Panduan Praktis Zakat Hewan Ternak

Di tengah geliat peternakan Indonesia yang terus tumbuh, masih banyak kaum muslimin yang belum mengerti bahwa sapi dan kambing adalah harta yang memiliki aturan zakat tersendiri. Meskipun sebenarnya Islam juga menyebut unta sebagai salah satu hewan yang dizakati, kita tahu bahwa peternakan unta nyaris tidak ditemukan di Indonesia. Oleh karena itu, dalam artikel ini kami akan membahas zakat ternak yang paling relevan dengan konteks kita, yaitu: sapi dan kambing.

Apa syarat zakat hewan ternak?

Namanya saja hewan ternak, maka secara logika dan syariat, hewan tersebut harus benar-benar diternakkan agar terkena kewajiban zakat. Mayoritas ulama mensyaratkan bahwa hewan yang wajib dizakati adalah hewan yang dipelihara untuk dikembangbiakkan atau diambil manfaatnya (seperti susu), bukan hewan yang digunakan untuk bekerja. (Lihat: Tabyiin al-Haqa’iq 1/268, Nihayatul Muhtaj 3/67, Kasyaf Al-Qina’ 2/183)

Sebagai contoh, jika seseorang memiliki 30 ekor sapi yang seluruhnya digunakan untuk membajak sawah atau mengangkut air guna pengairan lahan pertanian, dan bukan dari hasil pengembangbiakan yang diternakkan, maka tidak ada zakat atas hewan-hewan tersebut. Hal ini sejalan dengan atsar dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ’anhu, beliau berkata:

‎لَيْسَ فِي الْبَقَرِ الْعَوَامِلِ صَدَقَةٌ

“Tidak ada zakat pada sapi yang digunakan untuk bekerja.” (HR. al-Baihaqi 4/116)

Karena sebab diwajibkannya zakat adalah adanya potensi perkembangan dan pertumbuhan pada harta. Dalam konteks hewan ternak, tanda pertumbuhan itu tampak ketika hewan dipelihara untuk diambil susunya, dikembangbiakkan, atau dijadikan komoditas dagang. Sementara hewan pekerja tidak memiliki indikasi pertumbuhan semacam itu. Oleh karena itu, jika sebab zakat tidak terpenuhi, maka kewajiban zakat pun gugur. (Lihat: Tabyiin al-Haqa’iq 1/268)

Selain itu, mayoritas ulama juga mensyaratkan bahwa hewan yang wajib dizakati haruslah sa’imah. Sa’imah adalah hewan ternak yang digembalakan di padang rumput yang tumbuh secara alami dan dapat dimanfaatkan oleh umum, serta dapat mencukupi kebutuhan makanannya hanya dengan penggembalaan. Dengan kata lain, pemiliknya tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan untuk memberi pakan kepada hewan ternaknya.

Hal ini sesuai dengan hadits berikut:

‎وَفِي صَدَقَةِ الْغَنَمِ؛ فِي سَائِمَتِهَا إِذَا كَانَتْ أَرْبَعِينَ إِلَى عِشْرِينَ وَمِئَةٍ، شَاةٌ

“Dan dalam zakat kambing yang digembalakan (sa’imah), apabila jumlahnya mencapai empat puluh hingga seratus dua puluh ekor, maka zakatnya satu ekor kambing.”
(HR. Bukhari, no. 1454)

Hadits ini menjelaskan bahwa zakat hanya diwajibkan pada hewan yang digembalakan (sa’imah), bukan yang diberi pakan oleh pemiliknya (ma’lufah).

Dalam madzhab Hanafiyyah dan Hanabilah, dijelaskan bahwa batasan hewan ternak disebut sa’imah adalah ketika ia digembalakan di padang rumput umum selama satu tahun penuh atau sebagian besar waktu dalam setahun. Jika pemiliknya memberi makan (dengan biaya tambahan) selama setengah tahun atau lebih, maka statusnya menjadi ma’lufah dan tidak wajib dizakati. Hal ini juga mempertimbangkan bahwa para peternak sering kali tidak dapat menghindari pemberian pakan pada waktu-waktu tertentu, seperti saat musim dingin atau salju. (Lihat: Fathul Qadir 2/195, Kasyaf Al-Qina’ 2/183)

Apakah disyaratkan haul untuk zakat hewan ternak?

Ya, para ulama bersepakat bahwa salah satu syarat wajib zakat hewan ternak adalah kepemilikan telah mencapai satu haul. (Lihat: Maratibul Ijma’, hlm. 38)

Perhitungan haul ini dimulai sejak jumlah hewan ternak mencapai nishab-nya, dan setiap jenis hewan ternak memiliki nishab yang berbeda-beda.

