Khutbah Jumat: Hilangnya Keberkahan Rezeki, Waktu, dan Usia akibat Bersekutu dengan Setan

Khutbah Pertama

ٱلْـحَمْدُ لِلَّهِ ٱلَّذِي وَسِعَتْ بَرَكَتُهُ مَنْ خَافَهُ وَٱتَّقَاهُ، وَضَاقَتْ دُنْيَا مَنْ عَصَاهُ وَبَارَزَهُ بِهَوَاهُ، أَحْمَدُهُ عَلَى نِعَمٍ لَا تُعَدُّ، وَأَشْكُرُهُ عَلَى آلَائِهِ ٱلَّتِي لَا تُرَدُّ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، مَا ٱتَّقَاهُ عَبْدٌ إِلَّا بُورِكَ لَهُ فِي عُمُرِهِ وَرِزْقِهِ، وَمَا بَارَزَ أَمْرَهُ عَاصٍ إِلَّا مُحِقَتْ بَرَكَةُ يَوْمِهِ وَلَيْلِهِ. وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، خَيْرُ مَنْ عَرَفَ رَبَّهُ فَخَافَهُ، وَأَطَاعَهُ فَرَاقَبَهُ، صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ، وَمَنْ سَارَ عَلَى دَرْبِهِ، وَٱتَّبَعَ سُنَّتَهُ وَسَبِيلَهُ.
أَمَّا بَعْدُ،

Ma’asyirol Muslimin wa Zumrotal Mu’minin…

Dari mimbar yang mulia ini, khatib tak henti-hentinya mengingatkan diri pribadi dan jama’ah sekalian untuk bertakwa dan terus beristigfar memohon ampunan kepada Allah Ta’ala, karena Allah tidak akan mengadzab penduduk suatu negeri selama mereka beristigfar.

وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمۡ وَأَنتَ فِيهِمۡۚ وَمَا كَانَ ٱللَّهُ مُعَذِّبَهُمۡ وَهُمۡ يَسۡتَغۡفِرُونَ

“Allah tidak akan menghukum mereka, selama engkau (Muhammad) berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan menghukum mereka, sedang mereka (masih) memohon ampunan.” (QS. Al-Anfal: 33)

Sidang Jama’ah Jum’at yang dirahmati Allah…

Sesungguhnya salah satu dampak buruk dari maksiat adalah hilangnya keberkahan dalam hidup. Maksiat dapat mengikis keberkahan umur, rezeki, ilmu, amal, bahkan keberkahan dalam ketaatan itu sendiri. Singkatnya, ia melenyapkan keberkahan dalam urusan dunia dan agama. Tak ada yang keberkahannya lebih sedikit dalam hidup dan agamanya selain orang yang berani bermaksiat kepada Allah ‘Azza wa Jalla.

Bahkan, keberkahan di bumi ini tidaklah dicabut kecuali karena maksiat manusia. Allah Ta’ala berfirman:

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ

“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi.” (QS. Al-A’raf: 96)

Dan dalam ayat lain, Allah berfirman:

وَأَلَّوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُمْ مَاءً غَدَقًا

“Dan seandainya mereka tetap di atas jalan yang lurus, niscaya Kami akan berikan kepada mereka air yang berlimpah.” (QS. Al-Jinn: 16)

Rasulullah ﷺ bersabda:

إنَّ العَبدَ ليُحرَمُ الرِّزقَ بالذَّنبِ يُصيبُه

“Sesungguhnya seorang hamba akan dihalangi dari suatu rezeki karena dosa yang dikerjakannya.” (HR. Ibnu Majah, no. 4022)

Beliau juga bersabda:

إِنَّ رُوحَ الْقُدُسِ نَفَثَ فِي رُوعِي أَنَّهُ لَنْ تَمُوتَ نَفْسٌ حَتَّى تَسْتَكْمِلَ رِزْقَهَا، فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ، فَإِنَّهُ لَا يُنَالُ مَا عِنْدَ اللَّهِ إِلَّا بِطَاعَتِهِ

“Ruhul Qudus telah membisikkan dalam hatiku bahwa tidak ada satu jiwa pun yang akan mati sebelum rezekinya sempurna. Maka bertakwalah kepada Allah dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki, karena apa yang ada di sisi Allah tidak bisa diraih kecuali dengan ketaatan kepada-Nya.” (HR. Baihaqi, no. 10376 dalam Syu’abul Iman)

Ikhwatal Iman…

Sesungguhnya Allah meletakkan ketenangan dan kebahagiaan dalam ridha dan keyakinan, serta menaruh kecemasan dan kesedihan dalam keraguan dan kemurkaan terhadap takdir-Nya.

