Al-Baihaqi meriwayatkan dalam Manaqib Asy-Syafi‘i bahwa Imam Syafi‘i pernah bercerita:
“Aku keluar dari Makkah lalu tinggal bersama kabilah Hudhail di pedalaman. Aku belajar bahasa mereka dan mengambil kefasihan dari mereka, karena mereka adalah suku yang paling fasih di antara bangsa Arab. Aku menetap bersama mereka dalam waktu tertentu, bepergian bersama mereka, dan singgah di mana mereka singgah.
Ketika aku kembali ke Makkah, aku mulai melantunkan syair-syair dan menyebutkan kisah-kisah bangsa Arab. Lalu lewat seorang laki-laki dari keturunan Az-Zubair. Ia berkata kepadaku:
يَا أَبَا عَبْدِ اللهِ، عَزَّ عَلَيَّ أَلَّا تَكُونَ فِي الْعِلْمِ وَالْفِقْهِ، مَعَ هَذِهِ الْفَصَاحَةِ وَالْبَلَاغَةِ.
‘Wahai Abu ‘Abdillah, sayang sekali jika engkau tidak menekuni ilmu dan fiqih dengan kefasihan dan balaghah seperti ini.’
Aku bertanya: ‘Kepada siapa lagi aku harus menuntut ilmu?’ Ia menjawab: ‘Malik bin Anas, pemuka kaum Muslimin (di Madinah).’
Perkataan itu sangat membekas di hatiku. Aku pun segera meminjam kitab Al-Muwattha’ dari seorang di Makkah, lalu menghafalnya. Setelah itu aku menemui gubernur Makkah, dan ia menuliskan surat untuk gubernur Madinah dan Imam Malik.
Tatkala aku tiba di Madinah, aku menyerahkan surat itu. Gubernur Madinah berkata: ‘Wahai anakku, berjalan dari Madinah ke Makkah dengan kaki telanjang lebih ringan bagiku daripada harus mendatangi pintu rumah Malik. Tidak ada kehinaan yang lebih berat bagiku selain harus berdiri di depan pintunya.’
Lalu aku berkata: ‘Kalau begitu, wahai amir (gubernur), sudikah engkau memanggilnya agar datang kemari?’ Ia menjawab: ‘Mustahil! Seandainya aku keluar dengan rombongan ini dan debu lembah ‘Aqiq mengenai kami, niscaya itu sudah cukup sebagai kemuliaan bagiku, (dibanding harus memanggil Malik ke hadapanku).’
Namun pada akhirnya, Amir membuat janji temu. Ketika kami tiba di rumah Imam Malik, keluar seorang budak perempuan berkulit hitam. Amir berkata: ‘Katakan pada tuanmu, aku, gubernur Madinah ada di depan pintu.’
Budak itu masuk lalu keluar dengan jawaban:
إِنْ كَانَتْ مَسْأَلَةٌ فَارْفَعْهَا إِلَيَّ فِي رُقْعَةٍ حَتَّى يَخْرُجَ إِلَيْكَ الْجَوَابُ، وَإِنْ كَانَ لِلْحَدِيثِ فَقَدْ عَرَفْتَ يَوْمَ الْمَجْلِسِ، فَانْصَرِفْ.
‘Jika ada masalah, tulislah dalam selembar kertas, nanti tuan akan menjawabannya. Jika untuk hadits, engkau sudah tahu kapan waktu majelisnya, maka pulanglah.’
Amir berkata: ‘Katakan padanya, aku membawa surat gubernur Makkah dalam urusan penting.’
Budak itu masuk kembali, lalu keluar membawa kursi. Kemudian keluarlah Imam Malik, seorang syaikh tinggi, penuh wibawa, dengan pakaian panjang yang membuatnya tampak agung.
Setelah membaca surat itu (yang berisikan rekomendasi untuk menjadikan Syafi’i sebagai muridnya), Imam Malik berkata:
يَا سُبْحَانَ اللهِ، قَدْ صَارَ عِلْمُ رَسُولِ اللهِ ﷺ يُؤْخَذُ بِالْوَسَائِلِ!
