Khutbah Pertama
ٱلْـحَمْدُ لِلَّهِ ٱلَّذِي كَتَبَ عَلَى كُلِّ نَفْسٍ ٱلْمَوْتَ، وَجَعَلَ ٱلْخَاتِمَةَ مِيزَانَ ٱلْعَبْدِ فِي سَعَادَتِهِ أَوْ شَقَاوَتِهِ، فَسَعِدَ مَنْ أَحْسَنَ ٱلْخِتَامَ، وَشَقِيَ مَنْ خَذَلَهُ ٱللَّهُ فَوَافَاهُ ٱلْمَوْتُ عَلَى ٱلْعِصْيَانِ. نَحْمَدُهُ حَمْدَ ٱلْعَارِفِينَ، وَنَسْتَغْفِرُهُ ٱسْتِغْفَارَ ٱلْمُقَصِّرِينَ، وَنَسْأَلُهُ حُسْنَ ٱلْخِتَامِ وَعَوْنَهُ فِي كُلِّ حَالٍ وَمَقَامٍ.
وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَنَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، صَلَّى ٱللَّهُ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ، وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَىٰ يَوْمِ ٱلدِّينِ. أَمَّا بَعْدُ:
Ma’asyirol Muslimin wa Zumrotal Mu’minin…
Dari mimbar yang mulia ini, khatib tak henti-hentinya mengingatkan diri pribadi dan jama’ah sekalian untuk bertakwa dan terus beristigfar memohon ampunan kepada Allah Ta’ala, karena Allah tidak akan mengadzab penduduk suatu negeri selama mereka beristigfar.
وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمۡ وَأَنتَ فِيهِمۡۚ وَمَا كَانَ ٱللَّهُ مُعَذِّبَهُمۡ وَهُمۡ يَسۡتَغۡفِرُونَ
“Allah tidak akan menghukum mereka, selama engkau (Muhammad) berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan menghukum mereka, sedang mereka (masih) memohon ampunan.” (QS. Al-Anfal: 33)
Sidang Jama’ah Jum’at yang Allah muliakan…
Ketahuilah bahwa yang menjadi penentu nasib akhir manusia bukanlah bagaimana ia memulai, tetapi bagaimana ia mengakhiri. Rasulullah ﷺ bersabda:
إنَّ العَبْدَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ النَّارِ، وَإِنَّهُ مِنْ أَهْلِ الجَنَّةِ، وَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ الجَنَّةِ، وَإِنَّهُ مِنْ أَهْلِ النَّارِ، وَإِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالخَوَاتِيمِ.
“Sesungguhnya ada seorang hamba yang (terlihat) melakukan amalan ahli neraka, padahal ia termasuk ahli surga. Dan ada pula yang (tampak beramal) seperti ahli surga, padahal ia termasuk ahli neraka. Sesungguhnya amal itu tergantung pada penutupnya.” (HR. Bukhari, no. 6607 dan Muslim, no. 112)
Dan betapa agung keutamaan kalimat tauhid di akhir hayat, sampai-sampai Nabi ﷺ bersabda:
مَن كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Barangsiapa yang akhir ucapannya adalah ‘La ilaha illallah’, maka ia akan masuk surga.”
(HR. Abu Dawud, no. 3116)
Namun saudara-saudaraku, husnul khatimah bukanlah keberuntungan yang datang tanpa sebab. Ia adalah buah dari amal shalih yang terus-menerus, dari hati yang jujur kepada Allah, baik di kala tersembunyi maupun tampak. Ia bukan milik orang yang sekadar nampak beramal shalih, tetapi menyimpan dosa besar yang tak pernah ia sesali dan taubati.
Karena sungguh, Allah bisa saja menghukum seseorang atas satu dosa dengan membiarkannya terjerumus ke dalam dosa lain. Dosa menjeret dosa, hingga gelapnya maksiat menutup pintu taubat. Maka matilah ia dalam keadaan berpaling dari Allah, dalam keadaan su’ul khatimah. Na’udzu billah.
