14. Di antara buah iman: iman memutus berbagai keraguan yang menimpa banyak manusia dan merusak agama mereka
Di antara buah iman yang agung adalah bahwa iman mampu memutus dan melenyapkan berbagai keraguan yang sering menyelinap ke dalam hati banyak manusia, lalu merusak dan melemahkan agama mereka.
Allah Ta‘ala berfirman:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا
“Sesungguhnya orang-orang beriman hanyalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu.” (QS. Al-Hujurat: 15)
Maksudnya, iman yang benar yang ada dalam diri mereka menolak dan mengusir keraguan yang muncul, bahkan menghilangkannya sama sekali. Iman itu juga melawan berbagai syubhat dan bisikan yang dilemparkan oleh setan-setan dari kalangan manusia dan jin, serta oleh jiwa yang selalu mengajak kepada keburukan.
Penyakit-penyakit hati yang membinasakan ini tidak memiliki obat kecuali dengan mewujudkan iman yang hakiki.
Oleh karena itu, diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:
لَا يَزَالُ النَّاسُ يَتَسَاءَلُونَ حَتَّى يُقَالَ: هَذَا اللهُ خَلَقَ الْخَلْقَ، فَمَنْ خَلَقَ اللهَ؟ فَمَنْ وَجَدَ ذَلِكَ، فَلْيَقُلْ: آمَنْتُ بِاللهِ، وَلْيَنْتَهِ، وَلْيَتَعَوَّذْ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ
“Manusia akan terus bertanya-tanya hingga akhirnya ada yang berkata: ‘Ini Allah yang menciptakan seluruh makhluk, lalu siapa yang menciptakan Allah?’ Maka barang siapa mendapati bisikan seperti itu, hendaklah ia berkata: ‘Aku beriman kepada Allah’, lalu berhenti, dan hendaklah ia berlindung kepada Allah dari setan.” (HR. Bukhari, no. 3276 dan Muslim, no. 134)
Dalam hadits ini, Nabi ﷺ menjelaskan obat yang sangat manjur bagi penyakit yang sangat berbahaya tersebut, yaitu dengan tiga perkara:
1. Menghentikan dan berpaling dari bisikan-bisikan setan itu.
2. Memohon perlindungan kepada Allah dari kejahatan pihak yang melemparkan syubhat dan keraguan tersebut untuk menyesatkan hamba-hamba-Nya.
3. Berpegang teguh pada benteng iman yang benar, karena siapa yang berlindung dengannya, ia akan termasuk orang-orang yang aman.
Sebab kebatilan akan selalu terbongkar dari banyak sisi. Dan bukti paling jelas dari kebatilannya adalah bahwa ia berdiri berseberangan dengan kebenaran. Apa pun yang bertentangan dengan kebenaran, niscaya ia adalah kebatilan. Allah Ta‘ala berfirman:
فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلَّا الضَّلَالُ
“Maka tidak ada setelah kebenaran itu kecuali kesesatan.” (QS. Yunus: 32)
15. Di antara buah iman: iman menjadi tempat berlindung orang-orang beriman dalam seluruh keadaan hidup mereka
Di antara buah iman yang agung adalah bahwa iman menjadi tempat kembali dan perlindungan orang-orang beriman dalam seluruh keadaan yang menimpa mereka: saat senang dan sedih, takut dan aman, ketika taat maupun terjatuh dalam maksiat, serta berbagai kondisi lain yang pasti dialami oleh setiap manusia.
Saat memperoleh kenikmatan dan kegembiraan, mereka berlindung kepada iman. Dengan iman itu mereka memuji Allah, menyanjung-Nya, serta menggunakan nikmat-nikmat tersebut pada jalan yang dicintai oleh Sang Pemberi nikmat.
Saat tertimpa kesulitan dan kesedihan, mereka kembali kepada iman dari berbagai sisi. Mereka terhibur dengan iman dan manisnya, terhibur dengan pahala besar yang dijanjikan atas kesabaran, dan menghadapi kesedihan serta kegelisahan dengan ketenangan hati, kembali kepada kehidupan yang baik yang mampu melawan kesedihan dan duka.
