Khutbah ‘Idul Adha: Keindahan Syariat Islam: Semua Bermuara kepada Maslahat Hamba

Khutbah Pertama

اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

ٱلْـحَمْدُ لِلَّهِ ٱلَّذِي أَرْسَلَ دِينَهُ مَصْلَحَةً لِلْعِبَادِ، وَرَحْمَةً لِلْبِلَادِ، وَعَدْلًا يُرْفَعُ بِهِ ٱلْجَوْرُ، وَنُورًا يُبَدَّدُ بِهِ ٱلظُّلْمُ وَٱلدَّيْجُورُ. أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ، وَسِعَتْ حِكْمَتُهُ كُلَّ شَيْءٍ، وَبَلَغَتْ رَحْمَتُهُ كُلَّ حَيٍّ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، نَبِيُّ ٱلرَّحْمَةِ وَٱلْمَصْلَحَةِ، وَٱلدَّاعِي إِلَى ٱلْخَيْرِ وَٱلْفَلَاحِ، صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ، مَا دَامَتِ ٱلدُّنْيَا وَدَامَ ٱلْإِصْلَاحُ.
أَمَّا بَعْدُ،

Ma’asyirol Muslimin wa Zumrotal Mu’minin…

Dari mimbar yang mulia ini, khatib kembali mengingatkan diri sendiri dan segenap jamaah agar senantiasa meningkatkan ketakwaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Dengan bertakwa, niscaya amal ibadah kita akan membaik, dan dosa kita akan terampuni. Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا (٧٠) يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar. Niscaya Allah akan memperbaiki amal-amal kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka ia telah meraih kemenangan yang besar.” (QS. Al-Ahzab: 70-71)

Ummatal Islam…

Sesungguhnya setiap syariat yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta‘ala mengandung kemaslahatan hakiki yang sejalan dengan fitrah dan akal sehat manusia. Mustahil, syariat Allah ‘Azza wa Jalla—Tuhan Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui—membawa aturan yang bertentangan dengan cahaya akal yang jernih. Karena syariat ini adalah pancaran hikmah Ilahi, bukan sekadar hukum lahir, melainkan petunjuk yang menghidupkan hati dan menuntun akal menuju kebenaran yang murni. Allah Ta’ala berfirman:

وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ

“Seandainya kebenaran itu mengikuti hawa nafsu mereka, niscaya binasalah langit dan bumi serta semua yang ada di dalamnya.”
(QS. Al-Mu’minun: 71)

Lihatlah shalat—ibadah agung yang Allah tetapkan dalam bentuk paling sempurna dan paling mulia. Ia adalah pertemuan ruhani antara hamba dan Tuhannya, yang melibatkan seluruh unsur tubuh dan jiwa dalam satu kesatuan ibadah. Lisan berdzikir dan bermunajat, tangan dan kaki bergerak dalam ketundukan, kepala dan seluruh indera ikut serta dalam khusyuk, sementara hati hadir penuh keikhlasan, kerendahan, dan cinta kepada-Nya.

Dalam shalat, seorang hamba memuji Tuhannya, mengagungkan asma-Nya, mengesakan-Nya, dan berdiri di hadapan-Nya sebagai makhluk lemah yang penuh harap dan takut. Ia rukuk, merunduk dalam penghormatan. Lalu ia sujud—meletakkan wajahnya, bagian paling mulia dari dirinya, ke tanah sebagai simbol kehinaan dan ketundukan mutlak kepada Sang Pencipta. Jiwanya melebur dalam kekhusyukan, tubuhnya luruh dalam kehinaan, dan hatinya luluh dalam penghambaan sejati.

Ia terus berpindah dari satu gerakan ibadah ke gerakan ibadah lainnya, dari satu bentuk kerendahan ke bentuk kerendahan yang lebih dalam. Hingga di akhir shalat, ia memuji Tuhannya, bershalawat kepada Nabi-Nya, dan memohon kepada-Nya segala bentuk kebaikan dunia dan akhirat.

Maka, ibadah apakah yang lebih indah daripada shalat? Adakah bentuk penghambaan yang lebih sempurna, lebih luhur, dan lebih suci dari ini?

Bandingkanlah dengan apa yang dianggap sebagai “ibadah” oleh orang-orang yang menyimpang dan sesat: tarian yang disangka dzikir, tawa yang dikira wirid, siulan dan tepukan yang diganti sebagai doa, joget dan pamer aurat yang diklaim sebagai bentuk cinta kepada Tuhan. Betapa jauh mereka telah menyimpang dari cahaya wahyu dan tuntunan para nabi!