Sebaliknya, siapa yang terus menjaga kebaikan, memohon taufik dan taubat, maka Allah akan membalas satu kebaikannya dengan kebaikan lain. Allah akan membimbingnya hingga akhir hayat, dan memuliakannya dengan husnul khatimah, penutup yang dirindukan oleh para kekasih Allah.
Maka jangan tertipu dengan amal lahiriah semata, dan jangan pula merasa aman dari su’ul khatimah. Teruslah memohon kepada Allah agar menutup hidup kita dengan kalimat tauhid, dengan iman, dengan amalan yang diridhai.
إِنَّ ٱلَّذِينَ قَالُواْ رَبُّنَا ٱللَّهُ ثُمَّ ٱسۡتَقَٰمُواْ تَتَنَزَّلُ عَلَيۡهِمُ ٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ أَلَّا تَخَافُواْ وَلَا تَحۡزَنُواْ وَأَبۡشِرُواْ بِٱلۡجَنَّةِ ٱلَّتِي كُنتُمۡ تُوعَدُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang berkata, ‘Tuhan kami adalah Allah’ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat-malaikat akan turun kepada mereka (tatkala ajal menjemput, dengan berkata), ‘Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu bersedih hati; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu.’”
نَحۡنُ أَوۡلِيَآؤُكُمۡ فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا وَفِي ٱلۡأٓخِرَةِۖ وَلَكُمۡ فِيهَا مَا تَشۡتَهِيٓ أَنفُسُكُمۡ وَلَكُمۡ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ
“Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya (surga) kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh apa yang kamu minta.”
Ummatal Islam…
Jika kita perhatikan keadaan banyak orang yang sedang menghadapi sakaratul maut, kita akan melihat bahwa mereka dihalangi dari meraih husnul khatimah, sebagai bentuk hukuman atas perbuatan buruk mereka.
Su’ul khatimah memiliki sebab-sebab, jalan, dan pintu-pintu yang bisa menjerumuskan ke dalamnya. Di antara sebab terbesar adalah: terlalu mencintai dunia, berpaling dari akhirat, berani menerjang maksiat tanpa rasa takut kepada Allah.
Terkadang, seseorang terus-menerus melakukan satu jenis dosa atau terbiasa dengan satu bentuk kemaksiatan. Ia berpaling dari peringatan, meremehkan larangan Allah, dan dengan penuh keberanian melanggarnya. Dosa itu akhirnya menguasai hatinya, mengalahkan akalnya, memadamkan cahaya imannya, dan menutupi pandangannya dari kebenaran. Maka tak berguna lagi nasihat untuknya. Tak mempan lagi peringatan dan teguran.
Ketika kematian datang dalam keadaan seperti itu, dia mendengar seruan ke arah kebaikan, tapi tak bisa memahaminya. Ia seperti mendengar dari kejauhan, tapi tak tahu maksudnya, tak memahami arahnya, meski peringatan telah diulang-ulang.
Ikhwatii fiddiin rahimani wa rahimakumullah…
Diceritakan bahwa salah satu seorang loyalis penguasa yang bernama An-Nashir, menjelang wafatnya dipandu oleh anaknya: “Ucapkan: La ilaha illallah!”
Tapi yang ia ucapkan hanyalah: “An-Nashir adalah tuanku!”
Anaknya mengulang, dan dia tetap menjawab dengan jawaban yang sama. Lalu ia pingsan. Saat sadar, dia kembali mengucapkan: “An-Nashir adalah tuanku!”
Begitulah yang terus dia ucapkan, setiap kali diminta untuk mengucapkan kalimat tauhid, ia hanya berkata: “An-Nashir adalah tuanku.”
Bahkan ia berkata kepada anaknya:
“Wahai anakku, An-Nashir hanya mengenalmu lewat pedangmu… Bunuh, bunuh!”
Lalu ia meninggal dunia.
Ada juga seseorang yang saat sakaratul maut diminta untuk mengucapkan La ilaha illallah, ia malah berkata:
“Di rumah yang itu, perbaiki bagian ini… Di kebun sana, lakukan begini…”
Ia meninggal dengan pikirannya terpaku pada urusan dunia yang selama ini memenuhi hatinya.
