Jerat Bunga (Riba) yang Menguji Negeri: Mengapa Indonesia Harus Waspada

Dua per tiga penduduk Indonesia terjerat utang. Praktik riba, yang menyelimuti hampir setiap sendi perekonomian, bukan hanya isu agama, tapi krisis sosial-ekonomi yang mendalam. Benarkah sistem ini menjadi mesin pencetak kemiskinan dan ketidakadilan?

Al-Qur’an dan Sunnah dengan tegas mengharamkan riba. Ancaman bagi pelakunya sangat berat: kelak ia akan dibangkitkan dari kubur dalam keadaan seperti orang yang kerasukan, bahkan disifati sebagai orang yang kufur, tidak beriman, diancam kekal di neraka, dan diumumkan peperangan oleh Allah san Rasul-Nya. Besarnya dosa riba digambarkan seperti dosa berzina dengan ibu kandung sendiri. Na‘udzubillah min dzalik. (Lihat QS. Al-Baqarah: 275-278, HR. Hakim, no. 2259)

Namun praktik yang dikenal sebagai Riba (atau bunga/interest dalam istilah modern) telah lama menjadi jantung dari sistem keuangan di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Di balik janji pertumbuhan dan kemudahan finansial, tersembunyi dampak buruk yang merongrong moral, sosial, dan stabilitas ekonomi bangsa.

Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata:

‎وَالْحِكْمَةُ فِي تَحْرِيمِ الرِّبَا: أَنَّ فِيهِ أَكْلًا لِأَمْوَالِ النَّاسِ بِغَيْرِ حَقٍّ؛ لِأَنَّ الْمُرَابِيَ يَأْخُذُ مِنْهُمُ الرِّبَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَسْتَفِيدُوا شَيْئًا فِي مُقَابَلَةٍ، وَأَنَّ فِيهِ إِضْرَارًا بِالْفُقَرَاءِ وَالْمُحْتَاجِينَ بِمُضَاعَفَةِ الدُّيُونِ عَلَيْهِمْ عِنْدَ عَجْزِهِمْ عَنْ تَسْدِيدِهَا، وَأَنَّ فِيهِ قَطْعًا لِلْمَعْرُوفِ بَيْنَ النَّاسِ، وَسَدًّا لِبَابِ الْقَرْضِ الْحَسَنِ، وَفَتْحًا لِبَابِ الْقَرْضِ بِالْفَائِدَةِ الَّتِي تُثْقِلُ كَاهِلَ الْفَقِيرِ، وَفِيهِ تَعْطِيلٌ لِلْمَكَاسِبِ وَالتِّجَارَاتِ وَالْحِرَفِ وَالصَّنَاعَاتِ الَّتِي لَا تَنْتَظِمُ مَصَالِحُ الْعَالَمِ إِلَّا بِهَا.

“Hikmah diharamkannya riba adalah karena di dalamnya terdapat praktik memakan harta orang lain dengan cara yang tidak benar. Sebab, orang yang memungut riba mengambil tambahan dari orang lain tanpa memberi manfaat apapun sebagai gantinya.

Selain itu, riba juga menyebabkan bahaya besar bagi orang miskin dan yang membutuhkan, karena ketika mereka tidak mampu melunasi hutang, maka hutang itu justru dilipatgandakan dan membebani mereka semakin berat.

Riba juga memutus budaya tolong-menolong di antara manusia, menutup pintu pinjaman yang baik (qardh hasan), dan malah membuka pintu pinjaman berbunga yang menekan kehidupan orang kecil.

Lebih jauh, riba juga membuat banyak orang meninggalkan usaha produktif, perdagangan, keterampilan, dan industri—padahal semua itu sangat dibutuhkan demi berjalannya kehidupan masyarakat.” (Lihat: Al-Mulakhkhas al-Fiqhiy 2/36)

Data Bicara: Indonesia dalam Lilitan Utang

Kita dapat melihat besarnya ketergantungan masyarakat dan korporasi pada utang berbunga dari beberapa sisi:

1. Tingginya Rasio Utang Publik dan Korporasi

Total utang luar negeri Indonesia (publik dan swasta) telah mencapai angka ratusan miliar dolar, yang berarti sebagian besar keuntungan dan kekayaan negara berpotensi mengalir keluar sebagai pembayaran pokok dan bunga (riba).

2. Melonjaknya Pinjaman Konsumtif

Sektor perbankan di Indonesia mencatat pertumbuhan kredit, baik untuk pribadi maupun perusahaan. Sebagian besar masyarakat, dari kelas menengah hingga bawah, bergantung pada Kredit Pemilikan Rumah (KPR), Kredit Kendaraan Bermotor (KKB), hingga Pinjaman Online (Pinjol) Ilegal yang marak.

3. Data Keterlibatan Pinjol.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat total penyaluran Pinjol yang legal saja sudah mencapai puluhan triliun rupiah, dengan bunga harian atau bulanan yang mencekik, dan telah menimbulkan banyak korban kejahatan dan bunuh diri.

4. Perusahaan Kecil Terhimpit

Banyak perusahaan, terutama Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), yang mengandalkan pinjaman bank untuk modal kerja. Ketika suku bunga tinggi atau terjadi gagal bayar, beban bunga tersebut seringkali menjadi biaya produksi tambahan yang memaksa mereka menaikkan harga jual, berujung pada menurunnya daya beli masyarakat, bahkan kebangkrutan.
Inilah gambaran nyata bagaimana praktik berlandaskan bunga telah menjangkau setiap rumah tangga dan pelaku usaha di Indonesia.

Mengapa Riba dilarang secara fundamental?

1. Menghambat Investasi Produktif dan Menciptakan Kemalasan

Pelaku riba akan berpuas diri dengan keuntungan pasti dari bunga tanpa perlu bekerja keras, berinovasi, atau mengambil risiko nyata dalam berbisnis.

Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata dalam Al-Mulakhkhas al-Fiqhiy 2/36:

‎لِأَنَّ الْمُرَابِيَ إِذَا تَحَصَّلَ عَلَى زِيَادَةِ مَالِهِ بِوَاسِطَةِ الرِّبَا بِدُونِ تَعَبٍ؛ فَلَنْ يَلْتَمِسَ طُرُقًا أُخْرَى لِلْكَسْبِ الشَّاقِّ، وَاللَّهُ تَعَالَى جَعَلَ طَرِيقَ تَعَامُلِ النَّاسِ فِي مَعَايِشِهِمْ قَائِمًا عَلَى أَنْ تَكُونَ اسْتِفَادَةُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْآخَرِ فِي مُقَابَلِ عَمَلٍ يَقُومُ بِهِ نَحْوَهُ أَوْ عَيْنٍ يَدْفَعُهَا إِلَيْهِ، وَالرِّبَا خَالٍ عَنْ ذَلِكَ؛ لِأَنَّهُ عِبَارَةٌ عَنْ إِعْطَاءِ الْمَالِ مُضَاعَفًا مِنْ طَرَفٍ لِآخَرَ بِدُونِ مُقَابَلَةٍ مِنْ عَيْنٍ وَلَا عَمَلٍ.

“Sebab, orang yang memungut riba—ketika bisa menambah hartanya hanya melalui bunga tanpa bersusah payah—tidak lagi terdorong untuk mencari jalan lain dalam usaha yang berat. Padahal Allah Ta‘ala telah menetapkan bahwa hubungan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dibangun atas dasar setiap orang mendapatkan manfaat dari orang lain dengan adanya imbalan nyata: bisa berupa pekerjaan yang dilakukan atau barang yang diserahkan.” (Lihat: Al-Mulakhkhas al-Fiqhiy 2/36)

Dalam sistem ekonomi berbasis riba ini berarti:
– Modal Mandek: Uang akan cenderung menumpuk pada pemilik modal yang tidak tertarik memutar dana di sektor riil (perdagangan, industri, jasa) karena imbal hasil bunga bank yang pasti dan tanpa risiko.
– Melumpuhkan Sektor Riil: Padahal, sektor riil seperti industri dan pertanian adalah kunci untuk menciptakan lapangan kerja dan menjamin ketersediaan barang. Tanpa modal yang mengalir ke sana, kemaslahatan dunia akan terganggu.

2. Melipatgandakan Penderitaan Kaum Papa

Inti dari riba adalah mengambil keuntungan dari kebutuhan orang lain. Bagi si peminjam yang terdesak (misalnya karena musibah, biaya sekolah, atau pengobatan), tambahan yang diambil oleh pemberi pinjaman adalah beban murni tanpa manfaat sepadan.
Ketika seseorang gagal membayar pinjaman, bunga akan terus diakumulasikan, melipatgandakan jumlah utang (bunga berbunga). Ini adalah praktik penindasan yang dikemas dengan kata “legal”.

3. Memutus Jalinan Sosial dan Moral

Riba mematikan semangat tolong-menolong dan pinjaman yang didasari berbuat baik dengan sesama (qardh hasan). Karena pada riba, ketika seseorang dapat mengambil keuntungan dengan mudah dari kebutuhan orang lain, mengapa harus repot memberikan pinjaman tanpa imbalan? Hal ini menciptakan masyarakat yang individualis, serakah, dan menghilangkan rasa simpati.
Kondisi ini sangat terasa dalam praktik pinjol ilegal, di mana penagihan utang seringkali dilakukan dengan intimidasi, fitnah, dan pelecehan, merusak tatanan sosial dan memicu permusuhan antar individu.

Solusi Jangka Panjang: Menguatkan Ekonomi Syariah

Indonesia, dengan mayoritas penduduk Muslim, memiliki potensi besar untuk menjadi garda terdepan dalam melawan praktik riba melalui penguatan Ekonomi Syariah. Sistem ini menawarkan solusi konkret yang didasarkan pada prinsip keadilan dan berbagi risiko:

1. Prinsip Bagi Hasil (Mudharabah dan Musyarakah): Alih-alih mendapatkan keuntungan pasti melalui bunga, lembaga keuangan dan peminjam harus berbagi risiko dan keuntungan. Jika usaha rugi, semua pihak menanggung, yang mendorong kehati-hatian dan transparansi.

2. Pinjaman (Qardh Hasan): Mendorong kembalinya budaya pinjaman tanpa bunga untuk kebutuhan mendesak, menumbuhkan solidaritas sosial.

3. Investasi pada Sektor Riil: Keuangan Syariah secara prinsipil mengarahkan dana ke sektor-sektor yang menciptakan nilai tambah nyata (perdagangan, manufaktur, pertanian), bukan hanya spekulasi finansial.
Penguatan sistem ini, didukung dengan edukasi massif, adalah kunci untuk melepaskan negeri ini dari jerat bunga yang telah menjadi mesin pencetak ketidakadilan, membangkitkan kembali etos kerja yang produktif, dan mengembalikan ruh keadilan sosial dalam perekonomian.
Sudah saatnya kita menyadari, bahwa isu riba bukanlah sekadar urusan fiqih, melainkan tantangan fundamental terhadap keadilan, kesejahteraan, dan masa depan bangsa. Wallahu a’lam.

(Dikembangkan dari tulisan Syaikh Shalih Al-Fauzan dalam Al-Mulakhkhas al-Fiqhiy 2/33-36 dengan diperkuat data-data seputar ekonomi nasional)

Bogor, 10 Rabi’ul Akhir 1447 H