Khutbah Pertama
الحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي اسْتَوَىٰ عَلَىٰ عَرْشِ جَلَالِهِ، وَتَفَرَّدَ بِكَمَالِ جَمَالِهِ، وَأَبْدَعَ الْخَلْقَ بِحِكْمَتِهِ، وَدَبَّرَ الْأَمْرَ بِعَدْلِهِ وَرَحْمَتِهِ، لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ، وَلَا يُنَازَعُ فِي مُلْكِهِ سُلْطَانٌ، وَلَا يُقْرَعُ بَابُ عَطَائِهِ بِخَيْبَةٍ أَوْ خُسْرَانٍ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، أَحَقُّ وَأَجَلُّ مَنْ يُحَبُّ، لِأَنَّهُ ذُو الْجَمَالِ وَالْإِجْمَالِ، وَذُو الْكَمَالِ وَالْإِكْمَالِ، إِلَيْهِ تَتَشَوَّفُ الْأَرْوَاحُ، وَتَحِنُّ إِلَيْهِ الْقُلُوبُ الصَّادِقَةُ فِي خَلَوَاتِهَا، وَهُوَ مَقْصِدُ الْعَارِفِينَ، وَغَايَةُ الْمُشْتَاقِينَ، وَمُنَى الْمُحِبِّينَ.
وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، الْمُصْطَفَىٰ مِنْ بَيْنِ الْخَلَائِقِ، خَلِيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ، أَصْدَقُ مَنْ نَطَقَ، وَأَوْفَىٰ مَنْ عَهِدَ، وَأَكْمَلُ مَنْ عَبَدَ، صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَعَلَىٰ آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيمًا كَثِيرًا. أَمَّا بَعْدُ:
Ma’asyiral Muslimin wa Zumrotal Mu’minin…
Dari mimbar yang mulia ini, khatib kembali mengingatkan diri sendiri dan segenap jamaah agar senantiasa meningkatkan ketakwaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Karena Allah mencintai orang-orang yang bertakwa, sebagaimana dalam firman-Nya:
إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُتَّقِينَ
“Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang bertakwa.” (QS. At-Taubah: 4)
Sidang Jama’ah Jum’at yang Allah muliakan…
Ketahuilah, bahwa cinta yang paling bermanfaat, paling wajib, paling tinggi, dan paling mulia adalah cinta kepada Allah. Hati manusia memang diciptakan untuk mencintai-Nya, dan seluruh makhluk pada dasarnya diciptakan untuk mengagungkan dan menyembah-Nya. Dengan cinta kepada-Nya, langit dan bumi bisa tegak, dan karena-Nya pula seluruh makhluk diciptakan.
Inilah rahasia dari kalimat syahadat “La ilaha illallah” (Tiada ilah yang berhak disembah selain Allah). Karena “ilah” itu artinya adalah Dzat yang benar-benar dicintai, diagungkan, ditaati, direndahi, dan disembah sepenuh hati. Dan ibadah hanya sah jika ditujukan kepada-Nya semata. Sebab, ibadah sejatinya adalah puncak dari cinta yang disertai kepatuhan dan kerendahan diri. Maka siapa pun yang mempersekutukan Allah dalam ibadah, berarti telah melakukan kezhaliman terbesar yang tidak akan diampuni jika tidak bertaubat.
Allah dicintai karena Dzat-Nya sendiri. Sedangkan makhluk hanya layak dicintai karena keterkaitannya dengan kecintaan kepada Allah, bukan karena dirinya sendiri.
Ummatal Islam…
Semua kitab yang diturunkan Allah, semua ajaran yang dibawa para rasul, seluruh fitrah yang Ia tanamkan dalam diri manusia, akal sehat yang dianugerahkan, dan setiap nikmat yang dilimpahkan – semuanya menunjukkan bahwa mencintai Allah adalah sesuatu yang wajib. Karena pada dasarnya, hati manusia akan mencintai siapa yang berbuat baik kepadanya dan memberinya nikmat.
Maka bagaimana mungkin seseorang tidak mencintai Dzat yang darinya datang setiap kebaikan, dan yang dari-Nya pula berasal seluruh nikmat yang dirasakan makhluk, dari yang paling kecil sampai yang terbesar?