Keberkahan bukan terletak pada jumlah harta atau panjangnya umur dalam hitungan tahun dan bulan. Hakikat keberkahan adalah dalam nilai dan manfaat dari umur dan rezeki itu sendiri. Umur yang diberkahi adalah umur yang diisi dengan kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah. Jika seseorang berpaling dari Allah dan sibuk dengan dunia, maka sejatinya ia hidup tanpa kehidupan. Bahkan hewan yang tidak punya akal bisa jadi lebih baik darinya, karena kehidupan mereka selalu diisi dengan bertasbih kepada Allah.

وَإِن مِّن شَيۡءٍ إِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمۡدِهِۦ وَلَٰكِن لَّا تَفۡقَهُونَ تَسۡبِيحَهُمۡۚ

“Dan tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka.” (QS. Al-Isra: 44)

Ummatal Islam…

Kehidupan yang sebenarnya adalah kehidupan hati dan ruh. Dan hati tidak akan hidup kecuali dengan mengenal Allah, mencintai-Nya, menyembah-Nya dengan tulus, kembali kepada-Nya, tenang dalam mengingat-Nya, dan merasa nyaman dekat dengan-Nya. Siapa yang kehilangan kehidupan semacam ini, maka ia telah kehilangan semua kebaikan, meski seluruh dunia dalam genggamannya. Dunia tidak akan pernah bisa menggantikan kedekatan dengan Allah.

Bagaimana mungkin sesuatu yang hakikatnya miskin dapat menggantikan Dzat Yang Maha Kaya? Bagaimana bisa yang lemah bisa menggantikan yang Dzat Maha Kuasa? Bagaimana yang pasti mati dapat menggantikan Yang Maha Hidup dan tak akan pernah mati? Bagaimana makhluk bisa menggantikan Sang Pencipta? Bagaimana mungkin sesuatu yang sama sekali tidak memiliki eksistensi atau apa pun dari dirinya sendiri dapat menggantikan Dzat yang kekayaan, kehidupan, kesempurnaan, keberadaan, dan rahmat-Nya bersumber dari Diri-Nya?

Justru, maksiat itulah yang menjadi sebab utama hilangnya keberkahan dari rezeki dan umur, karena syaitan memiliki kuasa atas pelaku maksiat. Syaitan mendampingi semua maksiat yang dilakukan. Apa pun yang disentuh syaitan akan kehilangan keberkahan.

Karena itu, dalam syariat kita diajarkan untuk menyebut nama Allah dalam berbagai aktivitas seperti makan, minum, berpakaian, naik kendaraan, hingga dalam hubungan suami istri. Tujuannya adalah agar keberkahan hadir melalui penyebutan nama-Nya, dan syaitan terusir sehingga keberkahan tetap terjaga.

Setiap hal yang tidak diniatkan karena Allah, keberkahannya akan dicabut. Sebab, hanya Allah-lah sumber segala keberkahan. Segala sesuatu yang dinisbatkan kepada-Nya akan menjadi berkah: firman-Nya berkah, Rasul-Nya berkah, hamba-Nya yang beriman dan memberi manfaat bagi sesama adalah berkah, dan Baitullah al-Haram adalah rumah penuh berkah.

Saudara-saudaraku yang dirahmati Allah…

Lawan dari keberkahan adalah laknat. Sesuatu yang dilaknat Allah — entah tanah, orang, atau perbuatan — maka itu adalah hal yang paling jauh dari kebaikan dan keberkahan. Iblis telah dilaknat, dan segala yang berasal darinya memiliki bagian dari laknat itu.