Ada juga seseorang yang ketika diminta untuk mengucapkan La ilaha illallah, ia hanya menyebut dalam bahasa Persia:
“Dah, yazdah” (yang artinya: sepuluh, sebelas).
Ia meninggal dunia sambil menyebut angka, sebuah pertanda bahwa hatinya penuh dengan urusan hitung-hitungan dunia.
Dikisahkan pula tentang seseorang yang ketika menjelang kematiannya, orang-orang mengajaknya untuk mengucapkan: “Laa ilaaha illallaah.” Namun, ia justru terus-menerus mengucapkan: “Di mana jalan menuju pemandian Minjaab?”
Ucapan ini memiliki kisah di baliknya.
Dahulu, orang ini berdiri di depan rumahnya. Kebetulan, pintu rumahnya sangat mirip dengan pintu sebuah pemandian umum bernama Minjaab. Lalu lewatlah seorang gadis muda yang cantik rupawan. Ia bertanya kepadanya:
“Di mana jalan ke pemandian Minjaab?”
Laki-laki itu menjawab, sambil menunjuk ke arah rumahnya: “Inilah pemandian Minjaab.”
Gadis itu pun masuk ke dalam rumah, dan laki-laki itu mengikutinya dari belakang. Ketika si gadis menyadari bahwa ia telah tertipu dan ternyata sedang berada di dalam rumah orang asing, ia tidak menunjukkan rasa marah atau takut. Justru ia berpura-pura senang, seakan-akan menyambut pertemuan tersebut. Ia berkata: “Kita perlu sesuatu agar hidup kita terasa lebih menyenangkan dan menyejukkan mata.”
Laki-laki itu menjawab: “Akan aku bawakan sekarang semua yang kamu inginkan dan dambakan.” Ia pun keluar meninggalkan gadis itu di dalam rumah dan tidak menguncinya. Ia pergi untuk mengambil segala sesuatu yang bisa menyenangkan si gadis.
Namun saat ia kembali, gadis itu telah pergi.
Sejak saat itu, laki-laki itu menjadi tergila-gila padanya. Ia tak henti-hentinya menyebut namanya, menyusuri jalan-jalan dan gang-gang sempit sambil mengulang-ulang bait syair:
يَا رُبَّ قَائِلَةٍ يَوْمًا وَقَدْ تَعِبَتْ
كَيْفَ ٱلطَّرِيقُ إِلَى حَمَّامِ مِنجَاب؟
“Wahai orang yang pernah bertanya suatu hari, dalam keadaan lelah,
Bagaimana jalan menuju Hammam Minjaab?”
Dan suatu ketika, saat ia sedang bersenandung dengan bait tersebut di tengah jalan, tiba-tiba ada yang merespon dari balik jendela:
قَرْنَانُ هَلَّا جَعَلْتَ إِذْ ظَفِرْتَ بِهَا
حِرْزًا عَلَى الدَّارِ أَوْ قُفْلًا عَلَى الْبَابِ؟
“Mengapa saat engkau telah mendapatkan dia,
tidak kau jadikan penjaga di rumah atau gembok di pintu?”
Sejak itu, kegilaannya semakin menjadi-jadi, dan gejolak hatinya makin membara. Ia terus hidup dalam keadaan seperti itu hingga akhirnya bait syair itu menjadi ucapan terakhirnya di dunia ini, lalu ia pun mati. Wal’iyadzu billah…
Ummatal Islam…
Sufyan ats-Tsauri rahimahullah pernah menangis semalaman hingga subuh.
Ketika pagi tiba, ada yang bertanya kepadanya: “Apakah semua tangisan itu karena takut pada dosa-dosamu?”
Ia pun mengambil sehelai jerami dari tanah dan berkata:
الذُّنُوبُ أَهْوَنُ مِنْ هَذَا، وَإِنَّمَا أَبْكِي مِنْ خَوْفِ الْخَاتِمَةِ
“Dosa-dosa itu lebih ringan bagiku dari jerami ini. Yang kutangisi adalah: takut akan akhir hidup yang buruk.”
Ini adalah pemahaman yang sangat dalam dan cerdas, bahwa seseorang takut jika dosa-dosanya menjadi sebab ia ditelantarkan Allah di saat-saat terakhir hidupnya, sehingga terhalang dari husnul khatimah.
Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu ketika menjelang wafatnya, beliau pingsan lalu sadar, kemudian membaca firman Allah:
وَنُقَلِّبُ أَفْئِدَتَهُمْ وَأَبْصَارَهُمْ كَمَا لَمْ يُؤْمِنُوا بِهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَنَذَرُهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ
“Kami palingkan hati dan pandangan mereka, sebagaimana mereka tidak beriman kepadanya (Al-Qur’an) pada pertama kali kedatangannya, dan Kami biarkan mereka dalam kesesatannya, terombang-ambing.” (QS. Al-An’am: 110) (HR. Abu Nu’aim 1/17)
Para salaf sangat takut bahwa dosa-dosa mereka menjadi penghalang antara mereka dan akhir hidup yang baik.
بَارَكَ اللَّهُ لِي وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيهِ مِنْ الْآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيمِ، وَتَقَبَّلَ مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلَاوَتَهُ، فَاسْتَغْفِرُوهُ؛ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ.
Khutbah Kedua
ٱلْـحَمْدُ لِلَّهِ ٱلَّذِي جَعَلَ ٱلْمَوْتَ خَاتِمَةَ ٱلْأَعْمَالِ، وَجَعَلَ حُسْنَهَا أَمَلَ ٱلْأَوْلِيَاءِ وَذُخْرَ ٱلصَّالِحِينَ، وَجَعَلَ سُوءَهَا خَوْفَ ٱلْمُقَصِّرِينَ وَرُعْبَ ٱلْمُذْنِبِينَ.
نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ، وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَتُوبُ إِلَيْهِ، وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ، وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَىٰ يَوْمِ الدِّينِ. أَمَّا بَعْدُ:
Ma’asyirol Muslimin wa Zumrotal Mu’minin…
Agar harapan kita akan rahmat dan kasih sayang-Nya bisa diraih, khatib wasiatkan diri pribadi dan jama’ah sekalian agar menjemputnya dengan bertakwa kepada Allah Ta’ala. Karena Allah berfirman:
وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ تُرۡحَمُونَ
“Dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujurat: 10)
Sidang Jam’ah Jum’at yang Allah muliakan…
Ketahuilah—semoga Allah melindungi kita semua—bahwa su’ul khatimah, tidak akan menimpa orang yang hatinya bersih dan hidupnya lurus. Tak pernah terdengar ada hamba yang senantiasa menjaga kebaikan lahir dan batinnya, lalu menutup hidupnya dengan keburukan. Maha Suci Allah, yang janji-Nya pasti dan keadilan-Nya sempurna.
Namun, su’ul khatimah bisa menimpa mereka yang rusak keyakinannya, yang terbiasa bermaksiat, yang berani menyepelekan larangan-larangan besar Allah. Bisa jadi, dosa itu menguasai hatinya, membutakan pandangannya, dan menunda-nunda taubatnya, hingga datanglah ajal dalam keadaan ia belum kembali kepada Allah. Saat itu, ia rapuh… dan setan pun datang, menjeratnya dalam kondisi paling lemah. Maka, ia pun menghembuskan napas terakhir tanpa membawa iman yang murni. Na’udzu billah…
Sidang Jama’ah Jum’at yang Allah muliakan…
Kami sebutkan 2 kisah lain sebagai penutup.
Pertama: Dahulu di Mesir ada seorang pria yang rajin beribadah di masjid untuk adzan dan shalat, dan ia terlihat memiliki cahaya ibadah dan ketundukan kepada Allah.
Suatu hari, seperti biasa, ia naik ke menara untuk adzan. Di bawah menara tersebut ada rumah milik seorang Nasrani, dan ia melihat putri pemilik rumah itu. Ia pun terpesona oleh kecantikannya, sehingga ia meninggalkan adzan, turun dari menara, dan memasuki rumah tersebut.
Wanita itu berkata kepadanya: “Apa yang kamu inginkan?”
Muadzin menjawab: “Aku menginginkanmu.”
Wanita itu bertanya: “Mengapa?”
Muadzin menjawab: “Engkau telah mencuri hatiku dan mengambil kendali hatiku.”
