PERTANYAAN :
Apa hukum menanam saham di bank-bank dan selainnya?
JAWABAN :
1. Jika menanam sahamnya di pos-pos riba seperti bank-bank, maka tidak halal hukumnya bagi siapapun untuk menanamkan sahamnya di sana sebab semua itu didirikan dan berjalan di atas riba. Kalaupun ada transaksi-transaksi yang halal di dalamnya maka hal itu terbatas sekali bila dibandingkan dengan riba dilakukan oleh para pegawai bank-bank tersebut.
2. Sedangkan bila menanam saham pada transaksi yang tujuannya adalah berbisnis industri, pertanian atau sepertinya, maka hukum asalnya adalah halal. Akan tetapi di sana juga ada semacam syubhat sebab nilai tambah (surplus) beberapa dirham yang ada pada mereka, mereka simpan di bank-bank sehingga mereka mengambil ribanya, barangkali mereka mengambil beberapa dirham dari bank dan pihak bank memberikan riba kepada mereka. Maka dari aspek ini kami katakan, “Sesungguhnya sikap yang wara’ (se lamat) adalah seseorang tidak menanamkan saham di perusahaan-perusahaan seperti ini.” Sesungguhnya Allah akan menganugerahinya rizki, bila telah diketahui niatnya tidak melakukan hal itu (menanam saham) semata karena sikap wara’ dan rasa takut terjerumus ke dalam hal yang syubhat (samar).
Dalam hal ini, Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الَحرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ
“Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu juga jelas sedangkan di antara keduanya terdapat hal-hal yang syubhat (samar-samar) yang tidak banyak diketahui oleh manusia, barangsiapa yang menjaga dirinya dari hal-hal yang syubhat (samar-samar) tersebut, berarti dia telah membebaskan tanggungan dirinya untuk (kepentingan) agama dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang terjerumus ke dalam hal-hal yang syubhat (samar-samar), berarti dia telah terjerumus ke dalam hal yang haram, seperti halnya seorang pengembala yang mengembalakan (ternaknya) di sekitar lahan yang terlarang yang memungkinkan ternak tersebut masuk ke dalamnya” (HR. Bukhari, Kitab al-Iman, no. 52; Muslim, Kitab al-Musaqah , no. 1599)
Akan tetapi bagaimana solusinya bilamana seseorang sudah terlanjur menanamkan saham atau semula ingin menanam saham namun tidak menempuh jalan yang lebih baik, yaitu jalan wara’?
Di sini kami mengatakan, “Solusinya dalam kondisi seperti ini adalah bila hasil keuntungannya diserahkan dan di dalamnya terdapat slip yang menjelaskan sumber-sumber didapatnya keuntungan tersebut, maka:
a) Yang sumbernya halal, maka dianggap halal
b) Yang sumbernya haram seperti bila mereka
mengatakan secara terang-terangan bahwa keuntungan ini adalah hasil dari bunga-bunga bank, maka wajib bagi seseorang untuk melepaskan diri (menghindar) darinya dengan cara mengalokasikanya kepada kepentingan-kepentingan umum maupun khusus, bukan sebagai bentuk taqarrub (ibadah) kepada Allah tetapi sebagai bentuk menyelamatkan diri dari dosanya, sebab andai dia berniat taqarrub kepada Allah dengan hal itu, maka hal itu tidak akan menjadi sarana yang dapat mendekatkan dirinya kepadaNya. Karena, Allah adalah suci, tidak menerima kecuali yang suci. Juga, dia tidak bisa selamat (terhindar) dari dosanya, tetapi barangkali dia diganjar pahala atas ketulusan niat dan taubatnya.
c) Bila di dalam keuntungan-keuntungan tersebut tidak terdapat slip (daftar) yang menjelaskan mana yang dilarang dan mana yang dibolehkan, maka sikap yang lebih utama dan berhati-hati adalah mengeluarkan separuh dari keuntungan tersebut, sedangkan keuntungan yang separuhnya tetap halal baginya sebab bila tidak diketahui berapa ukuran (prosentase) harta yang mirip-mirip dengan yang lainnya tersebut, maka sikap yang berhati-hati adalah mengeluarkan separuhnya, sehingga tidak ada orang yang menzhalimi dan terzhalimi
_
? Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah
? Fatawa Mu’ashirah, Hal.55-57