Yang Tidak Berhak Menerima Zakat

Sebelumnya, kita sudah membahas delapan golongan yang berhak menerima zakat serta berbagai masalah terkait yang sering muncul. Sekarang, kita akan membahas sebaliknya, yaitu siapa saja yang tidak berhak menerima zakat, dan beberapa permasalahan yang terkait dengannya. Berikut adalah golongan-golongan tersebut:

ORANG KAYA

Rasulullah ﷺ bersabda:

‎لَا تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ، وَلَا لِذِي مِرَّةٍ سَوِيٍّ

“Sedekah tidak halal bagi orang kaya dan tidak pula bagi orang yang kuat bekerja serta sehat.” (HR. Abu Dawud, no. 1634, Tirmidzi, no. 652, dan dinilai shahih oleh Al-Albani)

Apabila orang kaya mengambil jatah zakat orang miskin, itu akan menghalangi zakat sampai kepada yang benar-benar membutuhkan. Hal itu juga bertentangan dengan tujuan utama zakat, yaitu membantu orang-orang miskin agar tercukupi kebutuhannya. (Lihat: Al-Mughni 2/493)

Namun, jika zakat diberikan kepada orang kaya bukan dari bagian untuk orang miskin, seperti karena ia bertugas sebagai amil, berjuang di jalan Allah (mujahid), berhutang untuk mendamaikan dua pihak yang bertikai, atau hadiah dari orang miskin, maka ia boleh menerimanya. Sebagaimana sabda Nabi ‎ﷺ:

‎لَا تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ إِلَّا لِخَمْسَةٍ: لِعَامِلٍ عَلَيْهَا، أَوْ لِغَازٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، أَوْ لِغَنِيٍّ اشْتَرَاهَا بِمَالِهِ، أَوْ فَقِيرٍ تَصَدِّقَ عَلَيْهِ فَأَهْدَاهَا لِغَنِيٍّ، أَوْ غَارِمٍ

“Sedekah tidak halal bagi orang kaya, kecuali dalam lima keadaan: jika ia bekerja sebagai amil zakat, atau seorang mujahid yang berperang di jalan Allah, atau ia membelinya dengan hartanya sendiri, atau seorang fakir yang menerima sedekah lalu menghadiahkannya kepada orang kaya, atau seorang yang terlilit utang (gharim).” (HR. Ibnu Majah, no. 1841 dan dinilai shahih oleh Al-Albani)

AHLUL BAIT

Ahlul Bait adalah keluarga Nabi ﷺ, beliau bersabda:

‎إنَّ الصَّدَقةَ لَا تَنْبَغِي لِآل مُحَمَّدٍ إِنَّمَا هِيَ أَوْسَاخُ النَّاسُ

“Sesungguhnya sedekah (zakat) tidak halal bagi keluarga Muhammad, karena sesungguhnya itu adalah kotoran-kotoran manusia.” (HR. Muslim, no. 1072)

Suatu hari, cucu beliau ‎ﷺ, Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma mengambil sebutir kurma dari sedekah dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Melihat hal itu, Nabi ﷺ segera menegurnya dengan isyarat agar membuangnya, kemudian beliau ﷺ bersabda:

‎أَمَا شَعَرْتَ أَنَّا لَا نَأْكُلُ الصَّدَقَةَ

“Tidakkah engkau tahu bahwa kita tidak boleh memakan sedekah (zakat)?” (HR. Bukhari, no. 1491 dan Muslim, no. 1069)

Hanya saja para ulama berbeda pendapat tentang siapa saja dari Ahlul Bait yang diharamkan menerima zakat:

1. Pendapat Imam Asy-Syafi’i

Beliau berpendapat bahwa larangan ini mencakup Bani Hasyim dan Bani Muththalib. Alasannya, kedua kabilah ini berhak mendapatkan bagian dari ghanimah (harta rampasan perang), sehingga hukumnya disamakan dalam hal larangan menerima zakat. (Lihat: Al-Umm 3/202).