Wanita itu berkata: “Aku tidak akan menerima ajakan burukmu.”
Lalu Muadzin berkata lagi: “Kalau begitu, aku akan menikahimu.”
Wanita itu berkata: “Kamu seorang Muslim, sedangkan aku seorang Nasrani, dan ayahku tidak akan menikahkanku denganmu.”
Muadzin berkata: “Aku akan masuk ke agama Nasrani.”
Wanita itu menjawab: “Jika kamu menjadi Nasrani, maka aku akan menerima pinanganmu.”
Ia pun akhirnya memutuskan untuk masuk agama Nasrani demi menikahi wanita tersebut dan tinggal bersamanya di rumah itu.
Di hari itu juga, sebelum malam hari, ia naik ke atap rumah tersebut dan terjatuh sehingga meninggal.
Alhasil, Ilia tak mendapatkan wanita itu, dan kehilangan agamanya.
Na’udzu billah min dzalik.
Kisah kedua: juga tentang seorang laki-laki lain yang jatuh cinta kepada seorang wanita. Cinta itu begitu dalam hingga menyiksa dirinya. Cintanya menguasai hatinya, membuatnya jatuh sakit, dan akhirnya hanya terbaring di atas ranjang.
Orang yang dicintainya menolak dan menjauh. Ia tak mau mendekat, bahkan makin menghindar. Para perantara pun mulai turun tangan, membujuk orang yang dicintai itu agar bersedia menemui si malang yang sedang sekarat.
Akhirnya, si pujaan hati berjanji akan datang mengunjunginya. Ketika kabar ini disampaikan kepada si sakit, ia sangat gembira. Kegembiraannya membuncah, kesedihannya sirna, dan ia menunggu waktu pertemuan itu dengan penuh harap.
Namun, menjelang waktu yang dijanjikan, datanglah si perantara dan berkata: “Ia tadinya sudah ikut bersamaku dan berjalan separuh jalan. Tapi ia kemudian berubah pikiran dan kembali. Aku membujuk dan merayunya. Ia berkata: ‘Aku memang teringat padanya, dan perasaanku sangat bergejolak. Tapi aku tidak mau menempuh jalan yang mencurigakan, dan tidak ingin menjerumuskan diriku dalam prasangka buruk orang lain.’ Aku ulangi bujukan, tapi ia tetap menolak dan pulang.”
Ketika kabar ini sampai kepada si mabuk cinta, ia merasa sangat terpukul. Harapannya runtuh. Penderitaannya makin parah, tanda-tanda kematian pun mulai tampak.
Dalam keadaan sekarat itu, ia terus-menerus mengucapkan bait syair:
أَسْلَمُ، يَا رَاحَةَ الْعَلِيلِ
وَيَا شِفَاءَ الْمُدْنِفِ النَّحِيلِ
رِضَاكَ أَشْهَى إِلَى فُؤَادِي
مِنْ رَحْمَةِ الْخَالِقِ الْجَلِيلِ
“Selamat tinggal… wahai penghibur orang yang sakit, wahai penawar bagi tubuh yang lemah dan merana…
Keridhaanmu lebih berharga bagi hatiku
Daripada rahmat Tuhan yang Mahamulia!”
Sang perantara berkata padanya: “Wahai Fulan, bertakwalah kepada Allah!”
Ia menjawab:
قَدْ كَانَ
“Sudah… semuanya sudah terjadi…”
Lalu si perantara ini pun meninggalkannya. Namun belum sampai melewati pintu rumahnya, ia mendengar suara gaduh, si mabuk cinta ternyata sedang sekarat lalu meninggal dunia.
Na’udzu billah, kita berlindung kepada Allah dari akhir yang buruk dan penutup hidup yang celaka.
Ikhwatal Iman…
Kisah-kisah di atas, mayoritasnya di ambil dari buku yang berjudul al-‘Aqibah, yang ditulis oleh Abdul Haqq Al-Isybili, yang kemudian dinukil ulang oleh Ibnul Qayyim dalam bukunya, ad-Daa’ wa ad-Dawaa’.
