Khutbah Jum’at: Dikhianati Diri Sendiri

Khutbah Pertama

‎ٱلْـحَمْدُ لِلَّهِ ٱلَّذِي جَعَلَ ٱلتَّقْوَى سَبَبًا لِزِيَادَةِ ٱلْخَيْرَاتِ، وَٱلِاسْتِغْفَارَ مِفْتَاحًا لِدَفْعِ ٱلْمُصِيبَاتِ وَٱلْمَكْرُوهَاتِ، وَخَتَمَ عَلَى ٱلْمَعَاصِي بِٱلذُّلِّ وَٱلْهَوَانِ، وَقَرَنَهَا بِٱلْمِحَنِ وَٱلْحِرْمَانِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ، رَبُّ ٱلْبَرَكَاتِ وَرَافِعُ ٱلرَّحَمَاتِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، دَاعِي ٱلنَّاسِ إِلَى سُبُلِ ٱلنَّجَاةِ، وَهَادِيهِمْ إِلَى سُبُلِ ٱلسَّعَادَةِ وَٱلْهِدَايَاتِ، صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ، وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ وَٱقْتَفَى آثَارَهُمْ إِلَى يَوْمِ لِقَائِهِ.
‎أَمَّا بَعْدُ،

Ma’asyirol Muslimin wa Zumrotal Mu’minin…

Dari mimbar yang mulia ini, khatib tak henti-hentinya mengingatkan diri pribadi dan jama’ah sekalian untuk bertakwa dan terus beristigfar memohon ampunan kepada Allah Ta’ala, karena Allah tidak akan mengadzab penduduk suatu negeri selama mereka beristigfar.

‎وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمۡ وَأَنتَ فِيهِمۡۚ وَمَا كَانَ ٱللَّهُ مُعَذِّبَهُمۡ وَهُمۡ يَسۡتَغۡفِرُونَ

“Allah tidak akan menghukum mereka, selama engkau (Muhammad) berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan menghukum mereka, sedang mereka (masih) memohon ampunan.” (QS. Al-Anfal: 33)

Sidang Jama’ah Jum’at yang dirahmati Allah…

Salah satu dampak buruk dari maksiat adalah: bahwa pelaku maksiat bisa terkhianati oleh dirinya sendiri, justru di saat ia paling membutuhkan dirinya sendiri.

Setiap orang sangat membutuhkan pengetahuan tentang apa yang membawa manfaat dan apa yang membahayakan, baik di dunia maupun di akhirat.
Orang paling berilmu adalah yang paling mengenali keduanya secara mendalam.
Dan orang yang paling kuat dan cerdas adalah yang mampu mengendalikan diri dan keinginannya, lalu mengarahkannya kepada kebaikan dan menjauhkannya dari keburukan.

Dalam hal inilah manusia berbeda-beda: dalam pengetahuan, cita-cita, dan derajat mereka.
Orang paling berilmu adalah yang mengenali sebab-sebab kebahagiaan dan kesengsaraan.
Orang paling mendapat petunjuk adalah yang memilih jalan kebahagiaan, bukan kesengsaraan.
Sedangkan orang paling bodoh adalah yang justru memilih jalan kesengsaraan padahal kebahagiaan terbuka di hadapannya.

Ikhwatii fiddiin…

Maksiat membuat seorang hamba dikhianati justru di saat ia paling butuh petunjuk, ketika harus memilih antara kebahagiaan yang tinggi dan abadi, atau kehinaan yang rendah dan sementara.
Dosa menutupi dirinya dari ilmu yang menyelamatkan dan menyibukkannya dengan hal remeh yang tak berguna, baik di dunia maupun akhirat.

Jika pelaku maksiat terjatuh dalam kesulitan dan ingin menyelamatkan diri, ia justru dikhianati oleh hati, jiwa, dan anggota tubuhnya.
Ia seperti orang yang punya pedang, tapi pedangnya berkarat dan menempel di sarungnya. Saat musuh datang menyerang, ia coba mencabut pedang itu, namun tak bisa, hingga akhirnya ia dikalahkan.

Begitulah hati yang rusak karena dosa. Ia menjadi lemah dan sakit. Dan ketika sangat dibutuhkan untuk melawan musuh, ia tak mampu berbuat apa-apa.
Padahal yang bisa melawan hawa nafsu dan setan adalah hati. Anggota tubuh hanyalah tentaranya. Jika sang raja telah lumpuh, bagaimana nasib pasukannya?

