَّارِ، الَّذِي جَمَعَ لِعِبَادِهِ بَيْنَ الْوَعْدِ وَالْوَعِيدِ، وَأَرْشَدَهُمْ إِلَى التَّوَازُنِ فِي الطَّرِيقِ السَّدِيدِ. أَمَرَ بِالْخَوْفِ مِنْهُ، وَرَغَّبَ فِي رَحْمَتِهِ، فَلَا يَيْأَسُ مِنْ رَحْمَتِهِ إِلَّا الْقَانِطُونَ، وَلَا يَأْمَنُ مَكْرَهُ إِلَّا الْغَافِلُونَ.
نَحْمَدُهُ عَلَى جَزِيلِ عَطَايَاهُ، وَنَشْكُرُهُ عَلَى عَظِيمِ مَنَنِهِ وَهَدَايَاهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللَّهُ، وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، شَهَادَةً تَمْلَأُ الْقَلْبَ نُورًا، وَتُحْيِي النَّفْسَ سُرُورًا، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، بَشَّرَ بِالْجَنَّةِ مَنْ أَطَاعَ، وَأَنْذَرَ بِالنَّارِ مَنْ عَصَى وَجَارَ، صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ الْأَطْهَارِ، وَصَحْبِهِ الْأَخْيَارِ، وَمَنْ سَارَ عَلَى نَهْجِهِ إِلَى يَوْمِ الْقَرَارِ. أَمَّا بَعْدُ؛
Ma’asyirol Muslimin wa Zumrotal Mu’minin…
Bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah bahwa selain membicarakan tentang luasnya rahmat dan ampunan Allah, kita perlu menyeimbanginya dengan kerasnya siksaan dan hukuman-Nya.
Ikhwatal Iman…
Barangsiapa menggelapkan harta milik umat, maka kelak di neraka, harta itu akan berubah menjadi bara api yang membakar tubuhnya. Diriwayatkan dari Abu Rafi’, ia berkata:
مَرَّ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ بِالْبَقِيعِ فَقَالَ
أُفٍّ لَكَ، أُفٍّ لَكَ! فَظَنَنْتُ أَنَّهُ يُرِيدُنِي. فَقَالَ: لَا، وَلَكِنْ هَذَا قَبْرُ فُلَانٍ، بَعَثْتُهُ سَاعِيًا عَلَى آلِ فُلَانٍ، فَغَلَّ نَمِرًا، فَدُرِّعَ الْآنَ مِثْلَهَا مِنْ نَارٍ.
Rasulullah ﷺ melewati Baqi’ lalu bersabda:
“Celaka kamu! Celaka kamu!” Aku pun mengira beliau berkata kepadaku. Tapi beliau bersabda: “Bukan, tapi ini adalah kuburan seseorang yang dulu aku utus untuk memungut zakat dari Bani Fulan. Namun ia menggelapkan sebuah baju dari harta itu, maka sekarang dia dipakaikan baju dari api neraka yang sejenis dengannya.” (HR. Nasa’i, no. 862, 863, Ahmad, no. 27192)
Lalu orang yang hobinya menggunjing dan menjelek-jelekkan orang lain, kelak mereka akan mencakar wajah dan dada mereka sendiri dengan kuku yang terbuat dari tembaga. Rasulullah ﷺ bersabda:
لَمَّا عُرِجَ بِي مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ، يَخْمِشُونَ وُجُوهَهُمْ وَصُدُورَهُمْ. فَقُلْتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ يَا جِبْرِيلُ؟ فَقَالَ: هَؤُلَاءِ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ لُحُومَ النَّاسِ، وَيَقَعُونَ فِي أَعْرَاضِهِمْ
“Ketika aku diangkat ke langit (Mi’raj), aku melewati orang-orang yang memiliki kuku dari tembaga. Mereka mencakar wajah dan dada mereka sendiri. Aku bertanya: ‘Siapa mereka, wahai Jibril?’ Jibril menjawab: ‘Mereka adalah orang-orang yang memakan daging sesama (ghibah) dan menjelek-jelekkan kehormatan orang lain.’” (HR. Abu Dawud, no. 4878, Ahmad, no. 13340)
Kemudian ada peringatan yang keras khususnya bagi yang sedang berdiri khutbah di atas mimbar ini, dan juga bagi seluruh khatib dan penyeru manusia terhadap kebaikan dan pemberi peringatan terhadap keburukan. Rasulullah ﷺ bersabda:
مَرَرْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي عَلَى قَوْمٍ تُقْرَضُ شِفَاهُهُمْ بِمَقَارِيضَ مِنْ نَارٍ، فَقُلْتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ؟ قَالُوا: خُطَبَاءُ مِنْ أَهْلِ الدُّنْيَا، كَانُوا يَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَيَنْسَوْنَ أَنْفُسَهُمْ، أَفَلَا يَعْقِلُونَ؟
“Di malam Isra’, aku melewati sekelompok orang yang bibir mereka digunting dengan gunting dari api neraka. Aku bertanya: ‘Siapa mereka ini?’ Dijawablah: ‘Mereka adalah para khatib dunia, yang menyuruh orang lain berbuat baik, tetapi mereka sendiri melupakannya. Tidakkah mereka berpikir?’” (HR. Ahmad, no. 1221)
Kemudian, tahukah kita Ma’asyirol Muslimin…
Bahwa neraka, pertama kali justru dinyalakan bukan untuk para pembunuh, pencuri, atau pezina. Tapi untuk tiga orang yang sepintas tampak mulia di mata manusia: seorang mujahid, seorang alim dan qari, serta seorang dermawan. Namun semua itu hancur di hadapan Allah, karena niat mereka bukan untuk-Nya. Si mujahid berperang hanya agar disebut pemberani. Si alim dan qari mengajarkan ilmu agar disebut orang berilmu dan pandai membaca Al-Qur’an. Dan si dermawan bersedekah hanya demi pujian manusia.
Mereka semua mendapatkan apa yang mereka cari di dunia berupa pujian dan pengakuan. Tapi di akhirat, yang mereka dapat hanyalah murka Allah dan siksa yang pedih. (Lihat: HR. Tirmidzi, no. 2382)
Hadits-hadits peringatan masih lebih banyak dari yang kami sebutkan. Maka, tidak sepantasnya seseorang yang menghendaki kebaikan untuk dirinya tetap berbuat maksiat, lalu menggantungkan diri pada tali harapan dan prasangka baik yang tidak pada tempatnya.
Abu Al-Wafa’ bin ‘Aqil berkata:
“Waspadalah dan jangan tertipu!
Karena Allah memotong tangan seseorang hanya karena mencuri tiga dirham, dan Dia menetapkan hukuman cambuk hanya karena setetes khamr. Seorang wanita masuk neraka karena menelantarkan seekor kucing. Sehelai kain rampasan perang yang digelapkan berubah menjadi api neraka yang membakar pemiliknya—padahal ia gugur dalam keadaan syahid!”
Sebagian orang tertipu karena merasa aman saat terus mendapatkan nikmat dunia. Ia mengira Allah mencintainya, dan yakin akan mendapat lebih banyak di akhirat. Padahal semua itu bisa jadi hanyalah istidraj—tipuan dari Allah yang datang perlahan hingga tiba-tiba ditimpa azab.
Nabi ﷺ bersabda:
إِذَا رَأَيْتَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا عَلَى مَعَاصِيهِ مَا يُحِبُّ، فَإِنَّمَا هُوَ اسْتِدْرَاجٌ
“Jika kamu melihat Allah memberikan kepada seorang hamba berbagai kenikmatan dunia padahal dia terus bermaksiat, maka itu adalah bentuk istidraj (tipuan secara perlahan).”
Kemudian Nabi membaca firman Allah:
فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ
“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami bukakan untuk mereka pintu segala sesuatu (kenikmatan); hingga ketika mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka secara tiba-tiba, maka ketika itu mereka terdiam putus asa.”