Saat diliputi rasa takut, mereka berlindung kepada iman. Iman itu menenteramkan hati mereka, menambah keimanan, keteguhan, kekuatan, dan keberanian, hingga rasa takut yang semula menguasai mereka pun sirna. Sebagaimana firman Allah Ta‘ala tentang manusia-manusia pilihan:
الَّذِينَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ * فَانْقَلَبُوا بِنِعْمَةٍ مِنَ اللَّهِ وَفَضْلٍ
Yaitu orang-orang yang ketika ada orang berkata kepada mereka: “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kalian, maka takutlah kepada mereka,” justru hal itu menambah keimanan mereka dan mereka berkata: “Cukuplah Allah bagi kami dan Dia sebaik-baik Pelindung.” Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia dari Allah) (QS. Ali ‘Imran: 173–174)
Rasa takut benar-benar lenyap dari hati orang-orang mulia ini, digantikan oleh kekuatan iman dan manisnya, kekuatan tawakal kepada Allah, serta keyakinan penuh terhadap janji-Nya.
Saat berada dalam keadaan aman, mereka pun berlindung kepada iman. Keamanan itu tidak membuat mereka sombong atau angkuh, justru mereka bersikap tawadhu‘, menyadari bahwa keamanan tersebut murni dari Allah, dari karunia dan kemudahan-Nya. Mereka pun bersyukur kepada Allah yang menganugerahkan keamanan beserta sebab-sebabnya. Mereka juga memahami bahwa jika mereka memperoleh kemenangan atas musuh dan kemuliaan, semua itu terjadi dengan pertolongan, kekuatan, dan karunia Allah, bukan karena kekuatan mereka sendiri.
Saat diberi taufik untuk melakukan ketaatan dan amal saleh, mereka kembali kepada iman dengan mengakui bahwa itu adalah nikmat Allah atas mereka, bahkan nikmat tersebut lebih besar daripada nikmat kesehatan dan rezeki. Mereka pun berusaha menyempurnakan amal-amal tersebut, melakukan sebab-sebab agar diterima, dan menghindari hal-hal yang dapat menolaknya atau menguranginya. Mereka memohon kepada Allah yang telah menganugerahkan taufik untuk beramal agar menyempurnakan nikmat-Nya dengan menerima amal tersebut, dan kepada Allah yang telah memberi dasar amal itu agar menyempurnakan kekurangan yang masih ada.
Saat terjatuh dalam sebagian maksiat, mereka segera berlindung kepada iman dengan bergegas bertaubat, serta mengerjakan amal-amal kebaikan semampu mereka untuk menutupi dan memperbaiki kekurangannya.
Allah Ta‘ala berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوا فَإِذَا هُمْ مُبْصِرُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa, apabila mereka ditimpa bisikan dari setan, mereka segera ingat kepada Allah, maka seketika itu mereka menjadi sadar.” (QS. Al-A‘rāf: 201)
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَثَلُ الْمُؤْمِنِ وَمَثَلِ الْإِيمَانِ كَالْفَرَسِ الْمَرْبُوطِ فِي آخِيَتِهِ، يَجُولُ مَا يَجُولُ، ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى آخِيَتِهِ
“Perumpamaan seorang mukmin dan iman itu seperti kuda yang diikat pada tambatannya; ia bisa berputar sejauh yang ia bisa, namun akhirnya kembali lagi ke tambatannya.” (HR. Ahmad, no. 11311)
Demikian pula seorang mukmin: ia bisa saja terjatuh dalam kelalaian dan berani melakukan sebagian dosa, namun ia segera kembali kepada iman yang menjadi pondasi seluruh urusannya.
Maka dalam seluruh perubahan keadaan dan aktivitas hidup mereka, tempat berlindung orang-orang beriman adalah iman, dan tempat kembali mereka adalah merealisasikan iman, serta menolak segala hal yang bertentangan dan merusaknya.
