Khutbah Pertama
ٱلْـحَمْدُ لِلَّهِ ٱلَّذِي جَعَلَ ٱلْقُلُوبَ مَحَلَّ ٱبْتِلَائِهِ، وَٱمْتَحَنَ ٱلْعِبَادَ بِمَا تَهْوَىٰهُ نُفُوسُهُمْ مِنْ بَلَاءِ عِشْقٍ وَفِتْنَةٍ وَهَوًى، وَفَتَحَ لِأَوْلِيَائِهِ أَبْوَابَ ٱلنَّجَاةِ وَٱلتُّقَىٰ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، جَعَلَ دَوَاءَ ٱلْقُلُوبِ فِي ذِكْرِهِ، وَشِفَاءَ ٱلْأَرْوَاحِ فِي قُرْبِهِ، وَٱلنَّجَاةَ مِنَ ٱلْفِتَنِ فِي إِخْلَاصِ ٱلْوَجْهِ إِلَيْهِ.
وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، هَادِيُ ٱلْقُلُوبِ، وَمُرْشِدُ ٱلنُّفُوسِ إِلَىٰ مَا فِيهِ صَلَاحُ ٱلدِّينِ وَٱلدُّنْيَا، صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَعَلَىٰ آلِهِ وَصَحْبِهِ، وَسَلَّمَ تَسْلِيمًا كَثِيرًا. أَمَّا بَعْدُ:
Ma’asyirol muslimin wa zumrotal mu’minin…
Tidak ada satu pun di antara kita yang tidak mendambakan rahmat dan kasih sayang dari Rabb-nya. Itulah harapan tertinggi setiap orang beriman. Maka demi menggapai harapan itu, khatib berwasiat kepada diri sendiri dan kepada jama’ah sekalian: marilah kita bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa. Karena Allah Ta’ala berfirman:
وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ تُرۡحَمُونَ
“Dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujurat: 10)
Sidang Jama’ah Jum’at yang dirahmati oleh Allah…
Siapa yang terjerat dalam cinta yang terlarang, tak lagi peduli apakah pandangan dan hasratnya melanggar batas yang Allah tetapkan. Ia menutup mata dari bahaya besar yang tersembunyi di balik cinta itu.
Ini bukan sekadar rasa suka biasa. Ini penyakit yang membuat para ahli pun angkat tangan, penyakit kronis yang menggerogoti jiwa. Demi Allah, ia adalah racun mematikan yang mengalir pelan, tapi pasti.
Bila cinta ini sudah menancap di hati, melepaskan diri darinya menjadi sangat sulit. Dan bila apinya sudah menyala di dada, hampir mustahil untuk memadamkannya tanpa luka yang dalam.
Cinta terlarang itu bertingkat-tingkat. Ada yang begitu dalam hingga menyeret pelakunya ke jurang kekufuran. Seperti orang yang menjadikan kekasihnya sebagai tandingan bagi Allah, ia mencintainya sebagaimana semestinya mencintai Sang Pencipta. Bahkan bisa jadi cintanya kepada makhluk itu melebihi cintanya kepada Allah.
Inilah jenis cinta yang paling berbahaya, cinta yang berubah menjadi syirik terbesar. Dan syirik adalah dosa yang tidak akan diampuni kecuali dengan taubat yang tulus dan sungguh-sungguh.
Allah Ta’ala berfirman:
وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ ٱللَّهِ أَندَادٗا يُحِبُّونَهُمۡ كَحُبِّ ٱللَّهِۖ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَشَدُّ حُبّٗا لِّلَّهِۗ
“Dan di antara manusia ada orang yang menyembah tuhan selain Allah sebagai tandingan, yang mereka cintai seperti mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah: 165)
Ummatal Islam…
Ada tanda-tanda jelas bahwa cinta telah berubah menjadi bentuk syirik:
1. Ia mencari ridha kekasihnya, walau harus mengorbankan ridha Allah.
2. Bila perintah kekasih bertentangan dengan perintah Allah, ia lebih memilih menuruti kekasihnya.
3. Ia curahkan tenaga, waktu, dan pengorbanan untuk sang kekasih, sedangkan untuk Allah—jika pun ada—itu hanyalah sisa waktu yang tersisa setelah mengabdi kepada kekasihnya.
4. Ia hadir sepenuh hati di hadapan kekasihnya, tapi hanya setengah hati—bahkan hanya sisa perhatian—di hadapan Allah.
Perhatikanlah keadaan para pemabuk cinta ini. Bukankah semua itu nyata pada diri mereka?