2. Pendapat Madzhab Hanafi, Maliki, dan Pendapat Masyhur dalam Madzhab Hanbali.

Menurut mereka, larangan menerima zakat hanya berlaku untuk Bani Hasyim saja. Alasannya:
• Bani Hasyim lebih dekat kekerabatannya dengan Nabi ﷺ dan lebih mulia dibandingkan yang lain.
• Bani Muththalib mendapatkan bagian dari ghanimah bukan karena hubungan kekerabatan semata, tetapi karena peran mereka dalam mendukung Nabi ﷺ.
• Bukti dari hal ini adalah Bani Abdu Syams dan Bani Naufal, yang juga memiliki hubungan kekerabatan yang sama dengan Nabi ﷺ, tetapi mereka tidak mendapatkan bagian dari ghanimah.
• Alasan utama Bani Muththalib mendapatkan bagian dari ghanimah adalah pertolongan mereka kepada Nabi ﷺ, maka hal itu tidak serta-merta membuat mereka dilarang menerima zakat.
(Lihat: Bada’i’ Ash-Shana’i’ 2/49, Asy-Syarh Al-Kabir 1/495, Al-Mughni 2/490).

Note:
Hasyim dan Muththalib adalah saudara, keduanya bersama dengan Abdu Syams dan Naufal adalah anak dari Abdu Manaf.

ORANG KAFIR (SELAIN KETEGORI MUALLAF)

Ibnu Mundzir berkata: “Para ulama telah sepakat bahwa seorang dzimmi (non-Muslim yang hidup di bawah perlindungan pemerintahan Islam) tidak boleh diberikan bagian apa pun dari zakat.” (Lihat: Al-Ijma’, hlm. 48).

Zakat sejatinya adalah bentuk solidaritas internal umat Islam untuk membantu sesama yang membutuhkan, sehingga tidak pantas diberikan kepada orang kafir. Ayat tentang zakat (At-Taubah: 60) secara khusus menyebutkan delapan golongan penerima zakat, yang semuanya merujuk kepada umat Islam.
Terlebih lagi, kita diperintahkan untuk memerangi mereka hingga mereka masuk Islam atau membayar jizyah (pajak yang dibayarkan kafir dzimmi). Kita juga diperintahkan untuk bersikap tegas terhadap mereka, serta tidak menjadikan mereka sebagai sekutu atau mencintai mereka. Memberikan mereka zakat, sangat bertentangan dengan prinsip ini. (Lihat: As-Sail Al-Jarrar, hlm. 256).

KELUARGA YANG WAJIB DINAFKAHI

Keluarga yang wajib dinafkahi adalah istri, anak, dan orang tua. Jika mereka miskin, nafkah menjadi tanggung jawab keluarga yang mampu, dan bukan diberikan dari zakat. (Lihat: Al-Amwal, hlm. 695, 700, Al-Ijma’, hlm. 48)

Keluarga yang wajib kita nafkahi (istri, anak, orang tua) tidak boleh menerima zakat jika mereka miskin. Namun, jika mereka bertugas sebagai amil zakat, memiliki hutang, berjuang di jalan Allah (mujahid fii sabilillah), atau seorang budak mukatab (budak yang sedang mencicil kemerdekaannya), maka mereka boleh menerima zakat dari kerabatnya yang wajib menafkahinya. (Lihat: Al-Majmu’ 6/229)

Faedah:
Suami selamanya wajib menafkahi istri, baik sang istri kaya maupun miskin. Sedangkan nafkah untuk anak dan orang tua hanya wajib jika mereka miskin. Sebab, nafkah istri didasari akad mu’awadhoh (pelayanan istri terhadap suami yang berhak nafkah atasnya), sementara nafkah anak dan orang tua bersifat kepedulian. (Lihat: Iddatul Buruq 1/331).