Semua itu adalah karunia dan anugerah Allah atas mereka.
16. Di antara buah iman: iman yang benar mencegah seorang hamba dari terjerumus ke dalam dosa-dosa besar yang membinasakan
Di antara buah iman yang agung adalah bahwa iman yang benar dan sahih mampu mencegah seorang hamba dari terjatuh ke dalam perbuatan-perbuatan keji dan dosa-dosa besar yang membinasakan.
Sebagaimana telah diriwayatkan dalam hadits shahih, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda:
لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَنْتَهِبُ نُهْبَةً ذَاتَ شَرَفٍ يَرْفَعُ النَّاسُ إِلَيْهِ فِيهَا أَبْصَارَهُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ
“Tidaklah seorang pezina berzina ketika ia berzina dalam keadaan beriman; tidak pula seorang pencuri mencuri ketika ia mencuri dalam keadaan beriman; dan tidak pula seorang peminum khamar meminumnya ketika ia meminum dalam keadaan beriman.” (HR. Bukhari, no. 2475 dan Muslim, no. 57)
Maka siapa pun yang terjatuh ke dalam perbuatan-perbuatan tersebut, hal itu terjadi karena lemahnya iman, padamnya cahayanya, dan hilangnya rasa malu kepada Allah yang melihatnya justru saat Allah melarangnya. Ini adalah perkara yang nyata dan dapat disaksikan dalam kehidupan.
Adapun iman yang jujur dan benar, ia senantiasa disertai dengan rasa malu kepada Allah, cinta kepada-Nya, harapan yang kuat terhadap pahala-Nya, rasa takut terhadap azab-Nya, serta cahaya iman yang menyingkirkan kegelapan.
Semua perkara ini—yang merupakan penyempurna iman—tidak diragukan lagi mendorong pemiliknya kepada setiap kebaikan dan mencegahnya dari setiap keburukan dan kekejian.
Karena itu, dijelaskan bahwa apabila iman yang benar hadir dan menyertai seorang hamba saat muncul sebab-sebab yang mengajak kepada perbuatan keji, maka cahaya iman itulah yang akan menghalanginya dari terjatuh ke dalamnya.
Sungguh, cahaya yang menyertai iman yang tulus, manisnya iman, serta rasa malu kepada Allah—yang tanpa ragu termasuk cabang iman yang paling agung—menjadi benteng kokoh yang mencegah seorang hamba dari melakukan perbuatan-perbuatan keji tersebut.
17. Di antara buah iman: iman menjadikan seorang mukmin sebagai sumber kebaikan, bagi dirinya dan bagi orang lain
Di antara buah iman yang agung adalah sebagaimana yang telah diriwayatkan dari Nabi ﷺ dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Musa al-Asy‘ari radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau bersabda:
مَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ، كَمَثَلِ الْأُتْرُجَّةِ، طَعْمُهَا طَيِّبٌ، وَرِيحُهَا طَيِّبٌ. وَمَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي لَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ، كَمَثَلِ التَّمْرَةِ، طَعْمُهَا طَيِّبٌ، وَلَا رِيحَ لَهَا
“Perumpamaan seorang mukmin yang membaca Al-Qur’an adalah seperti buah utrujjah: rasanya enak dan baunya harum. Sedangkan perumpamaan seorang mukmin yang tidak membaca Al-Qur’an adalah seperti buah kurma: rasanya manis, namun tidak memiliki aroma.” (HR. Bukhari, no. 5020 dan Muslim, no. 797)
Dua golongan ini adalah sebaik-baik makhluk, karena manusia pada hakikatnya terbagi menjadi empat golongan:
Golongan pertama
Baik pada dirinya dan kebaikannya menular kepada orang lain.
Inilah golongan terbaik. Dialah mukmin yang membaca Al-Qur’an, mempelajari ilmu-ilmu agama, sehingga ia bermanfaat bagi dirinya sekaligus memberi manfaat kepada orang lain. Ia menjadi pribadi yang penuh berkah di mana pun berada.