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا بِكُم مِّن نِّعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ۖ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ
“Dan segala nikmat yang ada pada kalian itu berasal dari Allah. Kemudian apabila kalian ditimpa kesulitan, maka hanya kepada-Nya kalian mengadu.” (QS. An-Nahl: 53)
Segala hal yang Allah perkenalkan kepada hamba-hamba-Nya—baik melalui nama-nama-Nya yang indah, sifat-sifat-Nya yang sempurna, maupun ciptaan-Nya yang luar biasa—semuanya menunjukkan betapa sempurna, agung, dan mulianya Dia. Semua itu menjadi alasan yang kuat bagi hati manusia untuk mencintai-Nya.
Ikhwatii fiddiin rahimani wa rahimakumullah…
Pada dasarnya, cinta tumbuh karena dua hal: keindahan dan kebaikan. Dan Allah memiliki kesempurnaan yang mutlak dalam keduanya.
Dia Maha Indah dan mencintai keindahan. Setiap bentuk keindahan yang ada di alam semesta sejatinya berasal dari-Nya. Dia juga Maha Baik, dan segala kebaikan yang dirasakan makhluk di dunia ini datang dari-Nya.
Maka tidak ada satu makhluk pun yang layak dicintai karena dirinya sendiri secara mutlak selain Allah. Sebab hanya Allah-lah yang benar-benar sempurna dalam segala hal—baik dalam keindahan maupun dalam kebaikan.
Ma’asyiral Muslimin…
Cinta kepada Allah bisa dibuktikan dengan totalitas dalam mengikuti ajaran Nabi ﷺ. Allah Ta’ala berfirman:
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ
“Katakanlah: Jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku (Nabi Muhammad), niscaya Allah akan mencintai kalian.” (QS. Ali Imran: 31)
Mencintai Allah juga melazimkan mencintai siapa yang Allah cintai. Allah Ta’ala berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مَن يَرۡتَدَّ مِنكُمۡ عَن دِينِهِۦ فَسَوۡفَ يَأۡتِي ٱللَّهُ بِقَوۡمٖ يُحِبُّهُمۡ وَيُحِبُّونَهُۥٓ أَذِلَّةٍ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى ٱلۡكَٰفِرِينَ يُجَٰهِدُونَ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوۡمَةَ لَآئِمٖۚ ذَٰلِكَ فَضۡلُ ٱللَّهِ يُؤۡتِيهِ مَن يَشَآءُۚ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman! Barang siapa di antara kamu yang murtad (keluar) dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum, Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, dan bersikap lemah lembut terhadap orang-orang yang beriman, tetapi bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.”
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱلَّذِينَ يُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤۡتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ وَهُمۡ رَٰكِعُونَ
“Sesungguhnya penolongmu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, seraya tunduk (kepada Allah).”
وَمَن يَتَوَلَّ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ فَإِنَّ حِزۡبَ ٱللَّهِ هُمُ ٱلۡغَٰلِبُونَ
“Dan barang siapa menjadikan Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman sebagai penolongnya, maka sungguh, pengikut (agama) Allah itulah yang menang.” (QS. Al-Maidah: 54-56)
Ikhwatal Iman…
Dasar utama dari loyalitas adalah cinta. Tak mungkin ada loyalitas sejati tanpa cinta, sebagaimana permusuhan juga lahir dari kebencian.
Allah adalah Pelindung dan Penolong orang-orang beriman. Mereka adalah para kekasih-Nya—mereka mencintai-Nya, dan Allah pun mencintai mereka. Bahkan, cinta Allah kepada hamba-Nya akan sebanding dengan seberapa besar cinta hamba itu kepada-Nya.
Sebaliknya, Allah mencela orang-orang yang mencari pelindung dan wali selain Dia. Bukan seperti orang yang mencintai para wali Allah karena cinta kepada Allah, tetapi mereka yang menjadikan selain Allah sebagai pengganti-Nya dalam kecintaan dan loyalitas.