Nishab Sapi

Nisab (batas minimal wajib zakat) sapi adalah tiga puluh ekor sapi, zakatnya seekor sapi jantan atau betina yang berumur satu tahun (tabi’ atau tabi’ah).
Jika mencapai empat puluh ekor, maka zakatnya seekor sapi betina yang telah berumur dua tahun (musinnah).
Jika mencapai enam puluh ekor, maka zakatnya adalah dua ekor tabi’ atau tabi’ah.
Kemudian selanjutnya dengan kelipatan seperti itu: setiap tiga puluh ekor, zakatnya satu ekor tabi‘ atau tabi’ah, dan setiap empat puluh ekor, zakatnya satu ekor musinnah.

Dalilnya adalah hadits Mu’adz bin Jabal radhiyallahu anhu, bahwa Nabi ﷺ ketika mengutusnya ke Yaman, memerintahkannya untuk mengambil zakat dari sapi:

‎مِنْ كُلِّ ثَلَاثِينَ، تَبِيعًا أَوْ تَبِيعَةً، وَمِنْ كُلِّ أَرْبَعِينَ، مُسِنَّةً

“Dari setiap tiga puluh ekor, satu tabi’ atau tabi’ah, dan dari setiap empat puluh ekor, satu musinnah.” (HR. Abu Dawud, no. 1576, Tirmidzi, no. 623, Nasa’i 5/25, Ibnu Majah, no. 1803, dan dinilai shahih oleh Al-Albani)

Aturan Zakat Sapi Berdasarkan Nisab:
• 1 s/d 29 → tidak dikenakan zakat
• 30 s/d 39 ekor sapi → zakat: 1 ekor tabi‘ atau tabi‘ah
• 40 s/d 59 ekor sapi → zakat: 1 ekor musinnah
• 60 s/d 69 ekor sapi → zakat: 2 tabi’ atau 2 tabi‘ah
• 70 s/d 79 ekor sapi → kombinasi: 1 tabi‘ + 1 musinnah
• 80 s/d 89 ekor sapi → zakat: 2 ekor musinnah
Dan seterusnya, kombinasi berdasarkan kelipatan 30 dan 40.

Contoh:
1. Jika seseorang memiliki 90 s/d 99 ekor sapi, maka zakatnya: 3 tabi‘ (karena 90 = 3 × 30)
2. Jika seseorang memilki 100 s/d 109 ekor sapi, maka zakatnya: 2 tabi’ dan 1 musinnah.
3. Jika seseorang memilki 110 s/d 119 ekor sapi, maka zakatnya: 2 musinnah dan 1 tabi’.
4. Jika seseorang memiliki 120 ekor sapi, maka ia memiliki 2 pilihan:
Pilihan 1: Menggunakan kelipatan 30 (120 : 30 = 4), maka zakatnya: 4 ekor tabi‘ atau tabi’ah.
Pilihan 2: Menggunakan kelipatan 40 (120 : 40 = 3), maka zakatnya: 3 ekor musinnah.

Catatan:
Kerbau dihukumi seperti sapi dalam zakat, dan keduanya digabungkan untuk mencapai nishab. (Lihat: Al-Istidzkar 3/191)

Contoh:
Jika seseorang memiliki 15 ekor sapi dan 15 ekor kerbau, maka total 30 ekor → telah mencapai nishab, sehingga wajib zakat: 1 ekor sapi atau kerbau tabi‘ atau tabi‘ah (berumur 1 tahun).

Nishab Kambing

Nisab (batas minimal wajib zakat) kambing adalah empat puluh ekor kambing, zakatnya adalah satu ekor kambing.
Jumlah zakat ini tidak bertambah hingga mencapai 121 ekor. Setelah itu, jumlah zakat berubah sesuai kelipatan 100. Sebagaimana hadits Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:

‎وَفِي صَدَقَةِ الْغَنَمِ- فِي سَائِمَتِهَا إِذَا كَانَتْ أَرْبَعِينَ إِلَى عِشْرِينَ وَمِئَةٍ- شَاةٌ، فَإِذَا زَادَتْ عَلَى عِشْرِينَ وَمِئَةٍ إِلَى مِئَتَيْنِ، شَاتَانِ، فَإِذَا زَادَتْ عَلَى مِئَتَيْنِ إِلَى ثَلَاثِمِئَةٍ، فَفِيهَا ثَلَاثُ شِيَاهٍ، فَإِذَا زَادَتْ عَلَى ثَلَاثِمِئَةٍ، فَفِي كُلِّ مِئَةٍ شَاةٌ، فَإِذَا كَانَتْ سَائِمَةُ الرَّجُلِ نَاقِصَةً مِنْ أَرْبَعِينَ شَاةً وَاحِدَةً؛ فَلَيْسَ فِيهَا صَدَقَةٌ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ رَبُّهَا