Sebagaimana firman Allah Ta‘ala tentang Nabi Isa ‘alaihissalam:
وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنْتُ
“Dan Dia menjadikanku seorang yang diberkahi di mana pun aku berada.” (QS. Maryam: 31)
Golongan kedua
Baik pada dirinya, namun kebaikannya terbatas pada dirinya sendiri.
Ia adalah seorang mukmin yang memiliki kebaikan dan iman, namun tidak memiliki ilmu atau kemampuan yang manfaatnya meluas kepada orang lain.
Dua golongan inilah sebaik-baik makhluk, dan seluruh kebaikan yang ada pada mereka kembali kepada iman—baik iman yang manfaatnya terbatas maupun iman yang manfaatnya meluas kepada orang lain, sesuai dengan keadaan masing-masing mukmin.
Golongan ketiga
Tidak memiliki kebaikan, namun keburukannya tidak meluas kepada orang lain.
Ia merugikan dirinya sendiri, tetapi tidak banyak membahayakan orang lain.
Golongan keempat
Buruk bagi dirinya dan buruk pula bagi orang lain.
Inilah golongan terburuk. Allah Ta‘ala berfirman:
الَّذِينَ كَفَرُوا وَصَدُّوا عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ زِدْنَاهُمْ عَذَابًا فَوْقَ الْعَذَابِ بِمَا كَانُوا يُفْسِدُونَ
“Orang-orang yang kafir dan menghalangi manusia dari jalan Allah, Kami tambahkan bagi mereka azab di atas azab, disebabkan kerusakan yang mereka perbuat.” (QS. An-Nahl: 88)
Maka seluruh kebaikan kembali kepada iman dan cabang-cabangnya, sedangkan seluruh keburukan kembali kepada hilangnya iman dan sifat-sifat yang bertentangan dengannya. Dan Allah-lah yang memberi taufik.
Makna ini juga sejalan dengan sabda Nabi ﷺ:
الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ، وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ
“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah, dan pada masing-masing terdapat kebaikan.” (HR. Muslim, no. 2664)
Rasulullah ﷺ membagi kaum mukminin menjadi dua:
* Mukmin yang kuat dalam iman, amal, dan manfaat bagi orang lain.
* Mukmin yang lemah dalam hal-hal tersebut.
Namun demikian, keduanya tetap memiliki kebaikan, karena iman dan seluruh dampaknya adalah kebaikan, meskipun tingkatannya berbeda-beda di antara kaum mukminin.
Demikian pula sabda beliau ﷺ:
الْمُؤْمِنُ الَّذِي يُخَالِطُ النَّاسَ، وَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ، خَيْرٌ مِنَ الْمُؤْمِنِ الَّذِي لَا يُخَالِطُ النَّاسَ، وَلَا يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ
“Seorang mukmin yang bergaul dengan manusia dan bersabar atas gangguan mereka lebih baik daripada mukmin yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak bersabar atas gangguan mereka.” (HR. Tirmidzi, no. 2507, Ibnu Majah, no. 4032)
Makna yang dipahami dari nash-nash shahih dan tegas ini adalah bahwa orang yang tidak memiliki iman, pada hakikatnya tidak memiliki kebaikan.
Jika iman tidak ada, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan:
* Seluruh keadaannya adalah keburukan dan bahaya, baik bagi dirinya maupun bagi masyarakat.
* Atau ada sedikit kebaikan padanya, namun kebaikan itu tenggelam dan kalah oleh keburukan, sehingga keburukannya lebih dominan.
Apabila kebaikan telah tertutupi dan lenyap oleh kerusakan, maka ia pun berubah menjadi keburukan. Karena kebaikan yang sedikit itu akan tertutup oleh keburukan yang sebanding, lalu tersisa keburukan murni yang terus menampakkan dampaknya.
Siapa yang merenungi realitas manusia, niscaya ia akan mendapati bahwa keadaan mereka benar-benar sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Nabi ﷺ.
(Disarikan dari risalah Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di yang berjudul at-Tawdhih wal-Bayan li Syajarotil Iman, hlm. 96-107)