Ikhwatal Iman…

Lihatlah zakat—ibadah mulia yang sarat dengan nilai kasih sayang dan kepedulian sosial. Ia bukan sekadar kewajiban, tetapi jembatan kasih antara si kaya dan si miskin, antara yang memiliki kelebihan dan yang hidup dalam kekurangan. Dalam zakat, terdapat pengakuan bahwa rezeki bukan milik pribadi semata, melainkan amanah dari Allah yang di dalamnya tersimpan hak orang lain.

Zakat adalah solusi Ilahi dalam menghadapi kemiskinan. Ia membersihkan harta, menyucikan jiwa, menumbuhkan sifat dermawan, serta mengikis kerakusan dan sifat kikir. Dan di sisi lain, zakat memadamkan api iri dan dengki dalam hati orang miskin, mengangkat martabat mereka, dan menanamkan harapan dalam hidup mereka.

Adakah akal sehat yang bisa menolak keindahan sistem ini? Bukankah ini tanda bahwa syariat ini datang dari Dzat Yang Maha Bijaksana, Maha Mengetahui kondisi hamba-Nya, dan Maha Penyayang terhadap seluruh makhluk?

Bandingkanlah—dengan jujur dan hati yang terbuka—dengan sistem pajak buatan manusia yang kerap membebani yang miskin, sementara yang kaya kadang bisa menghindar darinya. Zakat tidak menindas, tidak memaksa yang tidak mampu, dan tidak mengenal eksploitasi. Ia sistem yang adil, penuh rahmat, dan berakar dari wahyu.

Saudara-saudaraku yang dirahmati Allah…

Lihatlah puasa—ibadah agung yang Allah syariatkan untuk meninggikan derajat manusia dan mengekang hawa nafsunya. Ia adalah latihan ruhani yang mengangkat manusia dari derajat kebinatangan menuju derajat para malaikat. Sebab, bila hawa nafsu dibiarkan lepas, manusia akan terseret pada syahwat yang membutakan. Tapi ketika ia menahan lapar dan dahaga, meninggalkan syahwatnya demi Allah, ia justru semakin dekat dengan Rabb-nya, semakin tinggi nilai dirinya di sisi langit.

Betapa indahnya puasa! Ia melemahkan kekuatan hawa nafsu, melembutkan hati yang keras, menghidupkan ruh yang lalai, menjauhkan jiwa dari belenggu dunia, dan mendekatkannya kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Bahkan, ia menjadi jembatan empati yang menghubungkan si kaya dengan derita kaum miskin. Ketika lidah terasa kering dan perut terasa lapar, barulah seseorang sadar betapa berat hidup mereka yang tak punya apa-apa.

Tak ada ibadah yang lebih kuat dalam membentuk takwa selain puasa. Ia adalah jalan terdekat menuju Allah, dan benteng terkokoh dari godaan setan. Maka, adakah yang lebih bijaksana dari Dzat yang telah mensyariatkan puasa ini? Ia tidak memerintahkan puasa untuk menyiksa, tetapi demi membersihkan, mengangkat, dan merahmati hamba-Nya. Inilah syariat dari Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Bijaksana.

Ma’asyirol Muslimin…

Lihatlah ibadah haji—sebuah ibadah yang begitu agung dan mulia. Ia adalah syiar paling nyata dari agama tauhid, lambang penghambaan sejati, dan ibadah yang dipenuhi cinta dan kerinduan. Haji bukan sekadar perjalanan fisik, melainkan perjalanan hati menuju Allah, Dzat yang Maha Suci.

Ketika seorang hamba menanggalkan pakaiannya, mengganti dengan ihram yang sederhana, lalu menyeru: “Labbaik Allahumma labbaik”, itu adalah seruan cinta. Ia menjawab panggilan Rabb-nya dengan sepenuh hati, seakan berkata: “Aku datang, ya Allah… aku datang memenuhi undangan-Mu.” Bukan hanya lisan yang bertalbiyah, tapi hati pun berseru, ruh pun bergerak, dan jiwa pun berserah.

Haji adalah undangan dari Sang Kekasih kepada para kekasih-Nya. Semakin dalam talbiyah dilantunkan, semakin besar cinta Allah kepada si hamba. Setiap langkah menuju Ka’bah adalah langkah menuju ridha-Nya. Setiap tetes peluh adalah saksi cinta dan pengorbanan. Dan setiap amalan di tanah suci adalah bentuk penyerahan total kepada Dzat yang mencintai.