Allah juga mencela orang-orang yang mencintai selain-Nya sebagaimana mereka mencintai Allah. Orang-orang seperti itu disebut sebagai musyrik, karena mereka menyamakan cinta kepada makhluk dengan cinta kepada Sang Pencipta. Allah Ta’ala menceritakan pengakuan orang-orang yang menyekutukan-Nya:
تَاللَّهِ إِن كُنَّا لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ
“Demi Allah, sesungguhnya kita dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang nyata.”
إِذْ نُسَوِّيكُم بِرَبِّ الْعَالَمِينَ
“Karena kita mempersamakan kamu (berhala-berhala) dengan Tuhan seluruh alam.” (QS. Asy-Syu’ara: 97-98)
Sidang Jama’ah Jum’at yang berbahagia…
Tauhid dalam cinta—yaitu mencintai Allah semata, di atas segala cinta lainnya—adalah inti dari seluruh ajaran para nabi. Karena itulah seluruh kitab diturunkan, dan untuk menyampaikan misi agung ini para rasul diutus dari generasi ke generasi.
Langit dan bumi diciptakan karena tauhid ini. Surga disediakan bagi orang-orang yang memurnikan cinta dan ibadahnya hanya kepada Allah, sedangkan neraka disiapkan bagi mereka yang menyekutukan-Nya dalam cinta dan penghambaan.
Inilah pokok dari agama seluruh nabi dan rahasia utama di balik penciptaan alam semesta.
Jika Nabi ﷺ bersabda:
لَا يُؤْمِنُ عَبْدٌ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Tidaklah salah seorang dari kalian beriman dengan sempurna hingga aku lebih ia cintai daripada anaknya, orang tuanya, dan seluruh manusia.” (HR. Bukhari, no. 15 dan Muslim, no. 44)
Maka renungkanlah: bagaimana dengan cinta kepada Allah ‘Azza wa Jalla, Tuhan yang menciptakan Nabi Muhammad ﷺ? Bukankah Dia jauh lebih berhak untuk dicintai?
Lihatlah kisah Umar bin Khattab radhiyallahu ’anhu. Ketika ia berkata kepada Nabi ﷺ:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِلَّا مِنْ نَفْسِي
“Wahai Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai daripada segala sesuatu kecuali diriku sendiri,” maka Nabi ﷺ menegaskan:
لَا، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ نَفْسِكَ
“Tidak, demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, hingga aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.”
Lalu Umar berkata:
فَإِنَّهُ الْآنَ، وَاللَّهِ، لَأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ نَفْسِي
“Sekarang, demi Allah, engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri.” Maka Nabi ﷺ bersabda:
الْآنَ يَا عُمَرُ
“Sekarang, baru sempurna imanmu.” (HR. Bukhari, no. 6632)
Jika cinta kepada Nabi ﷺ harus melebihi cinta kepada diri sendiri karena kedudukan, jasa, dan hak beliau, maka pastilah Allah Jalla wa ‘Ala yang Mahasuci nama-Nya, yang Mahaagung dan tiada tanding keagungan-Nya, satu-satunya Dzat yang berhak disembah, lebih layak dicintai melebihi siapa pun dan apa pun, termasuk diri kita sendiri.
Semua yang Allah lakukan terhadap hamba-Nya, baik yang disukai maupun tidak, sejatinya adalah undangan bagi hati untuk mencintai-Nya.
Pemberian dan penolakan-Nya, kesehatan dan sakit yang Dia turunkan, kesempitan dan kelapangan yang silih berganti, keadilan dan karunia-Nya, kehidupan dan kematian yang Dia takdirkan, kelembutan, ampunan, rahmat, pertolongan, bahkan kesabaran-Nya terhadap dosa hamba-hamba-Nya—semua itu Dia lakukan dengan kasih dan kekayaan-Nya yang sempurna. Dia tak membutuhkan siapa pun, tapi justru terus memberi dan melindungi.
Setiap nikmat dan ujian dari-Nya adalah panggilan bagi hati untuk tunduk, menyembah, dan mencintai-Nya dengan sepenuh jiwa.