Darinya kita bisa mengambil pelajaran bahwa: Barang siapa yang penuh dengan cinta dunia, terikat dengan maksiat, dan lalai dari Allah, maka ia dikhawatirkan akan terhalang dari mengucapkan kalimat tauhid saat kematian datang. Maka tak ada yang lebih penting dari membersihkan hati dari dunia, meninggalkan maksiat, dan senantiasa menyibukkan diri dengan dzikir, amal shalih, dan taubat kepada Allah.
Semoga Allah menutup hidup kita dengan husnul khatimah.
أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ، إِنَّ اللَّهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيهِ بِنَفْسِهِ، وَثَنَّى بِمَلَائِكَتِهِ الْمُسَبِّحَةِ بِقُدْسِهِ، وَأَيُّهُ بِكُمْ أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ مِنْ جِنِّهِ وَإِنْسِهِ، فَقَالَ عَزَّ وَجَلَّ: ﴿إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا﴾، اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُولِكَ مُحَمَّدٍ، وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنْ خُلَفَائِهِ الرَّاشِدِينَ، أَبِي بَكْرٍ، وَعُمَرَ، وَعُثْمَانَ، وَعَلِيٍّ، وَعَنْ سَائِرِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِينَ، وَعَنِ التَّابِعِينَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ، وَعَنَّا مَعَهُمْ بِمِنِّكَ وَكَرَمِكَ يَا أَكْرَمَ الْأَكْرَمِينَ.
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ، وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوفٌ رَحِيمٌ.
اللَّهُمَّ أَعِزَّ الْإِسْلَامِ وَالْمُسْلِمِينَ، وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِينَ، وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّينِ، وَاحْمِ حَوْزَةَ الْإِسْلَامِ، وَاجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آمِنًاً مُطْمَئِنًا وَسَائِرَ بِلَادِ الْمُسْلِمِينَ.
اللَّهُمَّ ٱقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا يَحُولُ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعَاصِيكَ، وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَا بِهِ جَنَّتَكَ، وَمِنَ ٱلْيَقِينِ مَا يُهَوِّنُ عَلَيْنَا مُصِيبَاتِ ٱلدُّنْيَا، وَمَتِّعْنَا بِأَسْمَاعِنَا وَأَبْصَارِنَا وَقُوَّتِنَا مَا أَحْيَيْتَنَا، وَٱجْعَلْهُ ٱلْوَارِثَ مِنَّا، وَٱجْعَلْ ثَأْرَنَا عَلَىٰ مَنْ ظَلَمَنَا، وَٱنْصُرْنَا عَلَىٰ مَنْ عَادَانَا، وَلَا تَجْعَلْ مُصِيبَتَنَا فِي دِينِنَا، وَلَا تَجْعَلِ ٱلدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا، وَلَا مَبْلَغَ عِلْمِنَا، وَلَا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لَا يَرْحَمُنَا.
اللَّهُمَّ أَصْلِحْ وُلَاةَ أُمُورِنَا وَوَفِّقْهُمْ لِمَا تُحِبُّ وَتَرْضَى، وَقَرِّبْ إِلَيْهِمْ الْبِطَانَةَ الصَّالِحَةَ، وَجَنِّبْهُمْ بِطَانَةَ السُّوءِ.
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
عِبَادَ اللَّهِ، إِنَّ ٱلِلَّهَ يَأْۡمُرُ بِٱلِۡعَدْۡلِ وَٱلِۡإِحْۡسَٰنِ وَإِيتَآيِٕ ذِي ٱلِۡقُرْۡبَىٰ وَيَنْۡهَىَٰ عَنِ ٱلِۡفَحْۡشَآءِ وَٱلِۡمُنْكَرِ وَٱلِۡبَغٍّۡيِۚ يَعِظُكُمْۡ لَعَلَّكُمْۡ تَذَكَّرُونَ.
فَاذْكُرُوا اللَّهَ الْعَظِيمَ الْجَلِيلَ يُذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلِذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ، وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ. أَقِمِ الصَّلَاةَ..
(Terinspirasi dari nasehat yang disampaikan oleh Ibnul Qayyim dalam kitabnya Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 386-292)