Ikhwatii fiddiin rahimani wa rahimakumullah…

Lihatlah jihad—ia adalah puncak dari seluruh bentuk ibadah. Titik tertinggi dari penghambaan, ujian paling berat dari cinta, dan bukti paling nyata dari kesetiaan kepada Allah. Dalam jihad, terbongkarlah siapa yang benar-benar mencintai Allah dan siapa yang hanya sekadar mengaku. Sebab, cinta sejati tidak cukup dengan lisan—ia menuntut pengorbanan, bahkan jika harus dengan nyawa dan harta yang paling dicintai.

Orang yang benar-benar mencintai Allah, rela menempuh medan bahaya demi ridha-Nya. Bahkan, ia berharap andai bisa terbunuh berkali-kali demi membuktikan cintanya kepada Dzat yang telah menciptakannya, membimbingnya, dan menjanjikan surga untuknya.

Allah Ta‘ala berfirman:

۞إِنَّ ٱللَّهَ ٱشۡتَرَىٰ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ أَنفُسَهُمۡ وَأَمۡوَٰلَهُم بِأَنَّ لَهُمُ ٱلۡجَنَّةَۚ يُقَٰتِلُونَ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ فَيَقۡتُلُونَ وَيُقۡتَلُونَۖ

“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang beriman, diri dan harta mereka dengan balasan surga. Mereka berperang di jalan Allah, lalu mereka membunuh dan terbunuh.” (QS. At-Taubah: 111)

Lihatlah betapa mulianya kedudukan jihad! Ia bukan sekadar amal fisik, tetapi jual beli spiritual antara hamba dan Rabbnya. Diri dan harta diserahkan, dan surga dijanjikan sebagai gantinya.

Bukankah cinta sejati hanya dapat dibuktikan dengan pengorbanan? Maka jihad adalah bentuk tertinggi dari cinta, mahkota dari segala pengabdian, dan jalan yang hanya ditempuh oleh mereka yang paling jujur dalam cintanya kepada Allah.

بَارَكَ اللَّهُ لِي وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيهِ مِنْ الْآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيمِ، وَتَقَبَّلَ مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلَاوَتَهُ، فَاسْتَغْفِرُوهُ؛ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ.

Khutbah Kedua

اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

‎ٱلْـحَمْدُ لِلَّهِ ٱلَّذِي شَرَعَ شَرِيعَةَ ٱلْأُضْحِيَةِ، وَجَعَلَهَا مَظْهَرًا مِّنْ مَظَاهِرِ ٱلتَّوْحِيدِ، وَدَلِيلًا عَلَى كَمَالِ ٱلِٱمْتِثَالِ وَٱلتَّسْلِيمِ وَٱلتَّجْرِيدِ. أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ، وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، تَقَرَّبَ ٱلْمُتَقَرِّبُونَ إِلَيْهِ بِذَبْحِ ٱلْقَرَابِينِ، وَلَمْ يُرِدْ مِنْهَا لَحْمًا وَلَا دَمًا، وَلَٰكِنْ أَرَادَ تَقْوَى ٱلْقُلُوبِ وَصِدْقَ ٱلْيَقِينِ. وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، إِمَامُ ٱلْمُوَحِّدِينَ، وَسَيِّدُ ٱلْمُضَحِّينَ، بَلَّغَ ٱلرِّسَالَةَ، وَأَدَّى ٱلْأَمَانَةَ، وَعَلَّمَ ٱلْأُمَّةَ كَيْفَ تَتَعَبَّدُ لِلَّهِ فِي كُلِّ زَمَانٍ وَمَكَانٍ، صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ، صَلَاةً وَسَلَامًا دَائِمَيْنِ مَا تَعَاقَبَ ٱللَّيْلُ وَٱلنَّهَارُ، وَتَوَالَتِ ٱلْأَزْمَانُ وَٱلْأَعْمَارُ.
‎أَمَّا بَعْدُ،

Ma’asyirol Muslimin wa Zumrotal Mu’minin…

Bertakwalah kepada Allah dan bersyukurlah atas nikmat-Nya, karena yang paling mengambil manfaat dari syukur adalah kita sendiri, sedangkan Allah, Ia adalah Dzat yang Maha Kaya.