Bahkan ketika seorang hamba bermaksiat kepada Allah—dengan menggunakan nikmat-nikmat dari-Nya—Allah tetap memberikan kesempatan, menutupi aibnya, menjaga dan melindunginya. Semua itu terjadi saat hamba itu sedang durhaka kepada-Nya. Maka bukankah justru hal ini menjadi salah satu alasan terkuat untuk mencintai-Nya?
Coba renungkanlah Ma’asyiral Muslimin…
Jika ada seseorang yang memperlakukan kita dengan kebaikan seperti itu—menjaga, memaafkan, dan menutupi kesalahan kita—meski hanya sedikit, pasti hati kita akan luluh dan mencintainya. Maka bagaimana mungkin kita tidak mencintai Allah, yang kebaikan-Nya kepada kita tak pernah putus, bahkan ketika kita membalas-Nya dengan dosa dan kelalaian?
Kebaikan Allah terus turun kepada hamba, sedangkan keburukan dari hamba terus naik kepada-Nya. Allah terus mendekati hamba dengan berbagai nikmat, padahal Dia tidak butuh apa-apa. Sementara hamba malah menjauh dari-Nya dengan maksiat, padahal dia sangat butuh kepada-Nya.
Subhanallah… Kebaikan-Nya tidak menghalangi kita untuk bermaksiat, dan kemaksiatan kita pun tidak menghentikan limpahan kebaikan-Nya!
Sungguh, hati yang tidak mencintai Allah setelah menyadari semua ini adalah hati yang paling lemah. Dan lebih menyedihkan lagi jika ia malah mencintai selain-Nya.
Bahkan, siapa pun dari makhluk yang mencintaimu, sebenarnya mencintaimu karena ada kepentingan untuk dirinya sendiri. Tapi Allah Subhanahu wa Ta’ala mencintaimu semata-mata karena dirimu, demi kebaikan dan keselamatanmu sendiri.
Maka, tidakkah kita merasa malu?
Allah telah memuliakan kita dengan segala kebaikan, menutupi aib kita, melindungi kita, memberi tanpa henti—namun kita justru berpaling dari-Nya. Hati kita malah sibuk mencintai selain-Nya, dan tenggelam dalam cinta kepada makhluk yang lemah seperti diri kita.
Setiap makhluk yang kita dekati, jika mereka tak melihat manfaat atau keuntungan dari kita, mereka tak akan peduli. Interaksi mereka selalu dilandasi pamrih—selalu ada yang mereka harapkan.
Tapi Allah ‘Azza wa Jalla tidak demikian. Dialah yang mendekat kepada kita, bukan karena butuh pada kita, tapi karena ingin kita mendapatkan keberuntungan terbesar dari-Nya.
Dia menggandakan satu amal kecil hingga sepuluh kali lipat, bahkan sampai tujuh ratus kali lipat, bahkan lebih. Sedangkan satu dosa, hanya dicatat satu—dan itu pun sangat cepat Dia ampuni dan hapus jika kita kembali kepada-Nya.
Allah menciptakan kita untuk diri-Nya—agar kita beribadah dan mencintai-Nya—sementara Dia menciptakan segala sesuatu untuk memfasilitasi kita, baik yang di dunia maupun yang di akhirat.
Lalu siapakah yang lebih pantas kita curahi cinta, kesungguhan, dan pengorbanan selain Allah?
Permintaan kita, dan bahkan semua kebutuhan seluruh makhluk, semuanya ada di sisi-Nya. Dialah Yang Maha Dermawan dari semua yang dermawan, dan Yang Maha Mulia dari segala yang mulia.
Dia memberi bahkan sebelum kita sempat meminta, dan apa yang Dia berikan sering kali melebihi dari apa yang kita harapkan.
Dia menerima amal yang sedikit, dan melipatgandakannya. Tapi ketika kita datang dengan dosa yang banyak, Dia pun siap mengampuni dan menghapusnya.
Allah Ta’ala berfirman:
يَسْأَلُهُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ
“Setiap makhluk di langit dan di bumi memohon kepada-Nya. Setiap hari Dia dalam kesibukan (mengurus makhluk-Nya).” (QS. Ar-Rahman: 29)
Allah tidak pernah tersibukkan oleh satu permintaan sehingga lalai dari permintaan yang lain. Banyaknya doa yang datang dari seluruh makhluk tidak membuat-Nya bingung, dan desakan demi desakan dari orang-orang yang butuh tidak membuat-Nya jemu.
