Kehidupan yang Ideal

Kehidupan yang Ideal

Sering kali kita terjebak dalam berbagai standar “ideal” yang diciptakan oleh manusia. Pandangan tentang kesuksesan dan kebahagiaan menjadi begitu beragam, bahkan terkadang saling bertolak belakang.
Ada yang beranggapan bahwa hidup ideal adalah menikah di usia muda. Sementara yang lain merasa lebih ideal jika menunggu mapan secara finansial.

Sebagian meyakini tidak masalah merintis dari nol bersama pasangan, asalkan menunda memiliki momongan hingga tabungan mencukupi demi kesejahteraan anak. Namun, ada pula yang berpendapat bahwa membiarkan anak pertama merasakan pahitnya perjuangan adalah bentuk pendidikan karakter agar ia menjadi teladan bagi adik-adiknya.

Dalam mendidik buah hati, polemik serupa pun muncul. Sebagian orang tua bersikap sangat disiplin agar anak menjadi sosok yang tangguh, meski berisiko menciptakan jarak emosional. Di sisi lain, ada orang tua yang memenuhi segala keinginan anak sebagai bentuk kasih sayang, namun tanpa sadar membuat sang anak sulit mandiri dan justru menyalahkan orang tua di kemudian hari.

Lantas, manakah standar yang benar-benar ideal?

Bagi seorang Muslim, standar kehidupan ideal tidaklah relatif. Tujuan utama penciptaan kita adalah untuk beribadah. Maka, setiap langkah yang diambil untuk memaksimalkan ketaatan kepada Allah, itulah sejatinya Kehidupan yang Ideal.

Dalam perkara agama, standar ideal adalah mengikuti sunnah Nabi ﷺ. Beliau bersabda:

وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَشَرَّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا

“Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan.” (HR. Muslim no. 867)

Dalam berinteraksi dengan sesama, kelembutan adalah hukum asal yang ideal. Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ الرِّفْقَ لَا يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلَّا زَانَهُ، وَلَا يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا شَانَهُ

“Sesungguhnya kelembutan itu tidaklah ada pada sesuatu melainkan ia akan menghiasinya (menjadikannya indah). Dan tidaklah ia dicabut dari sesuatu melainkan akan memperburuknya.” (HR. Muslim no. 2594)

Saat dihadapkan pada pilihan sulit, Islam memberikan jalan keluar yang ideal melalui shalat istikharah dan meminta pendapat para ahli yang berpengalaman.

مَا خَابَ مَنِ اسْتَخَارَ، وَلَا نَدِمَ مَنِ اسْتَشَارَ

“Tidak akan merugi orang yang beristikharah, dan tidak akan menyesal orang yang bermusyawarah.” (Lihat: Al-Mu’jam al-Ausath oleh Ath-Thabrani, no. 6627, meski sanadnya lemah, maknanya selaras dengan prinsip syariat).

Dalam memilih komunitas, tempat kerja, atau tempat tinggal, lingkungan yang diisi oleh orang-orang shalih adalah pilihan yang ideal. Sebab, karakter seseorang sangat dipengaruhi oleh kawannya:

الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

“Seseorang itu tergantung pada agama teman dekatnya. Maka hendaknya salah seorang dari kalian melihat siapa yang ia jadikan teman dekat.” (HR. Abu Dawud no. 4833 & Tirmidzi no. 2378, dihasankan oleh Al-Albani)

Adapun terhadap rezeki dan jalan hidup yang berada di luar kendali kita, maka sikap ideal adalah rida terhadap keputusan Allah. Di balik setiap garis takdir, selalu ada hikmah yang indah. Ingat selalu bahwa Allah adalah Al-‘Alim (Yang Maha Mengetahui), Al-Hakim (Yang Maha Bijaksana), dan Ar-Rahim (Yang Maha Penyayang bagi hamba-Nya yang beriman)

Maka sikap ideal bagi orang beriman dalam menjalani kehidupan adalah: Jika mendapat kenikmatan, ia bersyukur. Jika tertimpa musibah, ia bersabar. Rasulullah ﷺ bersabda:

عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ… إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya semua urusannya adalah baik… Jika ia mendapatkan kesenangan, ia bersyukur, maka itu baik baginya. Jika ia tertimpa kesulitan, ia bersabar, maka itu pun baik baginya.”. HR. Muslim no. 2999)

Rasulullah ﷺ menjelaskan bahwa orang beriman akan selalu memiliki urusan yang baik, yang ideal, selama ia menghadapinya dengan sabar dan syukur.

Sabar dan syukur adalah dua sayap bagi seorang mukmin. Dengan keduanya, ia dapat terbang melintasi dinamika kehidupan dengan ideal, hingga kelak ia mendarat dengan selamat di surga Allah dan bertemu dengan Rabb-nya.

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ
ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً
فَادْخُلِي فِي عِبَادِي
وَادْخُلِي جَنَّتِي

“Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang rida dan diridai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al-Fajr: 27-30)