وَمَن يَشۡكُرۡ فَإِنَّمَا يَشۡكُرُ لِنَفۡسِهِۦۖ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٞ

“Dan barangsiapa bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa tidak bersyukur (kufur), maka sesungguhnya Allah Mahakaya, Maha Terpuji.” (QS. Luqman: 12)

Jama’ah Ied yang Allah muliakan…

Sekarang, marilah kita renungkan ibadah qurban, ibadah agung yang tengah kita jalani di hari-hari mulia ini. Qurban bukan sekadar menyembelih hewan—ia adalah lambang ketundukan dan kedekatan kepada Allah. Seolah-olah seorang hamba berkata, “Ya Allah, aku pantas binasa karena dosaku, tapi aku persembahkan hewan ini sebagai bentuk pengorbanan demi mendekat kepada-Mu.”

Ibadah ini adalah jejak keimanan yang ditorehkan Nabi Ibrahim ’alaihissalam—ketika ia siap mengorbankan anak tercintanya demi taat kepada perintah Rabb-nya, lalu Allah gantikan dengan sembelihan yang agung. Maka qurban bukan hanya warisan sejarah, tapi warisan iman, yang akan terus hidup dalam jiwa-jiwa yang tunduk dan cinta kepada Allah.

Kaum Muslimin yang Allah muliakan…

Untuk semakin menyadari bahwa Islam adalah agama yang tegak di atas fondasi maslahat, renungkanlah kisah agung nan penuh hikmah: ketika Allah Ta‘ala memerintahkan kekasih-Nya, Ibrahim ‘alaihissalam, untuk menyembelih putranya tercinta.

Allah telah memilih Ibrahim sebagai al-Khalil, sang kekasih. Dan kedudukan ini menuntut agar cinta di hati hanya tertuju kepada satu: kepada Allah semata. Tidak boleh ada sekutu dalam cinta itu, tak boleh ada ruang dalam hati yang ditempati oleh selain-Nya. Cinta kepada Allah telah meresap ke seluruh relung jiwa Ibrahim, membanjiri setiap sisi hatinya, hingga tak ada celah tersisa bagi cinta yang lain.

Namun, ketika Ibrahim memohon seorang anak dan Allah mengabulkannya, muncullah cinta alami seorang ayah kepada anaknya. Sebagian kecil dari hatinya terisi oleh cinta kepada sang buah hati—dan ini adalah fitrah yang manusiawi. Tetapi karena Allah mencintai Ibrahim dengan cinta yang sempurna, Dia pun ‘cemburu’ melihat ada ruang dalam hati kekasih-Nya yang ditempati selain diri-Nya. Maka datanglah ujian maha dahsyat: perintah untuk menyembelih sang anak.

Bukan karena Allah menginginkan darah. Bukan pula karena Ia tidak menyayangi sang anak. Tetapi agar Ibrahim membersihkan hatinya, dan mengembalikan cinta itu hanya kepada Allah. Agar tidak ada yang lebih dicintai daripada Dzat yang menciptakan cinta itu sendiri.

Ibrahim pun tunduk. Ia siapkan dirinya. Ia bulatkan niat. Ia letakkan anaknya. Pisau pun nyaris meluncur. Maka terwujudlah tujuan agung dari perintah itu: cinta kepada Allah kembali murni, dan hati Ibrahim pun bersih dari sekutu cinta. Ketundukan dan pengorbanannya telah mencapai puncaknya. Maka, penyembelihan itu pun tak lagi diperlukan. Bahkan, jika dilanjutkan, justru menjadi mudharat. Allah pun membatalkan perintah tersebut—karena maslahatnya telah sempurna diraih melalui niat dan tekad.

Maka, tanyakanlah pada hatimu:
Adakah hikmah yang lebih agung dari ini?
Adakah kelembutan dan kasih sayang yang lebih dalam dari ini?
Adakah maslahat yang lebih tinggi—dalam perintah yang begitu berat, namun diakhiri dengan pembatalan yang penuh makna dan cinta?

Inilah agama yang berdiri di atas cinta, hikmah, dan maslahat. Inilah Islam!

Saudara-saudaraku yang dirahmati Allah…

Para hamba pilihan—mereka yang bening hatinya dan jernih akalnya—melihat Islam bukan sekadar warisan, tapi cahaya yang nyata, kebenaran yang menentramkan, dan petunjuk yang menghidupkan. Bagi mereka, meninggalkan Islam lebih pahit daripada dilempar ke dalam api. Karena iman telah meresap ke hati, menyatu dengan cinta dan kebahagiaan.