Inilah sebabnya mengapa maksiat begitu kuat melenyapkan keberkahan dalam hidup. Setiap waktu yang digunakan untuk bermaksiat, setiap harta yang digunakan untuk menentang Allah, setiap tenaga, kehormatan, ilmu, dan amal yang tidak digunakan untuk ketaatan, sejatinya itu bukanlah milik orang itu — semua itu tidak dihitung sebagai bagian dari umurnya.

Ada orang yang hidup seratus tahun, namun jika dihitung waktu hidupnya yang benar-benar bermanfaat dalam ketaatan kepada Allah, mungkin hanya sepuluh tahun atau kurang. Ada pula yang hartanya triliunan, namun nilai sebenarnya tidak melebihi 50 juta — karena tidak ada keberkahan di dalamnya. Hal ini berlaku juga untuk kedudukan dan ilmu.

Nabi ﷺ bersabda:

الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ، مَلْعُونٌ مَا فِيهَا، إِلَّا ذِكْرُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَمَا وَالَاهُ، وَعَالِمٌ أَوْ مُتَعَلِّمٌ

“Dunia ini terlaknat, dan semua yang ada di dalamnya juga terlaknat, kecuali zikir kepada Allah dan segala sesuatu yang terkait dengannya, serta orang alim dan penuntut ilmu.” (HR. Tirmidzi, no. 2322)

Itulah satu-satunya yang mengandung keberkahan. Dan hanya kepada Allah-lah kita memohon pertolongan.

بَارَكَ اللَّهُ لِي وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيهِ مِنْ الْآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيمِ. أَقُولُ قَوْلِي هَذَا فَاسْتَغْفِرُوهُ إِنَّهُ هُوَ الْعَفُورُ الرَّحِيمُ

Khutbah Kedua

ٱلْـحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَحَبَّ فَأَدْنَى، وَأَكْرَمَ فَتَوَلَّى، وَأَعْرَضَ عَمَّنْ عَصَاهُ وَتَعَدَّى. نَحْمَدُهُ سُبْحَانَهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِهِ مِنْ ظُلُمَاتِ الْمَعَاصِي وَالرَّدَى.
وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَا يُعِزُّ مَنْ عَادَاهُ، وَلَا يُذِلُّ مَنْ وَالَاهُ، وَنَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، صَفْوَتُهُ مِنْ خَلْقِهِ وَمُجْتَبَاهُ، صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ اهْتَدَى بِهُدَاهُ.
أَمَّا بَعْدُ،

Ma’asyirol Muslimin wa Zumrotal Mu’minin…

Bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah bahwa di antara dampak buruk lain yang terberat dari suatu maksiat adalah terputusnya hubungan antara seorang hamba dengan Rabb-nya yang Maha Mulia. Ketika ikatan ini terputus, maka seluruh pintu kebaikan tertutup, dan yang tersisa hanyalah jalan menuju keburukan.

Lalu bagaimana mungkin seseorang bisa berharap hidup bahagia, sejahtera, atau selamat, bila ia telah memutus hubungan dengan satu-satunya Dzat yang menjadi tempat bergantungnya segala harapan dan kebutuhannya, bahkan kebutuhan yang paling kecil pun — ia tak bisa lepas dari-Nya walau sekejap mata!

Lebih buruk lagi, saat ia berpaling dari Allah, justru ia terhubung dengan musuh yang paling membencinya, yaitu syaitan. Musuh ini mengambil alih dirinya, sementara Pelindung sejatinya — Allah ‘Azza wa Jalla — justru berpaling darinya. Maka tak seorang pun tahu betapa pedihnya penderitaan jiwa yang lahir dari keterputusan dengan Allah, dan keterhubungan dengan syaitan!

Mutharrif bin Abdillah rahimahullah berkata:

وَجَدْتُ هَذَا الْإِنْسَانَ مُلْقًى بَيْنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَبَيْنَ الشَّيْطَانِ، فَإِنْ يَعْلَمِ اللهُ فِي قَلْبِهِ خَيْرًا يَجْبِذْهُ إِلَيْهِ، وَإِنْ لَا يَعْلَمْ فِيهِ خَيْرًا وَكَلَهُ إِلَى نَفْسِهِ، وَمَنْ وَكَلَهُ إِلَى نَفْسِهِ فَقَدْ هَلَكَ.