Mengapa orang tua tidak berhak mendapatkan zakat?
Secara logika: jika seseorang sudah diberikan nafkah oleh keluarganya, maka dia tidak dianggap membutuhkan zakat, karena nafkah tersebut sudah mencukupi kebutuhannya. (Lihat: Al-Majmu’ 6/229)

Bahkan jika ada orang tua yang hidup kekurangan padahal anaknya kaya, hingga harus menerima zakat, itu adalah tanda bahwa sang anak bersikap pelit kepada orang tuanya. Seharusnya, anak berusaha mencukupi kebutuhan orang tuanya, meskipun itu membuat hartanya berkurang hingga di bawah nishab. Sebab, tidak ada dalil yang mewajibkan seseorang mengumpulkan harta sampai nishab, tetapi yang ada justru perintah untuk berbakti kepada orang tua. Allah Ta’ala berfirman:

‎وَصَاحِبۡهُمَا فِي ٱلدُّنۡيَا مَعۡرُوفٗاۖ

“Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman: 15)

Hal yang sama berlaku bagi orang tua terhadap anak. Rasulullah ‎ﷺ bersabda:

‎كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ

“Cukuplah seseorang dianggap berdosa jika ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.” (HR. Abu Dawud, no. 1692 dan dinilai shahih oleh Al-Albani).

Bagaimana dengan kerabat yang tidak wajib dinafkahi?
Jika kerabatnya bukan termasuk orang yang wajib dinafkahi, seperti saudara, paman, atau sepupu, maka mereka boleh menerima zakat. (Lihat: Badai’ Ash-Shanai’ 2/49, At-Tak wal Iklil 2/353, Al-Majmu’ 6/229, Al-Mughni 2/483)

Nabi ﷺ bersabda:

‎إِنَّ الصَّدَقَةَ عَلَى الْمِسْكِينِ صَدَقَةٌ، وَعَلَى ذِي الرَّحِمِ اثْنَتَانِ: صَدَقَةٌ, وَصِلَةٌ

“Sesungguhnya sedekah yang diberikan kepada orang miskin hanyalah sedekah (biasa), sedangkan jika diberikan kepada kerabat, maka itu bernilai dua: sedekah dan silaturahmi.” (HR. Tirmidzi, no. 658, Nasa’i 5/92, Ibnu Majah, no. 1844 dan dinilai shahih oleh Al-Albani)

Bolehkah istri memberikan zakat kepada suaminya?
Boleh, dan hal ini pernah terjadi di zaman Rasulullah ‎ﷺ.
Suatu ketika, Zainab, istri Abdullah bin Mas’ud, mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:

‎تَصَدَّقْنَ يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ، وَلَوْ مِنْ حُلِيِّكُنَّ

“Bersedekahlah kalian, wahai kaum wanita, meskipun dari perhiasan kalian.”

Ia pun pulang dan berkata kepada suaminya:

‎إِنَّكَ رَجُلٌ ضَعِيفُ ذَاتِ الْيَدِ وَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أُمَرَنَا بِالصَّدَقَةِ فَأْتِهُ فَاسْأَلْهُ، فَإِنْ كَانَ ذَلِكَ يُجْزِئُ عَنِّي، وَإِلَّا صَرَفْتُهَا إِلَى غَيْرِكَ

“Engkau adalah seorang yang memiliki sedikit harta (miskin), sementara Rasulullah ﷺ telah memerintahkan kami untuk bersedekah. Maka pergilah kepadanya dan tanyakan, apakah boleh jika aku memberikan sedekah kepadamu? Jika itu diperbolehkan, aku akan memberikannya kepadamu, jika tidak, maka aku akan menyalurkannya kepada orang lain.”

Namun, Abdullah bin Mas’ud menyarankan agar Zainab sendiri yang bertanya kepada Rasulullah ﷺ. Saat Zainab pergi ke rumah Rasulullah, ia bertemu dengan seorang wanita Anshar yang juga ingin bertanya hal yang sama. Karena Rasulullah ﷺ memiliki kewibawaan besar, mereka meminta Bilal untuk menanyakan kepada beliau tanpa menyebutkan nama mereka.

Ketika Bilal menyampaikan pertanyaan, Rasulullah ﷺ bertanya siapa mereka. Setelah mengetahui salah satunya adalah Zainab, istri Abdullah bin Mas’ud, beliau ﷺ bersabda,

‎أَجْرَانِ: أَجْرُ الْقَرَابَةِ، وَأَجْرُ الصَّدَقَةِ

“Baginya ada dua pahala: pahala sedekah dan pahala menyambung tali kekerabatan.” (HR. Bukhari, no. 1466 dan Muslim, no. 1000).