PERTANYAAN :
Saya mendengar dari sebagian orang bahwa seseorang dapat mengasuransikan harta miliknya dan bilamana terjadi petaka terhadap harta yang telah diasuransikan tersebut, perusahaan bersangkutan akan membayar ganti rugi atas harta-harta yang mengalami kerusakan tersebut. Saya berharap adanya penjelasan dari Syaikh mengenai hukum asuransi ini, apakah ada di antara asuransi-asuransi tersebut yang dibolehkan dan yang tidak?
JAWABAN :
Pengertian asuransi adalah seseorang membayar sesuatu yang sudah diketahui kepada perusahaan, per bulan atau per tahun agar mendapat jaminan dari perusahaan tersebut atas petaka/kejadian yang dialami oleh sesuatu yang diasuransikan tersebut. Sebagaimana sudah diketahui, bahwa si pembayar asuransi ini adalah orang yang merugi (Gharim) dalam setiap kondisinya.
Sedangkan perusahaan tersebut, bisa mendapatkan keuntungan (Ghanim) dan bisa pula merugi (Gharim). Dalam artian, bahwa bila kejadian yang dialami besar (parah) dan biayanya lebih banyak dari apa yang telah dibayar oleh si pengasuransi, maka perusahaanlah yang menjadi pihak yang merugi. Dan bila kejadiannya kecil (ringan) dan biayanya lebih kecil dibanding apa yang telah dibayar oleh si pengasuransi atau memang asalnya tidak pernah terjadi kejadian apapun, maka perusahaanlah yang mendapatkan keuntungan dan si pengasuransi menjadi pihak yang merugi.
Transaksi-transaksi seperti jenis inilah -yakni akad yang menjadikan seseorang berada dalam lingkaran antara al-Ghunm (meraih keuntungan) dan al-Ghurm (mendapat kerugian)- yang dianggap sebagai maysir yang diharamkan oleh Allah dan digandengkan dengan penyebutan khamr dan penyembahan berhala.
Maka, berdasarkan hal ini, jenis asuransi semacam ini adalah diharamkan dan saya tidak pernah tahu kalau ada asuransi yang didirikan atas dasar Gharar (manipulasi) hukumnya diperbolehkan, bahkan semuanya itu haram berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang بَيْعُ الْغَرَرُ (jual beli yang tidak jelas [manipulatif]). (HR. Muslim, Kitabul Buyu’, no.1513)
_______
? Fatwa Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah yang beliau tanda tangani.
? Diambil dari Al Fatawa asy syar’iyyah fi al masa’il al-ashriyyah min fatawa ulama al-balad al-haram, (fatwa-fatwa terkini, jilid 2 halaman 38)