Bandingkan keadaan mereka dengan hakikat tauhid dan iman. Timbanglah dengan timbangan yang adil, timbangan yang diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya. Maka akan tampak jelas bahwa cinta seperti ini bukan lagi cinta biasa, tapi telah menjadi sesembahan baru yang menyaingi kecintaan kepada Allah.
Bahkan sebagian dari mereka secara terang-terangan menyatakan bahwa pertemuan dengan kekasihnya lebih ia cintai daripada tauhid kepada Rabb-nya. Seperti ucapan seorang penyair fasik:
يَتَرَشَّفْنَ مِنْ فَمِي رَشَفَاتٍ … هُنَّ أَحْلَى فِيهِ مِنَ التَّوْحِيدِ
“Ia menyeruput ciuman dari mulutku… yang lebih manis bagiku daripada tauhid itu sendiri.” (Lihat: Diwan al-Mutanabbi, hlm. 35)
Yang lain bahkan berkata:
وَصْلُكَ أَشْهَى إِلَى فُؤَادِي … مِنْ رَحْمَةِ الْخَالِقِ الْجَلِيلِ
“Pertemuan denganmu lebih aku sukai daripada rahmat dari Tuhan Pencipta Yang Maha Agung.” (Lihat: al-‘Aqibah, hlm. 175)
Na’udzu billah… kita berlindung kepada Allah dari kehinaan semacam ini.
Tak diragukan lagi bahwa jenis cinta seperti ini termasuk syirik terbesar.
Ikhwatal Iman…
Banyak orang yang terjerat cinta terlarang berkata: “Tidak ada ruang sedikit pun di hatiku selain untuk dia.”
Orang seperti ini sejatinya telah menjadi hamba kekasihnya, bukan lagi hamba Allah. Ia telah memberikan bentuk tertinggi dari cinta, ketundukan, dan kerendahan hati kepada makhluk, padahal itu semua hanya layak diberikan kepada Sang Pencipta.
Betapa jauhnya perbandingan antara dosa ini dan zina. Zina memang dosa besar dan memiliki hukum syar’i yang jelas. Namun cinta yang melampaui batas seperti ini jauh lebih berbahaya, karena ia menyentuh sisi paling dalam dari tauhid dan mengandung unsur kesyirikan.
Inilah cinta yang bukan lagi cinta, tapi peribadatan yang menyimpang, ibadah hati kepada selain Allah.
Salah seorang ulama berkata:
لَأَنْ أُبْتَلَىٰ بِالْفَاحِشَةِ مَعَ تِلْكَ الصُّورَةِ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أُبْتَلَىٰ فِيهَا بِعِشْقٍ يَتَعَبَّدُ لَهَا قَلْبِي وَيَشْغَلُهُ عَنِ اللَّهِ.
“Aku terjerumus dalam zina dengan orang yang cantik lebih aku sukai, daripada aku jatuh cinta kepadanya hingga hatiku diperbudak dan terhalang dari Allah.”
Cinta yang menggelora di dalam hati, jika tidak diarahkan dengan cara yang benar, bisa menjadi bencana bagi jiwa dan agama. Oleh karena itu, para ulama telah menjelaskan bahwa obat bagi cinta semacam ini tergantung pada kondisinya:
Pertama, jika dua insan yang saling mencintai masih berada dalam batas halal dan memungkinkan untuk disatukan dalam ikatan yang sah, maka obat paling mujarab dan utama adalah pernikahan.
Rasulullah ﷺ bersabda:
لَمْ يُرَ لِلْمُتَحَابَّيْنِ مِثْلُ النِّكَاحِ
“Tidak pernah terlihat solusi yang lebih baik bagi dua orang yang saling mencintai selain pernikahan.” (HR. Ibnu Majah, no. 1847)
Melalui pernikahan, syahwat yang tadinya mendorong ke arah yang haram tersalurkan dengan cara yang halal dan diberkahi. Keduanya hidup bersama dalam ikatan suci, saling mengenal secara lebih utuh, dan pada akhirnya akan mulai melihat kekurangan satu sama lain.
Justru di sinilah salah satu hikmah pernikahan: cinta yang tadinya membuncah dan bisa menjurus ke arah berlebihan menjadi lebih proporsional. Karena cinta yang terlalu membutakan kadang perlu diseimbangkan dengan realitas, agar tidak berubah menjadi ketergantungan buta yang menyingkirkan cinta kepada Allah.
