8. Di antara buah iman adalah dicintainya seorang hamba oleh Allah dan ditanamkannya kecintaan kepadanya di hati orang-orang beriman.
Iman yang disertai dengan amal shalih—sebagai konsekuensi dan bukti kejujuran iman—akan mengantarkan seorang hamba kepada kedudukan yang mulia di sisi Allah dan di tengah kaum mukminin. Karena keimanannya, Allah mencintainya; dan karena kecintaan Allah kepadanya, Allah pun menanamkan rasa cinta dan penerimaan terhadapnya di dalam hati orang-orang beriman.
Allah Ta‘ala berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَيَجْعَلُ لَهُمُ الرَّحْمَٰنُ وُدًّا
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pengasih akan menanamkan bagi mereka rasa cinta.”
(QS. Maryam: 96)
Apabila seorang hamba telah dicintai oleh Allah dan dicintai pula oleh hamba-hamba-Nya yang beriman, maka ia akan meraih kebahagiaan, keberuntungan, dan banyak kebaikan. Ia dikenang dengan sebutan yang baik, didoakan ketika hidup maupun setelah wafat, diteladani amal dan akhlaknya, serta diberi pengaruh yang baik dalam agama.
Dan termasuk buah iman yang paling agung adalah ketika Allah mengangkat seorang mukmin menjadi panutan dan pemimpin dalam agama.
Orang-orang beriman yang menyempurnakan iman mereka dengan ilmu dan amal, Allah karuniakan kepada mereka lisan shidq—nama baik yang jujur dan harum—serta menjadikan mereka imam-imam yang memberi petunjuk dengan perintah-Nya.
Allah Ta‘ala berfirman:
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ
“Dan Kami jadikan di antara mereka para pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami, ketika mereka bersabar dan mereka meyakini ayat-ayat Kami.”
(QS. As-Sajdah: 24)
Ayat ini menunjukkan bahwa kepemimpinan dalam agama tidak diraih dengan kedudukan dunia, popularitas, atau kefasihan lisan semata, tetapi dengan dua pilar utama iman: kesabaran dan keyakinan yang kokoh. Dengan kesabaran dalam ketaatan dan keyakinan yang sempurna terhadap ayat-ayat Allah, seorang hamba mencapai kesempurnaan iman dan pantas diangkat sebagai penunjuk jalan kebenaran bagi manusia.
9. Di antara buah iman adalah diangkatnya derajat seorang hamba di dunia dan di akhirat.
Iman yang benar, terlebih lagi ketika disertai dengan ilmu yang bermanfaat, akan mengangkat kedudukan seorang hamba di sisi Allah dan di tengah manusia. Orang-orang yang beriman dan berilmu memiliki kemuliaan dan derajat yang tinggi, baik di dunia maupun di negeri akhirat.
Allah Ta‘ala berfirman:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)
Ketinggian derajat ini mencakup kemuliaan di dunia berupa keutamaan, penghormatan, dan pengaruh yang baik, serta kemuliaan di akhirat berupa tingginya kedudukan dan besarnya pahala di sisi Allah.
Sesungguhnya mereka meraih derajat yang luhur ini bukan karena nasab, harta, atau kedudukan duniawi, melainkan karena iman yang benar, ilmu yang bermanfaat, dan keyakinan yang kokoh. Ilmu dan keyakinan merupakan bagian pokok dari iman; dengannya iman menjadi kuat dan sempurna, sehingga Allah pun mengangkat pelakunya pada derajat yang tinggi di dunia dan akhirat.
10. Di antara buah iman adalah diperolehnya kabar gembira dari Allah serta keamanan yang sempurna dari segala sisi.
Salah satu buah keimanan yang paling agung adalah bahwa Allah memberikan kepada orang-orang beriman kabar gembira yang menyeluruh serta rasa aman yang sempurna, baik di dunia maupun di akhirat. Kabar gembira ini mencakup segala kebaikan yang disegerakan dan yang ditunda, sementara rasa aman ini meliputi keselamatan dari keburukan dunia dan siksa akhirat.
Allah Ta‘ala berfirman:
وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman.”
(QS. Al-Baqarah: 223)
Ayat ini disampaikan secara mutlak, agar mencakup seluruh bentuk kebaikan, baik yang segera maupun yang akan datang. Dalam ayat lain, Allah menyebutkan kabar gembira secara terperinci, seperti firman-Nya:
وَبَشِّرِ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ
“Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bahwa bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.” (QS. Al-Baqarah: 25)
Maka orang-orang beriman mendapatkan kabar gembira yang mutlak dan kabar gembira yang terperinci, sesuai dengan kesempurnaan iman dan amal mereka.
11. Di antara buah keimanan adalah diperolehnya al-falah
Yaitu tercapainya tujuan paling agung. Al-falah bermakna tercapainya seluruh yang diinginkan dan keselamatan dari segala yang ditakutkan, serta diperolehnya al-huda, yaitu petunjuk, yang merupakan sarana paling mulia.