“Aku dapati manusia ini tergeletak di antara (tarikan) Allah ‘Azza wa Jalla dan (rayuan) syaithan. Jika Allah mengetahui ada kebaikan di dalam hatinya, maka Dia akan menarik dan menyelamatkannya. Tetapi jika Dia tidak melihat adanya kebaikan padanya, maka Dia akan membiarkannya mengikuti dirinya sendiri. Dan barangsiapa diserahkan kepada dirinya sendiri, sungguh ia telah binasa.” (HR. Ahmad, no. 1353 dalam Az-Zuhd)

Allah mengingatkan kita dalam firman-Nya:

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ أَفَتَتَّخِذُونَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِي وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ بِئْسَ لِلظَّالِمِينَ بَدَلًا

“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: ‘Sujudlah kalian kepada Adam,’ maka mereka pun sujud, kecuali Iblis. Dia adalah dari golongan jin, maka ia durhaka terhadap perintah Tuhannya. Apakah kalian akan menjadikan dia dan keturunannya sebagai teman setia selain Aku, padahal mereka adalah musuh kalian? Sungguh, itu adalah seburuk-buruk pengganti bagi orang-orang zhalim.”
(QS. Al-Kahfi: 50)

Seakan Allah Ta’ala berkata kepada kita: “Aku telah memuliakan ayah kalian, Adam. Aku angkat derajatnya, dan Aku perintahkan semua malaikat untuk sujud kepadanya sebagai bentuk penghormatan. Semua malaikat taat, namun musuh kalian, Iblis, justru membangkang dari perintah-Ku. Ia membangkang dan keluar dari ketaatan. Maka, apakah pantas bagi kalian setelah semua ini, justru menjadikannya sebagai teman setia, mematuhi bisikannya, menuruti ajakannya untuk bermaksiat kepada-Ku, dan meninggalkan keridhaan-Ku, padahal ia adalah musuh paling nyata bagi kalian?!”

Sungguh aneh dan tercela, bila seseorang malah memusuhi Allah dengan cara berpihak kepada musuh-Nya!

Sidang Jama’ah Jum’at yang Allah muliakan…

Barang siapa memusuhi musuh raja, maka ia adalah loyalis raja. Tapi jika seseorang justru bersekutu dengan musuh sang raja, maka ia dianggap sama saja dengan musuh itu. Tidak mungkin seseorang mengaku setia kepada seorang raja, namun justru memuliakan dan membantu musuh-musuhnya. Itu adalah kebohongan dan pengkhianatan!

Itu pun jika musuh sang raja hanya memusuhi raja. Bagaimana jika musuh itu juga adalah musuh kita sendiri? Bahkan permusuhannya kepada kita lebih besar daripada permusuhan serigala kepada domba!

Maka sungguh tidak layak — bahkan tidak masuk akal — bila seorang insan yang berakal justru memihak musuhnya, memihak musuh Tuhan-nya, dan berpaling dari satu-satunya Penolong sejatinya, yaitu Allah, yang tiada pelindung selain Dia.

Allah menegaskan betapa buruknya perbuatan ini dengan menyatakan:

وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ

“Padahal mereka (syaitan dan keturunannya) adalah musuh kalian!” (QS. Al-Kahfi: 50)

Allah juga berfirman di ayat yang sama:

فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ

“Ia durhaka terhadap perintah Rabb-nya.” (QS. Al-Kahfi: 50)

Dengan dua alasan ini saja — permusuhannya kepada Allah dan permusuhannya kepada kita — sudah cukup menjadi pengingat bahwa syaitan layak dimusuhi, bukan dijadikan sahabat atau panutan. Maka sungguh buruk pengganti yang dipilih oleh orang-orang zhalim, yaitu syaitan menggantikan Allah!

Dan di balik firman ini, seakan ada teguran halus dari Allah yang seakan berkata:
“Dulu Aku memusuhi Iblis karena ia enggan bersujud kepada ayah kalian, Adam. Itu Aku lakukan demi kalian. Namun lihatlah kini — setelah Aku memusuhinya demi kalian, justru kalianlah yang berdamai dan menjalin hubungan dengan musuh-Ku itu!”