Pernikahan juga melatih keduanya untuk mencintai dengan cara yang diridhai oleh Allah, bukan sekadar mengikuti syahwat, tapi membangun rumah tangga di atas dasar iman, ibadah, dan tanggung jawab.
Inilah solusi untuk keadaan pertama.
Keadaan kedua, apabila cinta yang dirasakan tidak mungkin disatukan dalam ikatan pernikahan, maka jalan terbaik bukanlah mempertahankan perasaan itu, tapi mengobatinya dengan cara yang benar.
Ini berlaku jika cinta itu bertepuk sebelah tangan, atau jika cinta tersebut terlarang selamanya, seperti mencintai istri orang lain, menyukai laki-laki yang sudah menikah, terpikat pada saudara sedarah, menaruh hati pada menantu, mertua, ipar, atau bahkan menyukai sesama jenis.
Dalam semua keadaan ini, cinta tersebut bukanlah ujian biasa, tetapi penyakit hati yang sangat berbahaya, yang bertentangan dengan kemurnian tauhid. Maka, obatnya bukan dengan dibiarkan tumbuh, tapi dengan memadamkannya di sumbernya: hati yang mulai berpaling dari Allah.
Seseorang yang terjangkit cinta semacam ini harus segera sadar dan menegakkan benteng pertahanan hatinya dengan ibadah, zikir, membaca Al-Qur’an, dan menjauhi semua hal yang mengingatkannya pada kekasihnya. Ia harus menyibukkan diri lahir dan batin agar pikirannya tidak terus-menerus dipenuhi bayangan yang diharamkan.
Ia pun harus banyak berdoa, menangis dalam sujud, dan merendahkan diri di hadapan Allah, memohon agar diselamatkan dari cinta yang bisa membinasakan dunia dan akhiratnya.
Dan yang paling utama dari semua itu adalah ikhlas. Inilah inti dari keselamatan hati. Allah menyebutnya sebagai alasan keselamatan Nabi Yusuf dari godaan wanita yang begitu kuat:
كَذَٰلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ ۚ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ
“Demikianlah agar Kami palingkan darinya kejahatan dan kekejian. Sesungguhnya ia termasuk hamba Kami yang ikhlas.” (Yusuf: 24)
Cinta yang menyimpang seperti ini hanya mampu menguasai hati yang kosong dari keikhlasan kepada Allah. Maka, selama seseorang mengisi hatinya dengan tauhid yang murni, kecintaan kepada Allah, dan kejujuran dalam penghambaan, maka cinta-cinta yang menyimpang akan melemah dan tersingkir dengan sendirinya.
Sebaliknya, bila hati hampa dari ibadah dan dibiarkan penuh oleh bayang-bayang cinta makhluk, maka tak ada benteng yang dapat menahan datangnya badai syahwat.
بَارَكَ اللَّهُ لِي وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيهِ مِنْ الْآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيمِ. أَقُولُ قَوْلِي هَذَا فَاسْتَغْفِرُوهُ إِنَّهُ هُوَ الْعَفُورُ الرَّحِيمُ
Khutbah Kedua
ٱلْـحَمْدُ لِلَّهِ ٱلَّذِي جَعَلَ فِي ٱلْقُلُوبِ مَحَبَّةً وَهَوًى، وَٱبْتَلَىٰ عِبَادَهُ بِٱلْعِشْقِ وَٱلْفِتْنَةِ وَٱلْبَلَاءِ، لِيَمِيزَ ٱلصَّادِقَ مِنَ ٱلدَّعْوَىٰ، وَيَرْفَعَ أَهْلَ ٱلْإِخْلَاصِ وَٱلْوَرَعِ وَٱلتُّقَىٰ.
نَحْمَدُهُ حَمْدًا يَلِيقُ بِجَلَالِهِ، وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ لَا شَرِيكَ لَهُ فِي أُلُوهِيَّتِهِ وَرُبُوبِيَّتِهِ، وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، بَلَّغَ ٱلرِّسَالَةَ، وَهَدَى ٱلْقُلُوبَ إِلَىٰ أَفْضَلِ ٱلطَّرِيقِ وَٱلهُدَىٰ.
صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَعَلَىٰ آلِهِ وَصَحْبِهِ، وَسَلَّمَ تَسْلِيمًا كَثِيرًا.
أَمَّا بَعْدُ:
Ma’asyiral Muslimin wa Zumrotal Mu’minin…
Bertakwalah kepada Allah dan rutinlah dalam beristigfar, karena Allah tidak akan mengazab penduduk suatu negeri selama mereka beristigfar.
وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمۡ وَأَنتَ فِيهِمۡۚ وَمَا كَانَ ٱللَّهُ مُعَذِّبَهُمۡ وَهُمۡ يَسۡتَغۡفِرُونَ
“Allah tidak akan menghukum mereka, selama engkau (Muhammad) berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan menghukum mereka, sedang mereka (masih) memohon ampunan.” (QS. Al-Anfal: 33)
Sidang Jama’ah Jum’at yang Allah muliakan…
Sebenarnya cinta bisa menjadi anugerah, tapi jika diarahkan ke arah yang salah, ia berubah menjadi ujian yang bisa meruntuhkan hati, agama, dan akal. Berikut beberapa akibat yang ditimbulkan oleh cinta yang terlarang:
1. Menyaingi Cinta Allah
Cinta terlarang tidak bisa hidup berdampingan dengan cinta kepada Allah dalam satu hati. Pasti salah satunya akan mengalahkan yang lain. Jika cinta kepada makhluk mendominasi, maka cinta kepada Allah akan terdesak dan akhirnya terkikis.
2. Siksaan Batin yang Mendalam
Siapa pun yang mencintai sesuatu selain Allah dengan kecintaan yang mendalam, pasti akan disiksa oleh cinta itu sendiri. Ia akan hidup dalam keresahan, kerinduan yang tak bertepi, dan harapan-harapan yang sering patah.
3. Perbudakan Hati
Hati pecinta itu seperti burung kecil di tangan anak kecil, dipermainkan, diremas, dan dibiarkan menderita. Ia hidup sebagai tawanan: tak bebas, tersiksa, dan kehilangan arah.
4. Mengganggu Agama dan Dunia
Cinta yang melampaui batas akan mengganggu kekhusyukan ibadah, mengacaukan hati saat bermunajat, dan memalingkan pikiran dari akhirat. Bahkan urusan dunia pun rusak karenanya: semangat menurun, akal kacau, dan waktu terbuang sia-sia.
5. Pintu Godaan Setan Terbuka Lebar
Hati yang dekat dengan cinta terlarang adalah hati yang jauh dari Allah. Dan ketika hati jauh dari Allah, setan pun leluasa masuk dari segala arah: membisikkan was-was, membesar-besarkan khayalan, dan menutup pintu-pintu cahaya.
6. Merusak Akal dan Menyebabkan Kegilaan
Berapa banyak orang yang kehilangan akalnya karena cinta? Sejarah mencatat kisah tragis seperti Majnun Laila, yang cintanya menggilakannya. Akal terkikis sedikit demi sedikit, diganti oleh lamunan dan delusi.
Ikhwatii fiddiin rahimani wa rahimakumullah…
7. Cinta Terlarang dapat Merusak Pancaindra dan Fisik
Cinta yang buta membuat mata melihat yang buruk sebagai indah, dan telinga menjadi tuli terhadap nasihat. Nabi ﷺ bersabda:
حُبُّكَ لِلشَّيْءِ يُعْمِي وَيُصِمُّ
“Cintamu kepada sesuatu dapat membutakan dan menulikan.” (HR. Abu Dawud, no. 5130)
Secara lahir pun, cinta bisa melemahkan tubuh, merusak kesehatan, dan bahkan mengantarkan kepada kematian. Pernah suatu ketika Ibnu ‘Abbas sedang wukuf di Arafah, lalu dibawakan seorang pemuda yang tubuhnya tinggal kulit yang membungkus tulang, yang disebabkan cinta terlarang. Melihat hal itu, Ibnu ‘Abbas pun memohon perlindungan kepada Allah sepanjang hari dari cinta yang membinasakan.
8. Menghancurkan Jiwa dan Tubuh
Cinta semacam ini dapat membuat orang kehilangan semangat hidup. Ia lumpuh, baik ruhani maupun jasmani. Pikiran kacau, cita-cita berubah, bahkan sifat dan tabiatnya bisa bergeser total. Orang sekitarnya pun tak mampu lagi menyembuhkannya.
Maka jangan tertipu oleh manisnya awal cinta seperti ini, sebab: cinta terlarang itu hanya awalnya saja manis, lalu pertengahannya resah, dan akhirnya kebinasaan.
Ia bisa membunuh pelakunya perlahan, kecuali jika Allah menyelamatkannya dengan pertolongan khusus dari sisi-Nya.