Sebagaimana Allah Ta‘ala berfirman—setelah menyebutkan sifat orang-orang beriman: beriman kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad ﷺ dan apa yang diturunkan sebelumnya, beriman kepada perkara gaib, menegakkan shalat, dan menunaikan zakat, yang semuanya termasuk pengaruh terbesar dari iman—Allah berfirman:
أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Mereka itulah yang berada di atas petunjuk dari Rabb mereka, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Baqarah: 5)
Inilah petunjuk yang sempurna dan keberuntungan yang paripurna.
Tidak ada jalan menuju petunjuk dan keberuntungan—yang tanpa keduanya tidak ada kebaikan dan kebahagiaan—kecuali dengan iman yang sempurna kepada setiap kitab yang Allah turunkan dan kepada setiap rasul yang Allah utus. Maka petunjuk adalah sarana paling agung, dan keberuntungan adalah tujuan paling sempurna.
12. Di antara buah keimanan adalah kemampuan mengambil manfaat dari nasihat, peringatan, dan ayat-ayat Allah.
Allah Ta‘ala berfirman:
وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ
“Berilah peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang beriman.” (QS. Adz-Dzariyat: 55)
Dan Dia berfirman:
إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَةً لِلْمُؤْمِنِينَ
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Hijr: 77)
Hal ini karena iman mendorong pemiliknya untuk berkomitmen pada kebenaran dan mengikutinya, baik dalam ilmu maupun amal. Bersamaan dengan itu, iman juga membekalinya dengan alat yang agung dan kesiapan batin untuk menerima nasihat yang bermanfaat serta ayat-ayat yang menunjukkan kebenaran. Ia tidak memiliki penghalang yang menghalanginya dari menerima kebenaran, dan tidak pula penghambat yang mencegahnya untuk mengamalkannya.
Selain itu, iman meniscayakan lurusnya fitrah dan baiknya niat. Siapa yang memiliki dua hal ini, niscaya ia akan mengambil manfaat dari ayat-ayat Allah.
Adapun orang yang tidak demikian keadaannya, maka tidaklah mengherankan jika ia tidak menerima kebenaran dan enggan mengikutinya. Karena itu, ketika Allah menyebutkan penolakan orang-orang kafir terhadap risalah Rasul ﷺ dan keengganan mereka menerima kebenaran yang beliau bawa, Allah menjelaskan sebab yang melatarbelakanginya, yaitu kekafiran yang bersemayam di dalam hati mereka. Maksudnya, kebenaran itu sejatinya sangat jelas dan ayat-ayatnya pun terang benderang; namun kekafiran adalah penghalang terbesar yang menghalangi seseorang dari mengikuti kebenaran. Maka janganlah heran dengan keadaan tersebut, karena itulah tabiat dan kebiasaan setiap orang kafir sepanjang masa.
13. Di antara buah keimanan adalah bahwa iman mendorong pemiliknya untuk bersyukur ketika lapang, bersabar ketika sempit, dan meraih kebaikan dalam setiap keadaan dan waktu.
Sebagaimana telah ditetapkan dalam hadits shahih dari Nabi ﷺ, beliau bersabda:
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ! إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ؛ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh menakjubkan perkara seorang mukmin! Seluruh keadaannya adalah kebaikan. Jika ia mendapatkan kelapangan, ia bersyukur, maka itu menjadi kebaikan baginya. Dan jika ia ditimpa kesempitan, ia bersabar, maka itu pun menjadi kebaikan baginya.”
(HR. Muslim, no. 2999)
Dan keadaan ini tidak dimiliki oleh siapa pun selain orang beriman. Sebab syukur dan sabar adalah himpunan seluruh kebaikan. Dengan keduanya, seorang mukmin senantiasa memetik keuntungan di setiap waktunya dan meraih laba dalam setiap keadaannya.
Dalam hadits shahih yang lain, Nabi ﷺ bersabda:
مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ، مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ، وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ، حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا، إِلَّا كَفَّرَ اللهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
“Tidaklah seorang muslim ditimpa suatu kelelahan, penyakit, kekhawatiran, kesedihan, gangguan, bahkan kesusahan, sampai pun duri yang mengenainya, melainkan Allah akan menghapus dosa-dosanya dengan sebab itu semua.” (HR. Bukhari, no. 5642& Muslim, no. 2573)
Maka berkumpullah bagi seorang mukmin, ketika mendapatkan nikmat dan kelapangan, dua nikmat sekaligus: nikmat terwujudnya sesuatu yang dicintai, dan nikmat taufik untuk bersyukur, yang nilainya lebih tinggi daripada nikmat itu sendiri. Dengan demikian, sempurnalah nikmat atas dirinya.
Dan ketika ia berada dalam kesempitan dan cobaan, berkumpullah baginya tiga nikmat: nikmat penghapusan dosa, nikmat diraihnya kedudukan sabar—yang lebih tinggi nilainya daripada sekadar terangkatnya musibah—serta nikmat ringannya cobaan itu di hatinya. Karena ketika ia menyadari adanya pahala dan ganjaran, serta terbiasanya jiwa dengan kesabaran, maka beratnya musibah menjadi ringan, dan beban ujian pun terasa lebih mudah dipikul.
(Disarikan dari risalah Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di yang berjudul at-Tawdhih wal-Bayan li Syajarotil Iman, hlm. 93-97)