“Pada zakat kambing yang digembalakan: jika jumlahnya antara empat puluh hingga seratus dua puluh ekor, maka zakatnya satu ekor kambing. Jika lebih dari seratus dua puluh hingga dua ratus, maka zakatnya dua ekor kambing. Jika lebih dari dua ratus hingga tiga ratus, maka zakatnya tiga ekor kambing. Jika lebih dari tiga ratus, maka pada setiap seratus ekor zakatnya satu ekor kambing. Jika kambing gembalaan seseorang kurang dari empat puluh ekor meskipun hanya satu ekor (yaitu 39 ekor), maka tidak ada zakat padanya, kecuali jika pemiliknya menghendaki (untuk bersedekah secara sukarela).” (HR. Bukhari, no. 1454)

Aturan Zakat Kambing Berdasarkan Nisab:

• 1 s/d 39 ekor → tidak dikenakan zakat
• 40 s/d 120 ekor → zakat: 1 ekor kambing
• 121 s/d 200 ekor → zakat: 2 ekor kambing
• 201 s/d 300 ekor → zakat: 3 ekor kambing
• 301 ekor ke atas → setiap 100 ekor → zakat: 1 ekor kambing

Contoh:
1. Jika seseorang memiliki 100 ekor kambing, maka zakatnya: 1 ekor.
2. Jika seseorang memiliki 150 ekor kambing, maka zakatnya: 2 ekor.
3. Jika seseorang memiliki 180 ekor kambing, maka zakatnya masih 2 ekor.
4. Jika seseorang memiliki 350 ekor kambing, maka zakatnya 3 ekor.
5. Jika seseorang memiliki 499 ekor kambning, maka zakatnya 4 ekor.
6. Jika seseorang memiliki 500 ekor kambing, maka zakatnya 5 ekor.

Catatan:
1. Syarat kambing yang boleh dikeluarkan untuk zakat adalah jadza’ (domba berumur 1 tahun), atau tsaniyy (kambing biasa berumur 2 tahun). (Lihat: Al-Majmu’ 8/394)
2. Kambing dan domba hukum zakatnya digabungkan. (Lihat: Al-Istidzkar 3/191)

Contoh:
Jika seseorang memiliki 25 ekor kambing dan 20 ekor domba, maka total 45 ekor → telah mencapai nishab, sehingga wajib zakat: 1 ekor domba (jadza’) atau kambing (tsyaniyy).

Jenis Hewan yang Dikeluarkan Sebagai Zakat

Hendaknya harta yang diambil untuk zakat berasal dari pertengahan (kualitas menengah), berdasarkan sabda Nabi ﷺ:

‎ثَلاَثٌ مَنْ فَعَلَهُنَّ فَقَدْ طَعِمَ طَعْمَ الإِْيمَانِ: مَنْ عَبَدَ اللَّهَ وَحْدَهُ، وَأَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ، وَأَعْطَى زَكَاةَ مَالِهِ طَيِّبَةً بِهَا نَفْسُهُ رَافِدَةً عَلَيْهِ كُل عَامٍ، لاَ يُعْطِي الْهَرِمَةَ، وَلاَ الدَّرِنَةَ، وَلاَ الْمَرِيضَةَ، وَلاَ الشَّرَطَ اللَّئِيمَةَ، وَلَكِنْ مِنْ وَسَطِ أَمْوَالِكُمْ، فَإِنَّ اللَّهَ لَمْ يَسْأَلْكُمْ خَيْرَهُ، وَلَمْ يَأْمُرْكُمْ بِشَرِّهِ

“Tiga perkara, siapa yang melakukannya maka sungguh ia telah merasakan manisnya iman: (1) menyembah Allah semata dan meyakini bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah, (2) menunaikan zakat hartanya dengan jiwa yang rela, dan (3) memberikannya setiap tahun tanpa enggan, ia tidak memberikan hewan yang tua renta, tidak pula yang cacat, tidak pula yang sakit, dan tidak pula yang jelek lagi hina, akan tetapi dari pertengahan harta kalian. Karena sesungguhnya Allah tidak meminta dari kalian yang terbaiknya, dan tidak pula memerintahkan kalian memberikan yang terburuknya.” (HR. Abu Dawud, no. 1582 dan dinilai shahih oleh Al-Albani)

Ada dua poin penting yang terkandung dalam hadits di atas:
Pertama: Amil zakat tidak boleh meminta harta terbaik (terbagus) dari milik orang yang berzakat, kecuali jika pemiliknya dengan rela hati menyerahkannya.
Nabi ﷺ bersabda kepada muadz yang akan bertugas sebagai amil zakat:

‎إِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ

“Hindarilah mengambil harta-harta terbaik mereka.” (HR. Bukhari, no. 4347 dan Muslim, no. 19)

Kedua: Muzakki tidak boleh memberikan harta yang paling jelek, seperti hewan yang cacat, tua renta, atau sakit. (Lihat: Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah 23/261)

Status Anak Hewan Ternak dalam Perhitungan Zakat

Apabila seseorang memiliki hewan ternak yang telah mencapai nishab, misalnya 30 ekor sapi, kemudian selama satu haul jumlahnya bertambah karena beranak, hingga menjadi 40 ekor, maka anak-anak hewan tersebut tetap dihitung dalam nishab zakat.