Dan pada akhirnya, semua kembali kepada pelakunya sendiri. Tak ada yang lebih bertanggung jawab atas penderitaannya selain dirinya sendiri. Sebagaimana pepatah Arab mengatakan:
يَدَاكَ أَوْكَتَا، وَفُوكَ نَفَخَ
“Tanganmulah yang mengikat pelampungnya, dan mulutmulah yang meniupnya.”
Artinya: dirimu sendirilah yang membangun perangkap itu, maka jangan salahkan siapa pun jika engkau akhirnya tenggelam di dalamnya.
Jika telah jatuh dalam cinta terlarang, maka segeralah kembali kepada Allah, karena Dialah satu-satunya yang bisa menyembuhkan luka hati yang paling dalam.
أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ، إِنَّ اللَّهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيهِ بِنَفْسِهِ، وَثَنَّى بِمَلَائِكَتِهِ الْمُسَبِّحَةِ بِقُدْسِهِ، وَأَيُّهُ بِكُمْ أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ مِنْ جِنِّهِ وَإِنْسِهِ، فَقَالَ عَزَّ وَجَلَّ: ﴿إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا﴾، اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُولِكَ مُحَمَّدٍ، وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنْ خُلَفَائِهِ الرَّاشِدِينَ، أَبِي بَكْرٍ، وَعُمَرَ، وَعُثْمَانَ، وَعَلِيٍّ، وَعَنْ سَائِرِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِينَ، وَعَنِ التَّابِعِينَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ، وَعَنَّا مَعَهُمْ بِمِنِّكَ وَكَرَمِكَ يَا أَكْرَمَ الْأَكْرَمِينَ.
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ، وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوفٌ رَحِيمٌ.
اللَّهُمَّ أَعِزَّ الْإِسْلَامِ وَالْمُسْلِمِينَ، وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِينَ، وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّينِ، وَاحْمِ حَوْزَةَ الْإِسْلَامِ، وَاجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آمِنًاً مُطْمَئِنًا وَسَائِرَ بِلَادِ الْمُسْلِمِينَ.
اللَّهُمَّ أَصْلِحْ أَحْوَالَ الْمُسْلِمِينَ فِي كُلِّ مَكَانٍ، وَاجْمَعْ كَلِمَتَهُمْ عَلَى الْحَقِّ يَا رَبَّ الْعَالَمِينَ.
اللَّهُمَّ ٱقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا يَحُولُ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعَاصِيكَ، وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَا بِهِ جَنَّتَكَ، وَمِنَ ٱلْيَقِينِ مَا يُهَوِّنُ عَلَيْنَا مُصِيبَاتِ ٱلدُّنْيَا، وَمَتِّعْنَا بِأَسْمَاعِنَا وَأَبْصَارِنَا وَقُوَّتِنَا مَا أَحْيَيْتَنَا، وَٱجْعَلْهُ ٱلْوَارِثَ مِنَّا، وَٱجْعَلْ ثَأْرَنَا عَلَىٰ مَنْ ظَلَمَنَا، وَٱنْصُرْنَا عَلَىٰ مَنْ عَادَانَا، وَلَا تَجْعَلْ مُصِيبَتَنَا فِي دِينِنَا، وَلَا تَجْعَلِ ٱلدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا، وَلَا مَبْلَغَ عِلْمِنَا، وَلَا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لَا يَرْحَمُنَا.
اللَّهُمَّ أَصْلِحْ وُلَاةَ أُمُورِنَا وَوَفِّقْهُمْ لِمَا تُحِبُّ وَتَرْضَى، وَقَرِّبْ إِلَيْهِمْ الْبِطَانَةَ الصَّالِحَةَ، وَجَنِّبْهُمْ بِطَانَةَ السُّوءِ.
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
عِبَادَ اللَّهِ، إِنَّ ٱلِلَّهَ يَأْۡمُرُ بِٱلِۡعَدْۡلِ وَٱلِۡإِحْۡسَٰنِ وَإِيتَآيِٕ ذِي ٱلِۡقُرْۡبَىٰ وَيَنْۡهَىَٰ عَنِ ٱلِۡفَحْۡشَآءِ وَٱلِۡمُنْكَرِ وَٱلْبَغٍّۡيِۚ يَعِظُكُمْۡ لَعَلَّكُمْۡ تَذَكَّرُونَ.
فَاذْكُرُوا اللَّهَ الْعَظِيمَ الْجَلِيلَ يُذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلِذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ، وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ. أَقِمِ الصَّلَاةَ..
(Terinspirasi dari nasehat yang disampaikan oleh Ibnul Qayyim dalam kitabnya Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 488-499)