Bahkan, Dia mencintai hamba-hamba yang bersungguh-sungguh dalam berdoa. Dia senang diminta, dan justru murka kepada orang yang enggan berdoa kepada-Nya.
Subhanallah… Dia malu kepada hamba-Nya ketika si hamba tidak malu kepada-Nya. Dia menutupi aib hamba, padahal si hamba tidak berusaha menutupi dirinya sendiri. Dia merahmati hamba-Nya, bahkan saat hamba itu justru menzalimi dan merugikan dirinya sendiri.
Allah terus mengundang hamba-Nya menuju kemuliaan dan keridaan-Nya—dengan berbagai nikmat dan kebaikan yang Dia limpahkan. Tapi banyak dari mereka yang justru enggan mendekat.
Maka Dia pun mengutus para rasul-Nya untuk mencari hamba-hamba yang tersesat, membawa pesan kasih sayang dan perjanjian dari-Nya. Hingga akhirnya, Dia sendiri yang “turun” mendekati hamba-Nya setiap malam, seraya berseru:
مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ، مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ، مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ؟
“Siapa yang berdoa kepada-Ku, niscaya Aku kabulkan? Siapa yang meminta kepada-Ku, niscaya Aku beri? Dan siapa yang memohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku ampuni?” (HR. Bukhari, no. 7494 dan Muslim, no. 758
Begitulah kemurahan-Nya—selalu menanti kita kembali, bahkan saat kita sibuk berpaling.
Maka bagaimana mungkin hati tidak mencintai Dzat yang:
Tiada yang bisa mendatangkan kebaikan kecuali Dia,
Tiada yang mampu menghapus keburukan kecuali Dia,
Tiada yang mengabulkan doa selain Dia,
Tiada yang menerima taubat,
Tiada yang menutupi aib,
Tiada yang mengangkat beban kesempitan,
Tiada yang menolong dalam kesulitan,
Dan tiada satu pun yang bisa memenuhi harapan selain Dia?
Dialah Dzat yang paling pantas untuk disebut, paling pantas untuk disyukuri, paling pantas disembah, paling pantas dipuji, paling pantas dimintai pertolongan. Dia paling penyayang dari semua yang berkuasa, paling dermawan dari semua yang diminta, paling luas dalam memberi, dan paling mulia dari semua yang dituju.
Dia adalah tempat kembali yang paling aman, sandaran yang paling kokoh. Dia lebih menyayangi hamba-Nya daripada seorang ibu terhadap bayinya. Bahkan, Dia lebih bergembira dengan taubat seorang hamba daripada orang yang kehilangan seluruh bekalnya di padang pasir, lalu nyaris putus asa dari hidupnya, lalu tiba-tiba menemukannya kembali.
Dia adalah Raja yang tidak punya sekutu, Dzat Yang Maha Esa yang tak ada yang menyamai-Nya. Segala sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya. Tak ada ketaatan yang bisa dilakukan kecuali dengan izin dan pertolongan-Nya. Dan tak ada satu pun maksiat dilakukan tanpa dalam pengawasan dan ilmu-Nya.
Ketika Dia ditaati, Dia membalas dengan syukur dan pahala, padahal itu semua terjadi hanya dengan taufik dan nikmat dari-Nya. Namun saat Dia didurhakai, Dia tetap mengampuni dan memaafkan, padahal hak-Nya telah diabaikan.
Dia adalah saksi yang paling dekat, penjaga yang paling setia, pemegang janji yang paling jujur, dan hakim yang paling adil.
Dialah yang menggenggam nyawa-nyawa, mengatur langkah dan takdir makhluk, mencatat jejak mereka, dan menentukan ajal mereka. Hati manusia mencurahkan isi terdalamnya kepada-Nya, dan apa yang tersembunyi dari manusia, jelas di hadapan-Nya. Tak ada yang gaib bagi-Nya. Semua akan kembali kepada-Nya dalam segala keadaan.
