Allah Ta’ala berfirman:
ٱلْحَجُّ أَشْهُرٌۭ مَّعْلُومَـٰتٌۭ ۚ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ ٱلْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِى ٱلْحَجِّ ۗ وَمَا تَفْعَلُوا۟ مِنْ خَيْرٍۢ يَعْلَمْهُ ٱللَّهُ ۗ وَتَزَوَّدُوا۟ فَإِنَّ خَيْرَ ٱلزَّادِ ٱلتَّقْوَىٰ ۚ وَٱتَّقُونِ يَـٰٓأُو۟لِى ٱلْأَلْبَـٰبِ
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Maka barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu untuk berhaji, janganlah ia berkata kotor, berbuat maksiat, atau bertengkar selama haji. Dan apa pun kebaikan yang kalian kerjakan, sungguh Allah mengetahuinya. Berbekallah, karena sebaik-baik bekal adalah takwa. Bertakwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah: 197)
Rasulullah ﷺ juga bersabda:
إِنَّمَا جُعِلَ الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ وَالصَّفَا وَالْمَرْوَةِ وَرَمْيُ الْجِمَارِ لِإِقَامَةِ ذِكْرِ اللَّهِ
“Sesungguhnya thawaf di Ka’bah, sa’i antara Shafa dan Marwah, serta melempar jumrah disyariatkan untuk menegakkan dzikir kepada Allah.” (HR. Abu Dawud, no. 1888, Ahmad, no. 23830)
Dari sini kita memahami, bahwa ibadah haji dan umrah bukanlah sekadar rangkaian ritual atau perjalanan ke tanah suci belaka. Ia adalah bentuk penghambaan total kepada Allah, yang seharusnya dijalani dengan penuh ketakwaan, hormat, cinta, dan ketundukan. Seorang Muslim yang berhaji hendaknya menjaga adab dan sikap selama menjalankan manasik, serta memastikan seluruh waktu dan amalnya terisi dengan kebaikan.
Setiap detik dalam perjalanan ini bernilai ibadah. Oleh karena itu, hendaknya waktu-waktu berharga ini diisi dengan dzikir, takbir, tahmid, tasbih, dan istighfar. Jangan sampai momen suci ini berubah menjadi ajang bersenang-senang saja, seperti yang terkadang terjadi, membawa alat musik, bernyanyi, tertawa berlebihan, merokok, atau bahkan mencela orang lain. Semua ini tidak pantas dalam suasana haji, apalagi saat sedang berihram dan sedang di tanah haram.
Jamaah haji juga hendaknya tetap menjaga kewajiban utama dalam agamanya, seperti shalat berjamaah tepat waktu, mengajak kepada kebaikan, dan mencegah kemungkaran. Tidak hanya itu, ia juga dianjurkan untuk memberi manfaat kepada sesama jamaah, menolong yang membutuhkan, serta menyayangi mereka yang lemah, terutama di tempat-tempat padat dan rawan desakan. Ketahuilah bahwa kasih sayang kepada makhluk akan mendatangkan kasih sayang dari Sang Pencipta. Allah hanya merahmati hamba-hamba-Nya yang memiliki kasih sayang di hatinya. (HR. Bukhari, no. 1284 dan Muslim, no. 923)
Jamaah juga perlu menjaga lisan dan perbuatan dari hal-hal yang dilarang, seperti berkata kasar, bergunjing, menyebar fitnah, mencela, atau memandang yang bukan mahram. Larangan ini berlaku sepanjang waktu, namun lebih tegas lagi saat sedang dalam ihram. Bahkan perdebatan pun dilarang, kecuali jika memang bertujuan untuk membela kebenaran dan dilakukan di waktu serta tempat yang tepat.
Adab juga harus dijaga dalam pelaksanaan manasik. Misalnya saat melempar jumrah, jangan sampai disertai ucapan atau perbuatan yang tidak pantas, seperti sebagian pihak yang berkata, “Kami melempar setan!” Ini bertentangan dengan semangat ibadah yang seharusnya dipenuhi dengan ketundukan kekhusyu’an kepada Allah. Wallahu a’lam.
(Sumber: Al-Manhaj Li Muridil ‘Umroti wal Hajj, hlm. 28-29, dengan penyesuaian)