Begitu pula jiwa. Jiwa yang tenang (an-nafsul muthma’innah) akan melemah jika terus mengikuti syahwat dan maksiat. Sebaliknya, jiwa yang suka memerintahkan keburukan (an-nafsul ammarah) justru akan semakin kuat dan buas.
Semakin kuat yang satu, semakin lemah yang lainnya. Hingga kendali sepenuhnya jatuh ke tangan nafsu jahat. Bahkan bisa jadi, jiwa yang tenang itu mati, tanpa ada harapan untuk hidup kembali.
Inilah orang yang mati di dunia, mati di alam barzakh, dan tidak hidup di akhirat dengan kehidupan yang berarti, hanya hidup untuk merasakan azab.

Intinya Ma’asyiral Muslimin, ketika musibah datang dan ujian menimpa, pelaku maksiat malah dikhianati oleh hati, lisan, dan tubuhnya.
Hatinya tidak tergerak untuk bertawakal, kembali kepada Allah, tunduk dan ikhlas di hadapan-Nya.
Lisannya enggan berdzikir. Kalaupun berdzikir, hanya lisannya yang bergerak, sedangkan hatinya kosong dan lalai. Sehingga dzikir itu tak membawa pengaruh apapun.
Tubuhnya pun tidak taat dan tak mau dikendalikan. Padahal ia sedang sangat butuh perlindungan dan pertolongan dari semua itu.

Semua ini adalah buah pahit dari dosa dan maksiat.
Seperti seseorang yang punya pasukan untuk melindungi diri, tapi dibiarkan lemah dan terbengkalai.
Lalu saat musuh menyerang, ia ingin pasukannya membela dengan sepenuh tenaga, tapi apalah daya.

بَارَكَ اللَّهُ لِي وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيهِ مِنْ الْآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيمِ. أَقُولُ قَوْلِي هَذَا فَاسْتَغْفِرُوهُ إِنَّهُ هُوَ الْعَفُورُ الرَّحِيمُ

Khutbah Kedua

ٱلْـحَمْدُ لِلَّهِ ٱلَّذِي أَظْهَرَ آثَارَ طَاعَتِهِ بَرَكَةً وَنَمَاءً، وَأَنْزَلَ عُقُوبَاتِ مَعْصِيَتِهِ خِزْيًا وَبَلَاءً، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ ٱلْكَرِيمُ فِي عَطَائِهِ، ٱلشَّدِيدُ فِي ٱنْتِقَامِهِ وَقَضَائِهِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، صَفْوَتُهُ مِنْ خَلْقِهِ، وَمُخْتَارُهُ مِنْ أَوْلِيَائِهِ، صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ، وَمَنْ سَارَ عَلَى دَرْبِهِمْ وَٱقْتَفَى خُطَاهُمْ إِلَىٰ يَوْمِ لِقَائِهِ.
أَمَّا بَعْدُ،

Ma’asyirol Muslimin wa Zumrotal Mu’minin…

Bertakwalah kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Dan ketahuilah, bahwa tak ada pengkhianatan yang lebih menakutkan, lebih pedih, dan lebih dahsyat akibat maksiat selain pengkhianatan hati dan lisan saat sakaratul maut.

Betapa banyak yang sulit mengucapkan kalimat syahadat di ujung hidupnya.
Ada yang dituntun membaca “La ilaha illallah”, tapi justru berkata, “Aku tidak bisa mengucapkannya!”
Ada yang malah berseru, “Hore, aku menang!”
Ada yang mengigau dengan bernyanyi saat dituntun untuk bertahlil, hingga ajal menjemput.
Ada pula yang berkata, “Tak ada satu maksiat pun kecuali sudah aku lakukan!”
Atau, “Apa gunanya semua itu? Aku bahkan tak tahu apakah aku pernah shalat!”
Ada yang berkata, “Lidahku tertahan. Aku tak bisa mengucapkannya!”
Bahkan ada seorang pengemis mengulang-ulangi kata sebelum wafatnya, “Ku mohon, satu keping saja… satu keping saja…,” hingga ia meninggal.

Ada juga seorang pedagang yang terlalu cinta dunia, saat dituntun untuk bersyahadat, malah sibuk menyebut harga barang dan tawar-menawar, lalu wafat dalam keadaan itu.

Subhanallah! Betapa banyak ibrah dalam kejadian seperti ini. Dan yang tidak tampak dari sakaratul maut lebih dahsyat lagi.

Jika saat sehat dan kuat saja seseorang sudah dikuasai syaitan, hingga lisannya bungkam dari dzikir, tubuhnya lalai dari ketaatan, dan hatinya sibuk dalam maksiat, bagaimana saat sakaratul maut, ketika tubuhnya lemah, pikirannya kalut, dan syaitan mengerahkan seluruh daya untuk menggagalkannya di akhir hayat?

Itulah kesempatan terakhir syaitan, dan saat itu pula manusia dalam keadaan paling lemah.
Lalu siapa yang bisa selamat, jika tidak dilindungi oleh Allah?