Wajah-wajah tunduk di hadapan cahaya keagungan-Nya. Hati-hati lemah tak mampu menjangkau hakikat Dzat-Nya. Fitrah dan akal sehat menyaksikan bahwa tak ada yang bisa menyamai-Nya.
Dengan cahaya wajah-Nya, semua kegelapan tersingkap. Langit dan bumi bersinar karena-Nya. Segala urusan menjadi teratur karena perintah dan tatanan-Nya.
“Dia tidak tidur, dan tidak pantas bagi-Nya untuk tidur. Dia yang menjaga dan menegakkan timbangan keadilan. Amal perbuatan malam diangkat kepada-Nya sebelum siang, dan amal siang sebelum malam. Tirai antara Dia dan makhluk-Nya adalah cahaya. Jika Dia menyingkap tirai itu, niscaya keagungan cahaya wajah-Nya akan membakar segala yang terlihat oleh pandangan-Nya dari makhluk-Nya.” (HR. Muslim, no. 179)
Siapa pun yang melepaskan cintanya kepada Allah dan mencurahkannya kepada selain-Nya, sejatinya ia tidak akan pernah mendapatkan ganti, meskipun ia memiliki seluruh isi langit dan bumi.
Karena cinta kepada selain Allah selalu berujung pada kekecewaan, sedangkan cinta kepada Allah adalah satu-satunya cinta yang tidak akan pernah sia-sia.
بَارَكَ اللَّهُ لِي وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيهِ مِنْ الْآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيمِ. أَقُولُ قَوْلِي هَذَا فَاسْتَغْفِرُوهُ إِنَّهُ هُوَ الْعَفُورُ الرَّحِيمُ
Khutbah Kedua
ٱلْـحَمْدُ لِلَّهِ ٱلْعَلِيِّ ٱلْأَعْلَى، ٱلْعَظِيمِ ٱلَّذِي لَا يُعْلَى، خَلَقَ فَأَحْسَنَ، وَقَدَّرَ فَهَدَى، لَا يُعْجِزُهُ شَيْءٌ فِي ٱلْأَرْضِ وَلَا فِي ٱلسَّمَاءِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ، ٱللَّهُ أَحَقُّ مَنْ خَضَعَ لَهُ ٱلْخَلْقُ، وَأَجَلُّ مَنْ تَوَجَّهَتْ إِلَيْهِ ٱلْقُلُوبُ، ذُو ٱلْعَظَمَةِ وَٱلرَّحْمَةِ، وَٱلنِّعْمَةِ وَٱلْـحِكْمَةِ.
وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَعَلَىٰ آلِهِ وَصَحْبِهِ، وَسَلَّمَ تَسْلِيمًا كَثِيرًا. أَمَّا بَعْدُ:
فَأُوصِيكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى ٱللَّهِ، فَإِنَّهَا وَصِيَّةُ ٱلْأَوَّلِينَ وَٱلْآخِرِينَ، كَمَا قَالَ تَعَالَىٰ:
(وَلَقَدۡ وَصَّيۡنَا ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ مِن قَبۡلِكُمۡ وَإِيَّاكُمۡ أَنِ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ)
ثُمَّ ٱعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيهِ بِنَفْسِهِ، وَثَنَّى بِمَلَائِكَتِهِ الْمُسَبِّحَةِ بِقُدْسِهِ، وَأَيُّهُ بِكُمْ أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ مِنْ جِنِّهِ وَإِنْسِهِ، فَقَالَ عَزَّ وَجَلَّ: ﴿إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا﴾، اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُولِكَ مُحَمَّدٍ، وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنْ خُلَفَائِهِ الرَّاشِدِينَ، أَبِي بَكْرٍ، وَعُمَرَ، وَعُثْمَانَ، وَعَلِيٍّ، وَعَنْ سَائِرِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِينَ، وَعَنِ التَّابِعِينَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ، وَعَنَّا مَعَهُمْ بِمِنِّكَ وَكَرَمِكَ يَا أَكْرَمَ الْأَكْرَمِينَ.
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ، وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوفٌ رَحِيمٌ.