Adakah pengkhianatan yang lebih memilukan daripada ini?

فَاللهُ المُستَعَان، وَهُوَ حَسْبُنَا وَنِعْمَ الوَكِيل.
أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ، إِنَّ اللَّهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيهِ بِنَفْسِهِ، وَثَنَّى بِمَلَائِكَتِهِ الْمُسَبِّحَةِ بِقُدْسِهِ، وَأَيُّهُ بِكُمْ أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ مِنْ جِنِّهِ وَإِنْسِهِ، فَقَالَ عَزَّ وَجَلَّ: ﴿إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا﴾، اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُولِكَ مُحَمَّدٍ، وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنْ خُلَفَائِهِ الرَّاشِدِينَ، أَبِي بَكْرٍ، وَعُمَرَ، وَعُثْمَانَ، وَعَلِيٍّ، وَعَنْ سَائِرِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِينَ، وَعَنِ التَّابِعِينَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ، وَعَنَّا مَعَهُمْ بِمِنِّكَ وَكَرَمِكَ يَا أَكْرَمَ الْأَكْرَمِينَ.

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيعٌ قَرِيبٌ مُجِيبُ الدَّعَوَاتِ، وَيَا قَاضِي الْحَاجَاتِ.

اللَّهُمَّ ٱقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا يَحُولُ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعَاصِيكَ، وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَا بِهِ جَنَّتَكَ، وَمِنَ ٱلْيَقِينِ مَا يُهَوِّنُ عَلَيْنَا مُصِيبَاتِ ٱلدُّنْيَا، وَمَتِّعْنَا بِأَسْمَاعِنَا وَأَبْصَارِنَا وَقُوَّتِنَا مَا أَحْيَيْتَنَا، وَٱجْعَلْهُ ٱلْوَارِثَ مِنَّا، وَٱجْعَلْ ثَأْرَنَا عَلَىٰ مَنْ ظَلَمَنَا، وَٱنْصُرْنَا عَلَىٰ مَنْ عَادَانَا، وَلَا تَجْعَلْ مُصِيبَتَنَا فِي دِينِنَا، وَلَا تَجْعَلِ ٱلدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا، وَلَا مَبْلَغَ عِلْمِنَا، وَلَا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لَا يَرْحَمُنَا.

اللَّهُمَّ أَنْجِ الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ، اللَّهُمَّ أَنْجِ الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ، فِي فِلَسْطِينَ وَفِي كُلِّ مَكَانٍ، اللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى الْيَهُودِ، رَبَّنَا اطْمِسْ عَلَى أَمْوَالِهِمْ وَاشْدُدْ عَلَى قُلُوبِهِمْ، فَلَا يُؤْمِنُوا حَتَّى يَرَوُا الْعَذَابَ الْأَلِيمَ.

اللَّهُمَّ أَصْلِحْ وُلَاةَ أُمُورِنَا وَوَفِّقْهُمْ لِمَا تُحِبُّ وَتَرْضَى، وَقَرِّبْ إِلَيْهِمْ الْبِطَانَةَ الصَّالِحَةَ، وَجَنِّبْهُمْ بِطَانَةَ السُّوءِ.

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.

عِبَادَ اللَّهِ، إِنَّ ٱلِلَّهَ يَأْۡمُرُ بِٱلِۡعَدْۡلِ وَٱلِۡإِحْۡسَٰنِ وَإِيتَآيِٕ ذِي ٱلِۡقُرْۡبَىٰ وَيَنْۡهَىَٰ عَنِ ٱلِۡفَحْۡشَآءِ وَٱلِۡمُنْكَرِ وَٱلِۡبَغٍّۡيِۚ يَعِظُكُمْۡ لَعَلَّكُمْۡ تَذَكَّرُونَ.

فَاذْكُرُوا اللَّهَ الْعَظِيمَ الْجَلِيلَ يُذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلِذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ، وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ. أَقِمِ الصَّلَاةَ..

(Terinspirasi dari nasehat yang disampaikan oleh Ibnul Qayyim dalam kitabnya Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 196-204)