Masalah ini memiliki beberapa perincian :
1. Jika bangkai itu suci maka kulitnya juga suci, swbaliknya jika bangkai itu najis maka kulitnya juga najis. Diantara contoh bangkai yang suci adalah bangkai ikan. Hal ini berdasarkan firman Allah :
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ
“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu.” (Qs. Al-Maa’idah 96)
Ibnu Abbas Radhiallahu anhu berkata :
“maksud kata صَيْدُ (shaidu) adalah binatang yang diambil dalam keadaan hidup dan maksud kata طَعَامُهُ (tha’aamuhu) adalah binatang yang diambil dalam keadaan mati.”
2. Sedangkan binatang yang menjadi najis karena mati maka kulitnya juga menjadi najis (maksudnya, menjadi ikut najis karena mati), sebab ini termasuk dalam keumuman bangkai dan bangkai masuk dalam firman Allah :
إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ (١٤٥)
“Kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi -karena sesunghuhnya semua itu kotor-.” (Qs. Al- An’aam 145)
📌 Kesimpulanya dengan demikian, bila bangkai itu najis maka kulitnya pun najis.
_____________________________
- Syaikh Muhammad bin Sholih al-‘Utsaimin
- Shahih Fiqih Wanita