Inilah yang dipahami oleh Raja Romawi, Heraklius, saat ia berdialog dengan Abu Sufyan. Ia bertanya:

أَيَرْتَدُّ أَحَدٌ مِنهُمْ عَنْ دِينِهِ سَخْطَةً لَهُ؟

“Apakah ada di antara mereka yang murtad karena benci terhadap agama ini?”

Abu Sufyan menjawab, “Tidak.”

Lalu Heraklius pun berkata dengan penuh keyakinan:

فَكَذَٰلِكَ الإِيمَانُ إِذَا خَالَطَ بَشَاشَةَ الْقُلُوبِ لَا يَسْخَطُهُ أَحَدٌ

“Begitulah sifat iman; jika telah meresap ke dalam relung hati, maka tak akan ada yang membencinya.” (HR. Bukhari no. 4553, Muslim no. 1773)

Inilah kunci dari keteguhan para mukmin sejati:
Mereka kokoh dalam iman bukan karena ikut-ikutan atau tekanan, tapi karena hati mereka menyaksikan bahwa Islam adalah agama dari Allah—agama yang sempurna.

Sedangkan orang yang menolak Islam, sebenarnya telah menutup mata hatinya dari kebenaran, dan menyesatkan dirinya sendiri dalam gelapnya kebatilan.

Semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang teguh dalam iman dan jernih dalam memandang kebenaran.

﴿إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا﴾، اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُولِكَ مُحَمَّدٍ، وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنْ خُلَفَائِهِ الرَّاشِدِينَ، أَبِي بَكْرٍ، وَعُمَرَ، وَعُثْمَانَ، وَعَلِيٍّ، وَعَنْ سَائِرِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِينَ، وَعَنِ التَّابِعِينَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ، وَعَنَّا مَعَهُمْ بِمِنِّكَ وَكَرَمِكَ يَا أَكْرَمَ الْأَكْرَمِينَ.

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيعٌ قَرِيبٌ مُجِيبُ الدَّعَوَاتِ، وَيَا قَاضِي الْحَاجَاتِ.

اللَّهُمَّ ٱقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا يَحُولُ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعَاصِيكَ، وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَا بِهِ جَنَّتَكَ، وَمِنَ ٱلْيَقِينِ مَا يُهَوِّنُ عَلَيْنَا مُصِيبَاتِ ٱلدُّنْيَا، وَمَتِّعْنَا بِأَسْمَاعِنَا وَأَبْصَارِنَا وَقُوَّتِنَا مَا أَحْيَيْتَنَا، وَٱجْعَلْهُ ٱلْوَارِثَ مِنَّا، وَٱجْعَلْ ثَأْرَنَا عَلَىٰ مَنْ ظَلَمَنَا، وَٱنْصُرْنَا عَلَىٰ مَنْ عَادَانَا، وَلَا تَجْعَلْ مُصِيبَتَنَا فِي دِينِنَا، وَلَا تَجْعَلِ ٱلدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا، وَلَا مَبْلَغَ عِلْمِنَا، وَلَا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لَا يَرْحَمُنَا.

اللَّهُمَّ أَنْجِ الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ، اللَّهُمَّ أَنْجِ الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ، فِي فِلَسْطِينَ وَفِي كُلِّ مَكَانٍ، اللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى الْيَهُودِ، رَبَّنَا اطْمِسْ عَلَى أَمْوَالِهِمْ وَاشْدُدْ عَلَى قُلُوبِهِمْ، فَلَا يُؤْمِنُوا حَتَّى يَرَوُا الْعَذَابَ الْأَلِيمَ.

اللَّهُمَّ أَصْلِحْ وُلَاةَ أُمُورِنَا وَوَفِّقْهُمْ لِمَا تُحِبُّ وَتَرْضَى، وَقَرِّبْ إِلَيْهِمْ الْبِطَانَةَ الصَّالِحَةَ، وَجَنِّبْهُمْ بِطَانَةَ السُّوءِ.

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.

أَقْبِلُوا عَلَى بَعْضِكُمْ مُهَنِّئِيْنَ تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ أَجْمَعِينَ

(Terinspirasi dari nasehat yang disampaikan oleh Ibnul Qayyim dalam kitabnya Miftah Dar As-Sa’adah, hlm. 864-871, 937 dengan penyesuaian)