(QS. Al-An‘am: 44) (HR. Ahmad, no. 17311)
Beliau juga bersabda:
إِنَّ اللَّهَ يُعْطِي الدُّنْيَا مَنْ يُحِبُّ وَمَنْ لَا يُحِبُّ، وَلَا يُعْطِي الْإِيمَانَ إِلَّا لِمَنْ يُحِبُّ
“Sesungguhnya Allah memberikan dunia kepada siapa saja—baik yang Dia cintai maupun yang tidak Dia cintai. Namun iman, hanya diberikan kepada orang yang Dia cintai.” (HR. Ahmad, no. 3672)
Hasan al-Bashri berkata:
“Bisa jadi seseorang sedang ditipu oleh nikmat Allah yang terus-menerus ia terima, namun ia tidak sadar. Bisa jadi seseorang tertipu oleh Allah yang terus menutupi aibnya, namun ia tidak sadar. Dan bisa jadi seseorang sedang diuji oleh pujian manusia kepadanya, namun ia tidak sadar.” (HR. Ahmad, no. 1606 dalam Az-Zuhd)
فَاللهُ المُستَعَان، وَهُوَ حَسْبُنَا وَنِعْمَ الوَكِيل.
أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ، إِنَّ اللَّهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيهِ بِنَفْسِهِ، وَثَنَّى بِمَلَائِكَتِهِ الْمُسَبِّحَةِ بِقُدْسِهِ، وَأَيُّهُ بِكُمْ أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ مِنْ جِنِّهِ وَإِنْسِهِ، فَقَالَ عَزَّ وَجَلَّ: ﴿إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا﴾، اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُولِكَ مُحَمَّدٍ، وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنْ خُلَفَائِهِ الرَّاشِدِينَ، أَبِي بَكْرٍ، وَعُمَرَ، وَعُثْمَانَ، وَعَلِيٍّ، وَعَنْ سَائِرِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِينَ، وَعَنِ التَّابِعِينَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ، وَعَنَّا مَعَهُمْ بِمِنِّكَ وَكَرَمِكَ يَا أَكْرَمَ الْأَكْرَمِينَ.
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ، وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوفٌ رَحِيمٌ.
اللَّهُمَّ أَعِزَّ الْإِسْلَامِ وَالْمُسْلِمِينَ، وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِينَ، وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّينِ، وَاحْمِ حَوْزَةَ الْإِسْلَامِ، وَاجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آمِنًاً مُطْمَئِنًا وَسَائِرَ بِلَادِ الْمُسْلِمِينَ.
اللَّهُمَّ أَصْلِحْ أَحْوَالَ الْمُسْلِمِينَ فِي كُلِّ مَكَانٍ، وَاجْمَعْ كَلِمَتَهُمْ عَلَى الْحَقِّ يَا رَبَّ الْعَالَمِينَ.
اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مَفَاتِيحَ لِلْخَيْرِ مَغَالِيقَ لِلشَّرِّ، وَاجْعَلْنَا مُبَارَكِينَ أَيْنَمَا كُنَّا، وَأَصْلِحْ وُلَاةَ أُمُورِنَا وَوَفِّقْهُمْ لِمَا تُحِبُّ وَتَرْضَى، وَقَرِّبْ إِلَيْهِمْ الْبِطَانَةَ الصَّالِحَةَ، وَجَنِّبْهُمْ بِطَانَةَ السُّوءِ.
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
عِبَادَ اللَّهِ، إِنَّ ٱلِلَّهَ يَأْۡمُرُ بِٱلِۡعَدْۡلِ وَٱلِۡإِحْۡسَٰنِ وَإِيتَآيِٕ ذِي ٱلِۡقُرْۡبَىٰ وَيَنْۡهَىَٰ عَنِ ٱلِۡفَحْۡشَآءِ وَٱلِۡمُنْكَرِ وَٱلِۡبَغٍّۡيِۚ يَعِظُكُمْۡ لَعَلَّكُمْۡ تَذَكَّرُونَ.
فَاذْكُرُوا اللَّهَ الْعَظِيمَ الْجَلِيلَ يُذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلِذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ، وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ. أَقِمِ الصَّلَاةَ..
(Terinspirasi dari nasehat yang disampaikan oleh Ibnul Qayyim dalam kitabnya Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 35 – 79, dengan penyelarasan dan penggabungan antar pasal)