Artinya, ketika tiba waktu pembayaran zakat, zakat yang dikeluarkan bukan lagi untuk 30 ekor (yakni satu tabi’), melainkan untuk 40 ekor, yaitu: satu ekor musinnah (sapi betina yang telah berumur dua tahun).

Ini karena anak-anak hewan tersebut lahir dari indukan yang masuk nishab dan dimiliki sepanjang haul, sehingga mengikuti status induknya dalam kewajiban zakat. (Lihat: Al-Majmu’ 5/370, Kasyaf Al-Qina’ 2/177)

Tentang Khulthah (Campuran Kepemilikan)

Apa itu khulthah?

Khulthah adalah kondisi ketika dua orang atau lebih memiliki hewan ternak yang digabung, baik dari segi tempat penggembalaan, makanan, air minum, kandang, hasil perahan susu, bahkan hingga penggunaan pejantan yang sama, sehingga hewan-hewan tersebut tampak seperti milik satu orang.(Lihat: At-Taj wal Iklil 2/267, Al-Majmu’ 5/432, Al-Furu’ 4/38)

Dalam fiqih, jika dua atau lebih pemilik menggembalakan hewan mereka bersama dan nishabnya terpenuhi, maka zakatnya dihitung seolah-olah itu milik satu orang. Sebagaimana yang ditulis Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu tentang aturan zakat yang ditetapkan oleh Rasulullah ﷺ:

‎وَمَا كَانَ مِنْ خَلِيطَيْنِ فَإِنَّهُمَا يَتَرَاجَعَانِ بَيْنَهُمَا بِالسَّوِيَّةِ

“Apa yang berasal dari dua pihak yang bercampur, maka mereka berbagi secara adil dalam zakatnya.” (HR. Bukhari, no. 1451)

Aplikasi Khulthah dan Pengaruhnya Pada Perhitungan Nishab:

• Ada dua orang masing-masing punya 20 ekor kambing (belum mencapai nishab karena nishab kambing adalah 40). Tapi karena mereka menggembalakan bersama dan semuanya tercampur, maka totalnya dihitung 40 ekor, dan zakatnya 1 ekor kambing.
Jika dipisah? Tidak wajib zakat.
• Tapi kadang justru sebaliknya, bisa jadi memberatkan. Misalnya dua orang masing-masing punya 101 ekor kambing. Jika dipisah, masing-masing hanya wajib zakat 1 ekor kambing. Tapi karena digabung, totalnya 202 ekor, dan zakatnya menjadi 3 ekor kambing.
• Bahkan kadang bisa meringankan. Tiga orang punya 40 kambing per orang. Kalau sendiri-sendiri, berarti total zakatnya 3 ekor kambing. Tapi karena digabung dan jadi satu, maka cukup 1 ekor kambing saja sebagai zakat bersama.

Dari tiga contoh di atas, dapat disimpulkan bahwa khulthah bisa berpengaruh terhadap kewajiban zakat: bisa menyebabkan zakat menjadi wajib (padahal jika terpisah belum mencapai nishab), bisa memperberat jumlah zakat, atau justru meringankannya, tergantung pada situasinya.

Larangan Menjadikan Khulthah Sebagai Rekayasa untuk Lari dari Zakat

Islam sangat menekankan kejujuran. Maka tidak boleh seseorang sengaja mencampur hartanya dengan orang lain supaya tidak kena zakat, atau malah memisah-misahkannya agar kelihatan belum sampai nishab. Nabi ﷺ sudah menegaskan larangan ini dalam hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ’anhu, dari tulisan yang dibuat oleh Abu Bakar radhiyallahu ’anhu:

‎وَلَا يُجْمَعُ بَيْنَ مُتَفَرِّقٍ، وَلَا يُفَرَّقُ بَيْنَ مُجْتَمِعٍ؛ خَشْيَةَ الصَّدَقَةِ

“Tidak boleh menggabungkan harta yang terpisah, dan tidak boleh memisahkan harta yang tergabung, hanya karena ingin menghindari zakat.” (HR. Bukhari, no. 1450)

Wallahu a’lam.