‘Subhanallah! Ilmu Rasulullah ﷺ sekarang dicari dengan surat rekomendasi!’
Melihat gubernur segan untuk berbicara, aku (Syafi’i) maju dan berkata:
أَصْلَحَكَ اللهُ، إِنِّي رَجُلٌ مُطَّلِبِيٌّ، هَذَا حَالِي وَقِصَّتِي.
‘Semoga Allah menjaga Anda, aku seorang lelaki dari Bani Al-Muththalib, inilah keadaan dan kisahku.’ Lalu Syafi’i muda menceritakan kisahnya.
Imam Malik menatapku tajam dengan firasatnya, lalu bertanya: ‘Siapa namamu?’ Aku menjawab: ‘Muhammad.’
Beliau berkata:
يَا مُحَمَّدُ، اتَّقِ اللهَ، وَاجْتَنِبِ الْمَعَاصِي؛ فَإِنَّهُ سَيَكُونُ لَكَ شَأْنٌ.
‘Wahai Muhammad, bertakwalah kepada Allah dan jauhilah maksiat, karena engkau kelak akan memiliki kedudukan besar.’
Aku pun menjawab: ‘Baik, tentu dengan penuh kehormatan.’
Keesokan harinya aku mendatangi beliau dengan hafalanku. Setiap kali aku merasa segan untuk berhenti membaca, beliau kagum dengan bacaanku lalu berkata: ‘Wahai anak muda, lanjutkan!’
Hingga aku berhasil menamatkan bacaan Al-Muwattha’ dalam beberapa hari saja, dan aku tetap tinggal di Madinah hingga Imam Malik wafat, semoga Allah meridhainya.”
Imam Malik pernah berkata kepada Imam Syafi‘i—semoga Allah meridhai keduanya:
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ قَدْ أَلْقَى عَلَى قَلْبِكَ نُورًا، فَلَا تُطْفِئْهُ بِالْمَعْصِيَةِ.
“Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla telah meletakkan cahaya pada hatimu, maka janganlah engkau padamkan cahaya itu dengan maksiat.”
(Sumber: Manaqib Asy-Syafi’i, hlm. 101-104 dengan penyesuaian)
Faedah dan Pelajaran dari Kisah di Atas
1. Melihat potensi seseorang itu penting. Dengan arahan yang tepat, bakat bisa berkembang pada jalur yang benar. Imam Syafi‘i muda yang terkenal fasih dan cerdas mendapat nasihat singkat agar mengarahkan kemampuannya pada bidang fiqih. Nasihat inilah yang menjadi pintu pertemuannya dengan Imam Malik.
2. Ilmu mengangkat derajat. Imam Syafi‘i di usia belia sudah berani mendatangi gubernur untuk meminta surat rekomendasi—dan itu bukan karena kedudukan keluarganya, tetapi karena ilmu yang ia miliki. Inilah bukti bahwa ilmu benar-benar meninggikan martabat seseorang.
3. Keseriusan di usia muda. Saat teman-teman seusianya sibuk bermain dan bergaul biasa, Imam Syafi‘i sudah berinteraksi dengan gubernur Makkah dan Madinah, bahkan duduk di hadapan Imam Malik. Lingkaran pergaulannya adalah ulama dan pemimpin, bukan sekadar teman sebaya.
4. Wibawa ulama sejati. Imam Malik dijunjung tinggi hingga para pejabat merasa hina jika harus “memanggil” beliau. Justru mereka yang merasa mulia jika bisa mendatangi beliau.
5. Ilmu tidak diperoleh dengan kedudukan dunia, tetapi dengan kerendahan hati. Imam Malik hampir menolak ketika melihat surat rekomendasi untuk menjadikan Syafi‘i muridnya. Namun ketika melihat kesungguhan dan mendengar kisah belajarnya, justru hal itu membuat beliau tertarik dan akhirnya menerima Syafi‘i sebagai murid.
6. Takwa menjaga cahaya ilmu. Imam Malik menasihati Syafi‘i agar menjauhi maksiat, karena dosa adalah sebab padamnya cahaya ilmu dan hilangnya keberkahan.