Ikhwatal Iman…

Di saat itulah orang yang benar-benar beriman dan mengalahkan hawa nafsunya akan diberikan keteguhan untuk bersyahadat sebelum wafatnya. Allah Ta’ala berfirman:

يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ

“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh (kalimat tauhid) dalam kehidupan di dunia dan di akhirat. Dan Allah menyesatkan orang-orang zhalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Ibrahim: 27)

Lalu, bagaimana mungkin seseorang bisa berharap husnul khatimah, sementara Allah telah memalingkan hatinya dari mengingat-Nya, ia mengikuti hawa nafsunya, dan hidupnya larut dalam kelalaian?

Betapa jauh harapan keselamatan bagi orang yang hatinya jauh dari Allah, tenggelam dalam syahwat, lisannya kering dari dzikir, dan anggota tubuhnya lebih sering dipakai untuk maksiat daripada ketaatan.
Bagaimana bisa ia berharap akhir hidup yang indah?

Rasa takut akan su’ul khatimah telah membuat punggung orang-orang bertakwa membungkuk.
Mereka hidup dalam kekhawatiran, takut jika akhir hidup mereka tidak diridhai.
Sementara sebagian pelaku maksiat dan kezaliman hidup seolah telah memegang surat jaminan keselamatan, padahal mereka paling layak untuk takut dan cemas.

أَمْ لَكُمْ أَيْمَانٌ عَلَيْنَا بَالِغَةٌ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ إِنَّ لَكُمْ لَمَا تَحْكُمُونَ

“Atau apakah kamu mempunyai perjanjian yang kuat dari Kami yang berlaku sampai hari Kiamat bahwa kamu benar-benar akan mendapatkan apa yang kamu inginkan?” (QS. Al-Qalam: 39)

أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ، إِنَّ اللَّهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيهِ بِنَفْسِهِ، وَثَنَّى بِمَلَائِكَتِهِ الْمُسَبِّحَةِ بِقُدْسِهِ، وَأَيُّهُ بِكُمْ أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ مِنْ جِنِّهِ وَإِنْسِهِ، فَقَالَ عَزَّ وَجَلَّ: ﴿إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا﴾، اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُولِكَ مُحَمَّدٍ، وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنْ خُلَفَائِهِ الرَّاشِدِينَ، أَبِي بَكْرٍ، وَعُمَرَ، وَعُثْمَانَ، وَعَلِيٍّ، وَعَنْ سَائِرِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِينَ، وَعَنِ التَّابِعِينَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ، وَعَنَّا مَعَهُمْ بِمِنِّكَ وَكَرَمِكَ يَا أَكْرَمَ الْأَكْرَمِينَ.

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ، وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوفٌ رَحِيمٌ.

اللَّهُمَّ أَعِزَّ الْإِسْلَامِ وَالْمُسْلِمِينَ، وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِينَ، وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّينِ، وَاحْمِ حَوْزَةَ الْإِسْلَامِ، وَاجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آمِنًاً مُطْمَئِنًا وَسَائِرَ بِلَادِ الْمُسْلِمِينَ.

اللَّهُمَّ أَصْلِحْ أَحْوَالَ الْمُسْلِمِينَ فِي كُلِّ مَكَانٍ، وَاجْمَعْ كَلِمَتَهُمْ عَلَى الْحَقِّ يَا رَبَّ الْعَالَمِينَ.

اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مَفَاتِيحَ لِلْخَيْرِ مَغَالِيقَ لِلشَّرِّ، وَاجْعَلْنَا مُبَارَكِينَ أَيْنَمَا كُنَّا، وَأَصْلِحْ وُلَاةَ أُمُورِنَا وَوَفِّقْهُمْ لِمَا تُحِبُّ وَتَرْضَى، وَقَرِّبْ إِلَيْهِمْ الْبِطَانَةَ الصَّالِحَةَ، وَجَنِّبْهُمْ بِطَانَةَ السُّوءِ.

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.

عِبَادَ اللَّهِ، إِنَّ ٱلِلَّهَ يَأْۡمُرُ بِٱلِۡعَدْۡلِ وَٱلِۡإِحْۡسَٰنِ وَإِيتَآيِٕ ذِي ٱلِۡقُرْۡبَىٰ وَيَنْۡهَىَٰ عَنِ ٱلِۡفَحْۡشَآءِ وَٱلِۡمُنْكَرِ وَٱلِۡبَغٍّۡيِۚ يَعِظُكُمْۡ لَعَلَّكُمْۡ تَذَكَّرُونَ.

فَاذْكُرُوا اللَّهَ الْعَظِيمَ الْجَلِيلَ يُذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلِذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ، وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ. أَقِمِ الصَّلَاةَ..

(Terinspirasi dari nasehat yang disampaikan oleh Ibnul Qayyim dalam kitabnya Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 213-220)